Ajang pertemuan para pemimpin pemerintahan dari 20 negara pada Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) G20 pada 15-16 November 2022 akan menjadi kesempatan emas bagi masyarakat Pulau Dewata mengenalkan kepada para delegasi KTT tentang keunikan Bali Aga.
Jika menyebut nama Bali, maka akan terbayang sebuah pulau dengan keindahan alam dan keramahan penduduknya. Bali adalah daerah dengan ragam budaya Hindu yang kental. Nyaris seluruh aspek kehidupan masyarakatnya berbalut budaya Hindu, mulai dari bentuk bangunan hingga cara berpakaian penduduknya.
Kentalnya budaya Hindu pada kehidupan penganutnya yang merupakan 86,8 persen dari total 4,32 juta penduduk Bali, rupanya telah berlangsung sejak berabad silam. Tepatnya ketika bangsa Austronesia dari wilayah Tonkin, Tiongkok, dengan menumpang perahu bercadik dan mengarungi lautan luas, mendarat di Pulau Bali kira-kira 2.000 tahun sebelum Masehi.
Mereka itu memiliki kehidupan yang teratur dan tertata rapi dan membentuk suatu persekutuan hukum bernama thana atau dusun. Seperti dikutip dari Custodians Of Sacred Mountains: Budaya dan Masyarakat di Pegunungan Bali karya Thomas Reuter, mereka banyak mendiami kawasan pegunungan.
Thomas Reuter menyebutkan bahwa Suku Bali Aga, demikian nama masyarakat tersebut, sangat menjaga budaya mereka lewat sejumlah aturan adat atau awig-awig yang ketat. Mereka telah lebih dulu ada dibandingkan masyarakat imigran asal Kerajaan Majapahit.
Imigran asal Majapahit itu masuk ke Bali pada 1343 Masehi dan banyak mendiami kawasan daratan rendah dan pantai. Para imigran dari Kerajaan Majapahit ini dikenal sebagai Bali Jawi atau dari Pulau Jawa. Populasi para imigran ini di Bali makin meningkat seiring tumbangnya Kerajaan Majapahit.
Bali Aga disebut juga sebagai Bali Mula. Penduduk asli Bali di pegunungan ini awalnya tak mengenal agama dan menyembah leluhur yang mereka sebut sebagai Hyang dan berlangsung hingga abad keempat masehi, yaitu ketika beberapa pemuka Hindu dari India seperti Resi Markandya mulai masuk Bali.
Penduduk Bali Aga punya budaya Hindu yang berbeda dari keturunan Majapahit. Misalnya, suku Bali Aga tidak mengenal adanya upacara ngaben atau bakar jasad orang meninggal. Mereka melakukan upacara adat dengan mengubur jasad atau dikenal sebagai beya tanem.
Kemudian, pembagian kasta hanya pada laki-laki dan perempuan, tidak berkonsultasi dengan para pendeta brahmana atau pedanda. Mereka tidak menggunakan mantra (kata-kata suci) Sankret dalam persembahyangan, dan tidak memilih pemimpin desa berdasarkan kecerdasan.
Menurut sejarawan dari Universitas Pendidikan Ganesha Bali I Ketut Darsana, kelompok kasta pada laki-laki dan perempuan menjadi dasar bagi munculnya kepemimpinan di suku tersebut. Pemimpin dari kasta ini disebut sebagai Lulu Apad. Selain itu, dialek khas penduduk Bali Aga juga berbeda dengan masyarakat Pulau Dewata pada umumnya.
Sejumlah hal menarik juga dapat digali dari masyarakat Bali Aga. Terutama, upaya mereka untuk menjaga kelestarian budayanya. Misalnya, masyarakat Bali Aga tidak diizinkan menikah dengan warga luar desa mereka. Jika hal itu sampai terjadi, maka orang yang bersangkutan harus keluar dari desa dan tidak mendapatkan hak-hak dari keluarganya. Pernikahan di dalam keluarga masih dimungkinkan, dengan batas adalah silsilah empat generasi.
Orang-orang Bali Aga masih dapat ditemui di dua desa kuno, Trunyan dan Tenganan Pegeringsingan. Desa Trunyan terletak di pesisir timur Danau Batur, Kecamatan Kintamani, Kabupaten Bangli. Untuk mencapainya, kita dapat menyewa perahu dari Dermaga Kedisan Kintamani menuju Trunyan dengan lama penyeberangan 15-20 menit.
Desa Trunyan ini menjadi terkenal karena cara pemakaman jenazah yang diletakkan di bawah sebuah pohon besar bernama taru menyan atau kayu menyan yang mengeluarkan bau harum. Ini membuat jenazah tidak berbau dan awet. Sedangkan Desa Tenganan di Kecamatan Manggis, Kabupaten Karangasem, terkenal dengan budaya kain gringsing bernilai seni tinggi karena proses pembuatannya memakan waktu bertahun-tahun.
Seperti dikutip dari website Pemerintah Kabupaten Karangasem, Desa Tenganan acap menggelar festival budaya setiap Januari, Februari, Juni, dan Desember. Misalnya, Festival Budaya Usaba Sambah yang diadakan tiap Juni atau Juli.
Seiring berjalannya waktu, seperti diutarakan budayawan I Made Suasthawa Dharmayuda dalam Kebudayaan Bali: Pra-Hindu, Masa Hindu, dan Pasca Hindu, keturunan Bali Aga turut mendiami desa-desa di kawasan pegunungan selain Trunyan dan Tenganan. Mereka dapat dijumpai di Bayung Gede, Sukawana, Selulung, Manikliu, Sembiran, Julah, Sidatapa, Cempaga, Tigawasa, Padawa, dan Banyuseri.
Oleh Pemerintah Kabupaten Buleleng, lima desa keturunan Bali Aga, seperti Sidatapa, Cempaga, Tigawasa, Padawa, dan Banyuseri, yang berada di kabupaten itu kerap disingkat sebagai SCTPB. Selain di desa-desa tadi, ajaran Bali Aga dapat ditemui di Desa Panglipuran, Kelurahan Kubu, Kabupaten Bangli.
Desa yang berada di kaki Gunung Batur itu dikenal sebagai desa paling bersih sedunia. Di sana, rumah-rumah penduduk tampak seragam di bagian depan dan tampak rapi. Tidak ada sampah di pekarangan dan jalan desanya.
Keunikan pada desa-desa keturunan Bali Aga melengkapi keragaman budaya dari Pulau Dewata dan selalu dinantikan oleh para wisatawan, baik domestik maupun mancanegara. Ajang pertemuan para pemimpin pemerintahan dari 20 negara pada Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) G20, 15-16 November 2022 akan menjadi kesempatan emas bagi masyarakat Pulau Dewata mengenalkan kepada para delegasi KTT tentang keunikan Bali Aga.
Penulis: Anton Setiawan
Redaktur: Ratna Nuraini/Elvira Inda Sari