Indonesia.go.id - Jalur Inspeksi Dari Paiton Hingga Cilegon

Jalur Inspeksi Dari Paiton Hingga Cilegon

  • Administrator
  • Rabu, 14 Agustus 2019 | 05:45 WIB
LISTRIK JAWA-BALI
  Pekerja melakukan perawatan jaringan listrik di Jakarta, Jumat (12/7/2019). Foto: ANTARA FOTO/Muhammad Adimaja

Banten, DKI dan Jawa Barat, menyumbang 60 persen listrik Jaba-Bali. Karena bebannya tinggi, wilayah ini perlu pasokan 2.000-3.000 MW dari Timur. Jalur transmisi-distribusi tetap rawan tertimpa gangguan.

Dibangun secara bertahap, jaringan listrik interkoneksi Jawa Bali saat ini mencapai kapasitas terpasang tigapuluhempat ribu tigaratus limapuluh (34.350) Mega Watt (MH). Akan menjadi 36.350 MW di akhir 2019 ini dengan beroperasinya dua pembangkit baru, satu di Cilacap (Jawa Tengah) dan satu lainnya di Cilegon (Banten) yang masing-masing 1.000 MW. Cukup aman untuk menanggung beban puncak Jawa-Bali  yang tercatat 27.070 MW dan akan bergerak ke 28.500 MW di akhir tahun 2019.

Insiden pemadaman listrik di Jakarta, Jawa Barat,  Banten, yang menimpa lebih dari 21 juta pelanggan itu, membuat jaringan interkoneksi itu kembali menjadi sorotan. Apapun masalahnya, jaringan raksasa itu memang memiliki kerumitan sendiri. Pasokan listrik besar untuk memasok kawasan padat tersebut dihasilkan dari 238 unit pembangkit listrik yang tersebar di Jawa-Bali. Yang khas di jaringan ini, segala macam jenis mesin pembangkit ada.

Daya terbesar berasal dari pembangkit listri tenaga uap (PLTU) yang  tenaga uapnya dari pembakaran batu bara seperti di PLTU Suralaya (Banten), Tanjung Jati (Jepara, Jateng), Paiton (Probolinggo, Jatim), dan masih banyak lainnya. Kontribusinya sekitar 61persen. Adapun jenis Pembangkit gas bumi dan gas cair (LNG),  biasa  disebut Pembangkit Listrik Tenaga Gas-Uap (PLTGU), ada di Cilegon (Banten), Muara Tawar dan Priok (Jakarta), Grati serta  Gresik (Jatim) dan banyak lainnya, menyumbang 21 persen.

Yang banyak juga unitnya adalah PLTA (pembangkit listrik tenaga air), meski porsinya hanya 5,7 persen. Jumlahnya puluhan. Sebagian, bahkan mampu menyumbang dalam jumlah yang lumayan besar seperti PLTA Saguling 700  MW, Cirata 1.000 WM , serta Jatiluhur 175 MW. Selebihnya, yang dibangkitkan dari banyak  bendungan dengan skala di bawah 50 MW. Listrik PLTA ini tergolong sebagai energi terbarukan.

Pemanfaatan geothermal untuk pembangkit listrik tenaga panas bumi (PLTP) di Jawa, terutama di Jawa Barat, juga cukup besar. Kontribusinya ke Sistem Jawa - Bali 5,7 persen.  Ada PLTP Kamojang (235 MW)  dan PLTP Darajad 259 MW, keduanya di Garut. Di Sukabumi ada PLTP Gunung Salak 375 MW dan  PLTP Wayang Windu 227 MW di  Kabupaten Bandung. Sebagaimana PLTA, pembangkit listrik panas bumi ini tergolong energi terbarukan yang bersih dan tidak mengusik kelestarian lingkungan. Pembangkit listrik  diesel juga masih adatapi porsinya sudah amat kecil.

Dari 34.350  MW kapasitas terpasang  di Jawa-Bali, pembangkit dari Jawa Barat, DKI Jakarta dan Banten, menyumbang 60 persen. Namun, karena bebannya sangat besar, dalam kesehariannya wilayah Barat ini masih memerlukan  pasokan setrum 2.000–3.000 MW dari wilayah Timur.  Sementara, Bali hanya perlu pasokan 200 MW melalui jalur  kabel bawah laut 150 KV. Evakuasi daya dari  wilayah Timur Pulau Jawa ke Barat dilakukan lewat Saluran Tegangan Ekstra Tinggi (STT) dan Saluran Udara Ekstra Tinggi (SUTET).

Jaringan SUTET ini secara umum untuk tegangan 250 - 500 KV (Kilo Volt).  Di Jawa yang dibangun ialah SUTET 500 KV sedangkan di Sumatera 275 KV. Di Jawa SUTET 500 KV ini menjadi tulang punggung bagi jaringan interkoneksi Jawa-Bali yang mulai dibangun pertengahan 1980-an.Ketika itu, pembangkit baru dalam ukuran besar mulai beroperasi di Suralaya, Banten, dan Gresik, Jawa Timur. Interkoneksi dipilih agar ada fleksibilitas sehingga kelebihan daya bisa dievakuasi ke tempat yang memerlukan.

Pada awalnya, jaringan transmisi yang dibangun masih sebatas di Saluran Tegangan Tinggi (STT) 150 KV. SUTET 500 KV baru dibangun pertengahan 1990-an menyesuaikan  dengan kebutuhan listrik yang terus tumbuh. Penyediaan listrik pun digenjot. Namun, dengan pelambatan ekonomi dunia sejak 2013, yang diikuti pelambatan ekonomi nasional, permintaan listrik pun meningkat hanya 4,9 persen di Jawa dan 6 persen di  Sumatera. Pada periode 2014-2019 penambahan daya listrik secara nasional sekitar 10 ribu MW, menjadi sekitar 62.000 MW pada 2018.

Pembangkit listrik tersebut tentu memerlukan jaringan transmisi untuk evakuasi daya. Pada awal 2018 tercatat total panjang jaringan transmisi naik menjadi 48.900 km. Di antaranya SUTET (di atas 250 KV) sepanjang  5.400 km, jaringan Tegangan Tinggi (30 – 150 KV) sepanjang 43.827 km dan selebihnya jalur transmisi tegangan menehgah serta jaringan distribusi. Jumlah Gardu induk tegangan tinggi (GITET) pun meningkat, begitu halnya dengan  jumlah gardu induk, dan gardu distribusi sebagai pos pengatur aliran dan tegangan. Saat ini setidaknya ada lebih dari 480.000 gardu distribusi di seluruh Indonesia.

Salah satu koridor SUTET terbaru di jaringan Jawa Bali ini ialah Jepara-Ungaran-Pemalang-Mandiracan (Kuningan), panjangnya hampir 400 km, yang selesai dibangun tahun 2018 lalu. Koridir ini melengkapi ketersedian Sutet 500 KV Koridor Utara.

Bila ditarik dari arah Timur, jalur  utara itu dimulai dari Paiton, Probolinggo, ke arah Barat hingga  masuk ke Gardu Induk Tegangan Tinggi (GITET) di GRATI, Pasuruan, kemudian ke Krian Sidoarjo, terus ke Barat melewati Nganjuk, Bojonegoro, berlanjut ke Jawa Tengah hingga ke Ungaran. Seluruh pembangkit listrik Jawa Timur dan Jawa Tengah yang berada di sisi Utara terkoneksi dengan Sutet 500 KV ini.

Dari Ungaran ada SUTET 500 KV yang menuju Jepara, masuk ke PLTU Tanjung Jati. Namun, melanjutkan jalur utara itu, dari Ungaran SUTET 500 KV menjulur ke Barat, melewati Pemalang menuju Mandiracan, Kuningan. Dari situ ada SUTET yang mengarah ke Bandung, Saguling kemudian ke Depok. Sejumlah PLTU di Jawa Tengah, seperti Tanjung Jati, Tambaklorok, Batang, terkoneksi dengan SUTET ini.

Yang jalur Selatan, dari Paiton ke Kediri, menyeberang Jawa Tengah, melewati GITET Pedan di Klaten, ke Barat melewati Jogya, Cilacap, Tasik, Saguling, Sukabumi, Bogor dan Depok. Dari GITET Depok ada pula korodor SUTET 500 KV ke Cilegon, ke Tanjung Priok dan Suralaya Banten. Baik jalur Paiton-Depok Utara maupun Selatan dilayani oleh menara jangkung, tingginya  lebih dari  50 m,  masing-masing memegang dua sirkuit (sistem lintasan arus) dengan kawat telanjang. Setiap sirkuit terdiri dari tiga kabel fasa.

Dari SUTET 500 itu listrik masuk ke jalur tegangan tinggi 150 KV, turun ke 70 KV, 20 KV, sebelum masuk gardu distribusi untuk disalurkan ke konsumen. Secara keseluruhan, jaringan Jawa Bali itu dikendalikan dari oleh Pusat Pusat Pengatur Beban (P2B) Listrik  Jawa Bali yang berada di Gandul, Cinere, Depok. Di situ bisa dimonitor euas transmisi yang terganggu, beban yang ada dan kondisi setiap pembangkit.

Sejak dirintis 35 tahun lalu, gangguan sering menyengat jaringan transmisi Jawa-Bali ini. Terpapar oleh cuaca yang berubah-ubah, ada korosi, sambaran petir, jaringan transmisi ini bisa sewaktu-waktu rusak. Belum lagi insiden oleh perbuatan manusia, seperti truk menabrak gardu listrik, atau pohon yang tajuk dan cabangnya dibiarkan menyodok kabel listrik.

Tanpa perawatan yang cermat dan inspeksi rutin atas ROW (right of way) di jalur panjang arus listrik tersebut, insiden pemadaman bisa datang sewaktu-waktu. (P-1)