Indonesia.go.id - Wayang Golek Purwa Sunda, Sebuah Peleburan Kreativitas

Wayang Golek Purwa Sunda, Sebuah Peleburan Kreativitas

  • Administrator
  • Minggu, 29 September 2019 | 19:49 WIB
SENI PERTUNJUKAN
  Wayang Golek. Foto: Pesona Indonesia

Dalem Karanganyar berkeinginan menonton wayang di siang hari. Karena itu dia memerintahkan Ki Darman untuk mengganti wayang dua dimensi yang dibuat dari kulit menjadi wayang tiga dimensi yang dibuat dari kayu.

Naskah kuno Sunda yang bernama Sanghyang Siksakandang Karesian adalah naskah yang ditulis pada sekitar tahun 1518 Masehi. Salah satu bagian di dalamnya menyebutkan tentang kesenian wayang yang ada pada masa penulisan naskah.

Masa itu adalah masa transisi yang ditandai dengan memudarnya kekuasaan Majapahit di wilayah timur dan munculnya naskah-naskah berbahasa lokal. Naskah itu menyatakan, "Hayang nyaho di sakweh ing carita ma, gos ma: Darmayanti, Sanghyang Bayu, Jayasena, Pu jayakarma, Ramayana, Adiparwa, Korawasrama, Bimasorga, Rangga Lawe, Boma, Sumana, Kala Purba, Jarini, Tantri; sing sawatek carita ma memen tanya."

Judul-judul lakon wayang yang disebutkan dalam naskah tadi sebagian besar berasal dari babon Ramayana dan Mahabharata. Lakon seperti Rangga Lawe dan Sumana ditengarai sebagai lakon-lakon yang merupakan kisah-kisah lokal yang berkembang satu masa dengan perkembangan kisah tutur panji di wilayah-wilayah yang dulu mengakui kedaulatan Majapahit. Di akhir naskah disebutkan kata "memen". Kata ini adalah padanan kata untuk "dalang" pada waktu itu.

Wiryanapura dalam buku Asal-usul Dalang dan Perkembangan Wayang di Jawa Barat (1977) menceritakan proses munculnya genre Wayang Golek Purwa yang berasal dari Sunda. Proses ini jika dibandingkan dengan perkembangan seni pewayangan di Jawa atau di Melayu memang relatif lebih mudah, tetapi beberapa kesaksian yang muncul di dalamnya mampu menceritakan bagaimana cara orang-orang Indonesia membentuk budaya populer yang mampu bertahan dengan ciri khas lokalitas masing-masing walaupun sumbernya bisa jadi berasal dari induk besar yang hampir sama.

Berkah Preangerstelsel

Sebelum adanya sistem Cultuurstelsel, Belanda cukup sukses menerapkan Preangerstelsel yang dilakukan di kawasan Priangan. Wilayah itu jika dilihat pada saat ini meliputi Sumedang, Bandung, Cianjur, Sukabumi, dan Bogor. Di kawasan ini Belanda menerapkan model pertanian tanaman-tanaman agrikultur yang bernilai tinggi seperti kopi, teh, dan Indigo atau nila. Pada zaman inilah, di akhir abad 18 sampai dengan awal abad 19, wilayah-wilayah yang menanam tanaman komoditas ekspor itu mengalami zaman kemakmuran.

Muncullah kalangan "Menak" atau bangsawan sunda, yang jika ditarik garis keturunan mungkin masih memiliki hubungan kekerabatan dengan garis keturunan dari Vorstenlanden atau wilayah-wilayah kerajaan yang ada di Pulau Jawa bagian timur. Pada saat itu pembagian wilayah Jawa oleh Belanda hanya mengenal separuh wilayah barat dan separuh wilayah timur. Di antara kebutuhan para menak itu adalah keinginan untuk menikmati seni pertunjukan yang pas dengan selera mereka.

Awalnya adalah Bupati Wiranatakoesoema II. Dia adalah bupati Bandung periode 1794 hingga 1829. Dia dikenal sebagai "Bapak Pendiri Kota Bandung". Bupati ini pula yang mengalami masa kekuasaan Herman Willem Daendels (1808-1811). Pada zaman ini pula berhasil dibangun jalan raya pos yang bisa menghubungkan antara Anyer di barat hingga Panarukan di timur.

Bupati yang dikenal sangat memahami dinamika masyarakat Priangan pada waktu itu merasa perlu untuk mengembangkan satu jenis kesenian yang khas Sunda. Untuk itu dia mendatangkan dalang wayang dari Tegal. Pada saat itu wilayah Tegal yang kaya dengan akulturasi budaya Cirebonan dengan budaya Mataraman dinilai mempunyai kreativitas yang lebih untuk menghasilkan kreasi yang orisinil. Apalagi ekspor kopi pada waktu itu sedang bagus-bagusnya.

Ki Guna Permana atau Dipaguna Permana adalah dalang Tegal yang pertama kali diundang dan ditetapkan menjadi dalang "dalem" kabupaten Bandung. Dalam catatan Etnomusikolog dari Ohio, Andrew Weintraub, dalam bukunya Power Plays: Wayang Golek Puppet Theater of West Java (2004), Dipaguna Permana membawa beberapa murid yang kemudian mengembangkan karawitan sunda di berbagai daerah Priangan. Mereka adalah Mayat yang mengembangkan karawitan di pesisir utara sekitar Karawang hingga Purwakarta. Sedangkan nama lain seperti Ketuwon, atau Ketiwon mengembangkan karawitan sunda di wilayah Sukabumi hingga Bogor. Sumber lain menyebutkan ada nama Ki Gubyar yang mengembangkan ilmu pedalangan dan karawitan di Purwakarta dan Ki Klungsu yang menyebarkan di wilayah Garut.

Padepokan Cibiru

Pada masa Dipaguna Permana, pertunjukan wayang di Priangan masih mengikuti pakem wayang Purwa, Jawa. Suluk atau lagu-lagu bermantra khas wayang masih menggunakan bahasa Jawa Kawi. Untuk dialog atau sanggit menggunakan bahasa Jawa pesisiran karena koreografernya memang berasal dari Tegal. Baru pada masa Wiranatakusuma III atau Dalem Karanganyar muncul perubahan bentuk. Dalem Karanganyar mendatangkan Ki Darman dengan dua muridnya Ki Rumiang dan Ki Surasungging. Ketiganya memiliki keahlian yang berbeda-beda.

Penelitian Weintraub, mencatat bahwa Ki Darman adalah seorang pembuat wayang, sementara Ki Rumiang adalah seorang "dalang" atau performer. Sedangkan Ki Surasungging adalah seorang pembuat gamelan. Bisa saja penelitian Weintraub yang mendasarkan diri pada penelitian Wiryanapura (1977) memiliki sedikit kekeliruan. Dalam kultur budaya pesisiran Jawa, nama seorang dalang biasanya dilekatkan berdasarkan kemampuannya. Nama Ki Surasungging lebih tepat jika dia diletakkan sebagai seorang pembuat wayang. Sementara nama Ki Rumiang memang paling tepat untuk menggambarkan seorang performer. Sedangkan Ki Darman karena paling senior dia menguasai semua keahlian. Dia adalah komposer, ahli dramaturgi, dan tentu saja ahli aksi pertunjukan dan teaterikal.

Dalem Karanganyar mempunyai keinginan untuk menonton wayang di siang hari. Karena itu dia memerintahkan Ki Darman untuk mengganti wayang dua dimensi yang dibuat dari kulit menjadi wayang tiga dimensi yang dibuat dari kayu. Untuk membuat karyanya Ki Darman dibuatkan padepokan di Cibiru, dua belas kilometer ke arah timur dari Bandung. Sedangkan untuk dalang "dalem" Ki Rumiang menjadi yang terpilih.

Dari Ki Rumiang inilah kemudian muncul nama Mama Anting atau Rama Anting yang menjadi leluhur dalang-dalang yang mampu menampilkan pertunjukan dengan gaya Sunda. Konon, berdasarkan penuturan dalang kondang yang menjadi Bupati Tegal Enthus Susmono, Ki Rumiang masih mempunyai garis kekerabatan dengan dirinya. Berdasarkan tradisi keluarganya, Ki Rumiang adalah seorang dalang yang berasal dari daerah Ketitang yang saat ini berada di Kecamatan Talang, Tegal.

Dari garis Mama Anting, muncullah nama seperti Suwanda dan Surawisastra yang besar di Bandung. Untuk wilayah Garut muncul nama  Bradjanata. Suwanda atau dikenal dengan nama Parta Suwanda inilah yang kemudian menulis literatur pedalangan gaya Sunda. Dari garis Suwanda inilah muncul keluarga Sunarya yang melahirkan generasi dalang Sunda paling populer di Republik Indonesia. (Y-1)