Jakarta, InfoPublik - Staf Ahli Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Bidang Perencanaan Strategis selaku Chair Energy Transitions Working Group (ETWG),Yudo Dwinanda Priaadi, menyampaikan alasan pentingnya negara-negara G20 meningkatkan efisiensi energi menuju industri yang berkelanjutan dan tanpa karbon.
"Pertama, efisiensi energi telah menjadi kunci utama dalam mencapai tujuan Paris Agreement. Efisiensi energi pada sektor hilir diperkirakan berkontribusi hingga sekitar 40 persen dari total emisi yang dibutuhkan untuk mencapai tujuan tersebut. Namun demikian, usaha untuk memanfaatkan proyeksi ini mengalami kemunduran akibat dampak pandemi Covid-19 pada ekonomi global," ujar Yudo, seperti dilansir laman Kementerian ESDM, Rabu (29/6/2022).
Alasan yang kedua, kata Yudo, efisiensi energi juga menjadi kunci dalam membuat sektor industri lebih berkelanjutan dan efisien.
Organisasi Pengembangan Industri Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNIDO) telah memperkirakan bahwa sekitar 70% emisi gas rumah kaca berasal hanya dari lima subsektor industri, yaitu industri semen, baja, alumunium, kimia, dan kilang minyak. Industri semen dan baja sendiri merupakan penghasil CO2 terbesar, di mana semen juga merupakan produk yang paling banyak dikonsumsi dunia nomor dua setelah air. Sektor-sektor itu juga dikenal sebagai sektor yang 'hard-to-abate', sulit untuk didekarbonisasi.
"Melihat data tersebut, kita sebagai komunitas internasional dan G20 memiliki perhatian yang sama atas bagaimana kita dapat mengurangi emisi pada sektor industri secara efektif, termasuk 'hard-to-abate', heavy industries," tuturnya.
Alasan selanjutnya, energi efisiensi akan memperkuat jalur G20 dan seluruh negeri menuju energi transisi yang adil, terjangkau, dan aman. Selain itu, efisiensi energi juga akan menjadi sektor yang menguntungkan, yang menyediakan pekerjaan yang layak dan berkelanjutan.
"IEA World Energy Outlook memperkirakan bahwa efisiensi energi berpotensi untuk menyediakan sekitar 3 juta pekerjaan atau sekitar 10% dari seluruh pekerjaan yang berkaitan dengan energi bersih, hingga tahun 2030. Oleh karena itu, kita tidak boleh mengabaikan efisiensi energi dalam meningkatkan strategi dan tindakan untuk mencapai SDGs atau Tujuan Pembangunan Berkelanjutan dan Net Zero Energy (NZE)," jelas Yudo.
Selain itu, energi efisiensi, sebagai salah satu indikator dalam SDGs, hanya mencapai kemajuan yang terbatas. Intensitas energi hanya meningkat 0,5% pada 2020 dan 1,9% pada 2021. Angka ini jauh di bawah nilai yang disyaratkan untuk mencapai tujuan iklim global berkelanjutan yang telah ditetapkan pada Paris Agreement dan SDGs.
"Terakhir, energi efisiensi juga memiliki peran yang kritikal dalam mengurangi krisis energi dan memastikan pemulihan yang berkelanjutan. Hal tersebut karena efisiensi energi menjadi tindakan yang paling dapat ditindaklanjuti yang dapat diterapkan ketika menghadapi kesulitan dalam penurunan ekonomi global," pungkas Yudo.
Paris Agreement adalah sebuah traktat internasional tentang mitigasi, adaptasi dan keuangan perubahan iklim pada tahun 2015.
Persetujuan ini mengawal negara-negara untuk mengurangkan emisi karbon dioksida dan gas rumah kaca lain untuk membatasi pemanasan global kepada "cukup di bawah 2,0 derajat Celsius".
(Foto: esdm.go.id)
https://platform-cdn.sharethis.com/img/facebook.svg" alt="facebook sharing button" />
https://platform-cdn.sharethis.com/img/twitter.svg" alt="twitter sharing button" />
https://platform-cdn.sharethis.com/img/email.svg" alt="email sharing button" />