“Maria Asummpta” merupakan lukisan karya Basoeki Abdullah. Berukuran 2 x 1 meter, lukisan ini ditemukan di sebuah gudang bawah rumah susun jompo yang dikelola Serikat Jesuit di Nijmegen, Belanda.
Yang menarik dari lukisan ini ialah kuatnya warna alkuturasi dalam proses kreatifnya. Basoeki tidak melukis Maria dalam citra perempuan Eropa, sebagaimana biasanya. Citra Maria dilukis sebagai perempuan Jawa.
Maria dilukis sebagai perempuan berkebaya dengan kain sinjang batik bermotif parang. Tangannya dibentangkan sebatas paha dengan posisi terbuka. Kepalanya berkerudung selendang sutra biru muda. Dilukis sedikit menunduk dengan mata separuh terpejam, seolah tengah melihat ke bawah. Sekujur tubuhnya diselimuti aura putih keemasan.
Maria terbang naik ke langit, meninggalkan hamparan lembah luas di antara dua gunung, hamparan sawah menguning sejauh mata memandang, lengkap dengan pepohonan nyiur melambai.
Ya, bicara lanskap alam sebagai latar juga tampak mengekspresikan karakteristik lokal. Dua gunung itu tingginya hampir sama. Satu gunung di sisi kanan dilukiskan mengepulkan asap tinggi, gunung satunya tidak. Bagi masyarakat Jawa Tengah atau Yogyakarta, seperti juga Basoeki yang lahir di Solo, kedua gunung itu mudah ditafsirkan sebagai Merbabu dan Merapi.
https://indonesia.go.id/assets/img/assets/1554715987_Bunda_Maria_versi_Jawa.png" />
Bunda Maria dalam balutan busana Jawa karya Basoeki Abdullah. Sumber: Kemendikbud
Lukisan “Maria Asummpta” atau Bunda Maria Naik ke Surga dalam rupa perempuan Jawa itu kini menjadi koleksi di Museum Nijmegen, Belanda.
Gregorius Subanar SJ atau biasa dipanggil Romo Banar pernah memaparkan, setidaknya ada lima lukisan Basoeki Abdullah yang mengekspresikan ‘keimanan Katolik’ dalam nuansa Jawa. Di samping dua Bunda Maria versi Jawa yang juga ada dua versi, pun ada dua lukisan berjudul “Kelahiran” dan “Tri Tunggal”. Satu lukisan lagi berupa mural di dinding Gereja Katedral Randusari Semarang, sekalipun kini itu telah dihapus.
Lukisan Kelahiran menggambarkan proses kelahiran Yesus. Sosok ini juga dilukis dalam nuansa Jawa. Romo Banar menuturkan, “Basoeki memasukkan unsur ‘Buddha’ dalam proses kelahiran Yesus. Yesus seolah muncul dari sekuntum bunga teratai.” Dan untuk memperkuat nuansa Jawa, Basoeki menambahkan latar belakang bangunan berarsitektur ala candi Hindu.
Pada lukisan berjudul “Tri Tunggal”, dia menggambarkan Yesus sebagai sosok bermahkota. Menariknya, jika diamati, bentuk mahkota itu mirip yang dikenakan raja-raja Jawa. Sedangkan mural di dinding Gereja Katedral di Semarang, Basoeki melukis Bunda Maria berjubah ala lukisan Eropa. Dari sebuah foto koleksi Romo Banar didapatkan bukti, sampai 1956-an lukisan itu masih ada.
Manusia Multidimensional
Mooi Indie atau Hindia Molek. Itulah kritik S Sudjojono pada seniman Indonesia yang cenderung melukiskan keindahan eksotisme nusantara dari kacamata Barat. Menurut Sudjojono, para seniman Hindia Molek ini memiliki konsep baku dalam melukis. Dia menyebut sinis dengan istilah “trinitas”: gunung, sawah, dan pohon, sebagai objek yang selalu ada dalam tiap lukisan para seniman ini. Selain itu, tak ketinggalan, gadis berkebaya dengan selendang berkibar-kibar indah.
Sudjojono menggugat kemapanan konsep paradigmatik para seniman Indonesia saat itu. Yang menurutnya, cenderung selalu melukiskan obyeknya dengan citra ‘semua serba bagus dan romantis bagai surga, semua serba enak, tenang, dan damai’.
Salah satu inisiator pendiri Persagi (Persatuan Ahli Gambar Indonesia) dan SIM (Seniman Indonesia Muda) ini menolak seni lukis yang lahir dari kebutuhan di luar lingkungan bangsa Indonesia. Karya seni lukis yang sekadar melayani kebutuhan industri pariwisata, turis-turis Eropa, atau orang-orang Belanda yang telah pensiun, ditolaknya.
Bagi Sudjojono, seni lukis harus muncul dari dalam hidup sehari-hari. Menurutnya, perupa seharusnya “…menggambar juga pabrik-pabrik gula dan si tani yang kurus, mobil si kaya dan pantalon si pemuda; sepatu, celana, dan baju garbadin pelancong di jalan aspal. Inilah keadaan kita. Inilah realiteit kita.” Dia menyebut pandangan seni rupanya sebagai realisme.
Salah satu sasaran kritik Sudjojono jelas dialamatkan pada Basoeki Abdullah. Lukisannya dianggap sarat dengan semangat Hindia Molek dan hanya berurusan dengan kecantikan dan keindahan. Padahal masa itu Indonesia ialah bangsa jajahan. Realitas kehidupan serba sangat pahit. Menurut Sudjojono, seni lukis seharusnya tidak terpisah dari realitas kehidupan masyarakat sekitarnya.
Kolega Sudjojono, Trisno Sumardjo, seorang sastrawan dan budayawan tahun 1950-an, bahkan mengkritik karya-karya Basoeki Abdullah sebagai sekadar bernilai pemuasan selera rendah, kuasi romantik, dan membawa bobot erotisme yang dicari-cari. Lebih lanjut Trisno berkata, ”…perempuan-perempuan molek montok separuh telanjang ala Hollywood ‘mewakili’ manusia Indonesia. Teranglah bahwa dengan begitu kesenian diturunkan sebagai barang pasaran tak berisi, pun merusak rasa seni bangsa kita.”
Ya, antara Basoeki dan Sudjojono, sekalipun sama-sama mendasarkan diri pada teknik seni lukis modern, keduanya memiliki pandangan estetik berbeda. Keduanya juga melahirkan cara pengungkapan karya yang berbeda satu dengan lainnya.
Realisme Basoeki Abdullah ialah realisme yang dibesut oleh aliran naturalisme atau romantisme. Hampir semua hasil karya lukisannya selalu tampak lebih indah daripada realitas sesungguhnya. Artinya, apa yang diguratkannya dalam kanvas selalu sengaja dibuat untuk memanjakan mata, dan tujuan ini boleh dikata sangat berhasil.
Basoeki Abdullah sendiri tentu sadar. Ia menganggap lukisannya bukanlah sekadar potret. Atau dengan kata lain, keindahan lukisan-lukisan Basoeki ialah keindahan salon, keindahan yang direkayasa oleh imajinasi pelukisnya. Pada lukisan itu memberikan ruang bagi munculnya dimensi nonriil yang jauh melampaui realitas itu sendiri.
Pada aspek nonriil inilah, daya cipta dan proses kreatif dari pelukisnya sebenarnya dinilai. Bukan semata dinilai pada penguasaan aspek teknis-grafis dan seni figuratif dalam mengguratkan kuas serta kemampuan permainan komposisi warna untuk membangun citra visual yang kuat, melainkan lebih jauh juga dinilai pada sejauh mana karya itu sanggup mengantar orang pada buah perenungan dan kenikmatan estetis.
Bicara karya-karya Basoeki Abdullah, merujuk museumbasoekiabdullah.or.id setidaknya dapat diklasifikasikan menjadi lima. Yaitu pertama, potret, kedua, figur manusia, ketiga, lanskap alam, keempat, drama, mitos, dan spiritualitas, dan kelima, kebangsaan.
Menyimak kelima topik ini, menyederhanakan Basoeki Abdullah semata berparadigma Hindia Molek, tanpa keberpihakan, jelas keliru. Lebih dari itu, Basoeki Abdullah juga seorang pejuang. Sekalipun bukan memanggul sejata dan bergerilya, tetapi melalui lukisan.
https://indonesia.go.id/assets/img/assets/1554716180_Sketsa_Perjuangan_1_karya_Basoeki_Abdullah.jpg" />Sketsa Perjuangan 1 karya Basoeki Abdullah. Sumber: Kemendikbud
Setidaknya ditemui dua guratan tangannya dan diberi judul “Sketsa Revolusi Perjuangan Indonesia.” Sketsa pertama menggambarkan proses perjuangan kemerdekaan Indonesia, mulai dari kedatangan sekutu, terbentuknya TNI, penandatanganan naskah penyerahan kedaulatan antara RIS dan Belanda, hingga pengibaran bendera Merah Putih di Istana Merdeka. Sketsa kedua menggambarkan suasana heroik pertempuran TNI.
Basoeki Abdullah juga gemar melukis tokoh-tokoh idolanya. Tercatat lukisan dr Wahidin Sudirohusodo, inisiator berdirinya Budi Utama yang juga kakeknya sendiri. Sketsa Bung Karno juga pernah dibuat saat ia berjumpa dengan sosok yang dikaguminya di Sukabumi pada 1942.
Begitu juga ia melukis Bung Hatta, Ibu Rahmi Hatta, Mr Mohamad Roem, dan Sultan Hamid II di Den Haag sewaktu di Indonesia tengah berlangsung Konferensi Meja Bundar. Karya-karya itu dibuatnya saat ia tinggal di Eropa.
Masih dari nun jauh di Eropa sana. Pada 6 September 1948 bertempat di Nieuw Kerk Amsterdam, Ratu Juliana dinobatkan. Sebagai selebrasi, saat itu diadakan sayembara melukis. Basoeki Abdullah keluar sebagai juara umum, mengalahkan 87 pelukis Eropa lainnya. Basoeki melukis Ratu Juliana dan lukisan itu hingga kini masih dipasang di Istana Soestdijk.
Tak kecuali, Basoeki juga membuat lukisan Pangeran Diponegoro hingga Cut Nyak Dien. Lukisan-lukisan ini membuat bangsa Indonesia menjadi mengenal lebih dekat sosok dan tokoh pejuang masa lalu, yang langsung atau tidak telah menginspirasi generasi pelanjut untuk terus mengelorakan nasionalisme.
Agus Dermawan T dalam bukunya “Riwayat yang Terlewat” (2011) mencatat, pameran lukisan Basoeki di Hotel Hilton Jakarta pada 1984 dihadiri 10.000 orang, dan pameran lukisannya di tahun yang sama di Taman Ismail Marzuki Jakarta dihadiri sekitar 60.000 orang. Melihat besarnya antusiasme masyarakat, ini berarti bisa disimpulkan lukisan-lukisan Basoeki Abdullah memang sangat digemari khalayak luas.
Menarik sedikit diulas ialah perihal lukisan Pangeran Diponegoro. Dibuat di Den Haag pada 1949, sewaktu di Indonesia masih berlangsung Konferensi Meja Bundar.
https://indonesia.go.id/assets/img/assets/1554716639_Basuki_Abdullah_Diponegoro_memimpin_pertempuran_oil_on_canvas_150cm_X_120cm_koleksi_bung_karno_237x300.jpg" />
Lukisan Pangeran Diponegoro Memimpin Pertempuran sebagai salah satu perwujudan sikap nasionalisme Basoeki Abdullah. Sumber: Kemendikbud
Menunggangi kuda hitamnya Pengeran Diponegoro dilukiskan mengacungkan jari telunjuk. Tangan satunya memegangi tali mengendalikan kuda. Di dadanya terselip sebilah keris. Pangeran Diponegoro dilukiskan marah menerjang, sorot matanya tajam menghujam. Dengan latar warna coklat merah menyala, tampaknya Basoeki Abdullah sengaja bermaksud menunjukkan amukan Diponegoro di tengah lautan api.
Dalam Seminar Sejarah Nasional pada Desember 2018, Mikke Susanto mengatakan, “Lukisan Diponegoro yang paling populer yakni Diponegoro naik kuda karya Basuki Abdullah meniru gaya Napoleon Crossing the Alps karya Jacques Louis David (1801).”
Pada dekade 1980-an, potret pahlawan karya Basoeki Abdullah jadi paling populer. “Ratusan potret pahlawan direproduksi besar-besaran. Padahal Basuki Abdullah,” Mikke Susanto melanjutkan, “ketika melukis Pangeran Diponegoro sebenarnya tidak bersumber dari foto, melainkan hanya dari imajinasinya.”
Namun bicara imaginasi Basoeki Abdullah tampaknya bukanlah produk khayali belaka. Setidaknya, demikianlah pengakuan pelukisnya sendiri. Merujuk Agus Dermawan T dikisahkan, Basoeki mengaku pernah bertemu mistis dengan Pangeran Diponegoro. Seturut pengakuannya, proses pertemuan mistis ini difasilitasi oleh Nyai Roro Kidul.
“Itulah sebabnya saya yakin, wajah Diponegoro yang sebenarnya adalah yang ada dalam lukisan saya. Pelukis lain hanya mengira-ngira,” ujar Basoeki.
Tentu saja klaim ini secara historis tidak pernah bisa diklarifikasi. Selama ini bicara wajah Pangeran Diponegoro lazimnya didasarkan pada sumber lukisan. Ada dua sumber dokumentasi sejarah.
Lukisan pertama dibuat oleh Nicolaas Pieneman (1809-1860). Dia saat itu bertugas untuk mendokumentasikan momen penangkapan Diponegoro di Magelang pada 28 Maret 1830. Lukisan kedua ialah karya Raden Saleh. Dibuat saat ia berada di Eropa di kisaran 1856 - 1857. Pieneman memberi judul lukisannya “Penyerahan Diri Diponegoro,” Raden Saleh memberi judul “Penangkapan Diponegoro.”
Antara lukisan Basoeki Abdullah, Nicolaas Pieneman, dan Raden Saleh tentang wajah Pangeran Diponegoro, sedikit banyak ditemukan ‘typical faces’ yang mirip. Jelas bukan tak mungkin, Basoeki telah melakukan riset dan melihat kedua lukisan itu saat tinggal di Belanda, sebelum ia melukis karyanya sendiri.
Namun demikian juga bukan tak mungkin, Basoeki Abdullah seorang mistikus. Selain sering dikisahkan suka menyendiri ke Pantai Parangtritis, Basoeki juga dikenal luas telah melukis tokoh legenda yang sangat populer dan diyakini keberadaannya oleh masyarakat Jawa hingga kini. Ratu Pantai Selatan.
Judul lukisan ini, merujuk Handini, keponakan Basoeki, yang benar ialah “Kanjeng Ratu Kidul”. Namun masyarakat kadung mengenal lukisan ini berjudul “Nyai Roro Kidul”. Lukisan Kanjeng Ratu Kidul merupakan salah satu karya Basoeki Abdullah yang legendaris.
Menyimat pekatnya aspek mistis pada kehidupan sang maestro ini, mungkin tak salah jikalau dikatakan: Sekalipun Basoeki Abdullah sering dikritik sebagai pribadi yang cenderung “kebarat-baratan,” sejatinya dia tetap seorang pribadi Jawa yang mistis.
Dalam alam pikir mistis pribadi Orang Jawa inilah, bukan hanya lahir lukisan Kanjeng Ratu Kidul. Lebih jauh, dalam alam pikir mistis ini juga dimungkinkan tercipta lukisan Bunda Maria dan lukisan Tuhan Yesus versi lokal Jawa sebagai buah dari proses kreatif Sang Maestro. (W-1)