Indonesia.go.id - Cerminan Diplomasi Budaya

Cerminan Diplomasi Budaya

  • Administrator
  • Senin, 30 Juli 2018 | 07:15 WIB
GAMELAN
  Sumber foto: Flickr

Kendati belum ditetapkan sebagai Representative List of the Intangible Curlutral Heritage of Humanity, toh seni gamelan sebagai orkestra tradisional kian go international. 

Bak cendawan di musim hujan, komunitas gamel bermunculan di banyak negara. Ambil contoh, Amerika. Negara itu memiliki lebih dari seratus limapuluh set gamelan. Sebutlah Universitas California di Berkeley memiliki “Gamelan Kyai Udan Mas". Universitas Harvard memiliki “Gamelan Sudut Pandang". Massachusetts Institute of Technology (MIT), “Gamelan Galak Tika”. San Jose University, “Gamelan Sekar Kembar". Atau Lewis and Clark College, “Gamelan Kyai Guntur Sari". Dan masih banyak lagi.

Piranti gamelan itu aktif dimainkan berbagai kelompok komunitas. Proses latihan juga sangat serius. Bahkan, seringkali hingga mendatangkang langsung guru gamel dari Indonesia.

Bagaimana lukisan kecintaan dan keseriusan masyarakat negeri Paman Sam pada dunia gamelan dan seni karawitan mudah disimak dari kiprah American Gamelan Institute (AGI). Sebuah asosiasi gamelan yang didirikan oleh  komposer dan musisi Jody Diamond di Barkeley California pada 1981. 

Lembaga ini sengaja didirikan dengan tujuan mendedikasikan diri pada upaya mempromosikan dan mendokumentasikan semua aktivitas praktik seni pertunjukan gamelan di seluruh dunia. Situs AGI bahkan mencatat, ada ratusan komunitas gamel muncul di Amerika.

Dari situs itu juga kita dapat menyimak puluhan grup komunitas gamel bermunculan di negeri Sakura, Jepang. Lalu belasan tercatat muncul di Australia dan New Zealand. Tak sedikit yang muncul di negara-negara Eropa. Dan masih banyak lagi lainnya tercatat muncul di negara-negara lain.

Menurut sejarawan JL Brandes, musik gamelan ialah satu dari sepuluh unsur budaya asli masyarakat Nusantara. Sudah lama eksis, jauh sebelum Hindu dan Budha mewarnai budaya Indonesia. Tentu susah sekiranya harus membuktikan secara arkeologis hipotesa Brandes. Toh demikian di beberapa relief candi, sebutlah Candi Borobudur dari abad 8, misalnya, tercatat telah mendokumentasikan alat-alat musik gamelan, sekalipun piranti itu belum sekomplet formasi alat musik gamelan saat ini.

Gamelan mulai menarik perhatian dunia sejak dipentaskan kali pertama di Amterdam, Belanda, di 1883, dan lanjut diboyong ke Paris, Perancis, di 1889. Saat di Paris itulah, untuk memperingati “Satu Abad Revolusi Prancis” dan peresmian Menara Eiffel, pementasan musik gamelan sengaja didatangkan untuk mengisi gelaran dan ruang pamer ‘Exposition Universelle’ di Paris World’s Fair selama hampir enam bulan.

Saat itu pulalah Achille-Claude Debussy (1862-1918) jatuh cinta pada orkestrasi gamelan sejak kali pertama mendengar alunan musiknya, dan sekaligus nantinya menjadi begitu mengilhami karya musiknya. Satu set instrumen gamelan yang memikat hati Debussy itu ialah gamelan Sunda bernama “Sari Oneng Parakansalak.” Kini tersimpan di Museum Prabu Geusan Ulun, Sumedang.

Siapakah Claude Debussy? Sering dianggap sebagai pelopor munculnya genre imprisionisme. Karena kecakapannya bermusik, Debussy juga sering dianggap sebagai komposer musik klasik yang berpengaruh di Eropa di akhir abad ke-19 dan awal abad ke-20.

Menarik dicatat, Claude Debussy pernah menyanjung puji musik orkestrasi gamelan sedemikian rupa dengan berkata, “Harus diakui, jika mendengar alunan gending Jawa menggunakan telinga normal orang Eropa, maka Anda harus mengakui bahwa jenis musik kita itu sebenarnya tak lebih daripada sekadar bunyi-bunyi dasar sirkus keliling.”

Pernyaatan yang diucapkan seorang komposer berpengaruh di Eropa inilah, tentu memprovokasi telinga masyarakat dunia hingga memancing rasa keingintahuan. Sekaligus juga menciptakan popularitas gamelan dan seni karawitan Indonesia naik ke atas panggung dunia.

Catatan Emas

Terhitung delapanpuluh delapan tahun berselang sejak gamelan memesona Claude Debusy, pada 5 September 1977 NASA (National Aeronautics and Space Administration) meluncurkan Voyager 1. Enambelas hari berselang yaitu 20 Agustus 1977, NASA kembali meluncurkan Voyager 2.

Dua wahana robotik ini tujuan awalnya menjelajah Planet Jupiter dan Saturnus. Setelah tugas ini selesai maka Voyager Spacecraft akan dilepaskan kontrolnya dan dibiarkan menjelajah terus dan terus hingga keluar batas tata surya hingga mencapai titik terjauhnya yang sama sekali tak pernah terbayangkan.

Menariknya, misi penjelajahan antariksa ini juga membawa pesan yang disimpan pada “Catatan Emas (Golden Record) yang berisi rekaman suara dan bunyi dari kehidupan bumi. Komite seleksinya diketuai seorang astronom terkenal, Carl Sagan, menyiapkan seluruh suara dan musik itu untuk direkam sebagai pesan cinta makhluk bumi bagi kehidupan di luar bumi.

Puspawarna, sebuah judul komposisi gamelan karya Mangkunegara IV (1853-1881) yang tersohor itu, turut mendapat kehormatan diikutsertakan dalam Catatan Emas itu. Dibuat dari bahan mengandung isotop uranium-238, Catatan Emas tersebut diestimasi memiliki usia rusak hingga 4,468 miliar tahun.

Puspawarna yang dalam bahasa Indonesia berarti “bermacam-macam bunga” kemudian diterjemahkan ke bahasa Inggris: 'Kinds of Flowers'. Dimainkan oleh Tjokrowasito yang juga pernah menjadi guru gamel di Institut Seni California, direkam oleh seorang etnomusikologi asal Amerika Robert Edward Brown. Puspawarna berdurasi 4 menit 43 detik ini bersanding dengan beberapa simfoni musik klasik legendaris seperti karya Johann Sebastian Bach, Ludwig van Beethoven, Wolfgang Amadeus Mozart, dan masih banyak lagi karya seni-estetis lainnya.