Indonesia.go.id - Saat Axel Roses Harus Sungkem ke Sodiq Monata

Saat Axel Roses Harus Sungkem ke Sodiq Monata

  • Administrator
  • Rabu, 26 Juni 2019 | 03:35 WIB
ERA DISRUPSI
  Industri musik. Foto: Instagram/New Monata

Genre musik dangdut koplo yang sejak awal mula kemunculannya memang mendasarkan popularitasnya dari pertunjukan ke pertunjukan, saat ini bisa jadi menunjukkan satu-satunya pelaku industri pertunjukan yang usahanya berjalan dengan sehat.

Entrepreneurial Renaissance adalah judul sebuah buku yang diterbitkan oleh Innovation Value Institute (IVI) dari  Maynooth Univeristy, Irlandia pada 2017. Lembaga ini merupakan kerja sama universitas itu dengan perusahaan microprosessor Intel untuk memenuhi kebutuhan manajemen teknologi informasi yang belakangan kemajuannya meningkat sangat pesat.

Martin Curley, pendiri IVI, mengutip sebuah kalimat dari Victor Hugo di awal pengantar buku ini, "Tidak ada yang lebih kuat dari sebuah ide yang datang pada saat yang tepat." Di zaman 'disrupsi' di berbagai bidang teknologi yang datang pada saat yang bersamaan, maka terjadilah perubahan-perubahan yang sangat mendasar, menghancurkan pemain-pemain lama, dan memunculkan pemenang-pemenang baru. Keadaan yang pernah digambarkan pemikir ekonomi Schumpeter sebagai destruksi kreatif yang kecepatan perubahannya mengikuti Hukum Moore dan Hukum Gilder.

Hukum Moore adalah laju kecepatan komputer yang meningkat setiap delapan belas bulan setelah penemuan teknologi mikroprosesor. Sedangkan Hukum Gilder adalah laju perkembangan pita lebar jaringan komunikasi yang meningkat tiga kali laju kecepatan komputer, atau berlipat dua setiap enam bulan.

Ketersambungan atau konektivitas antara berbagai perangkat digital yang berbasis komputer pada saat ini telah menjadi kelaziman. Pita lebar 'mobile data' yang telah menjadi urat nadi perangkat komunikasi saat ini telah memungkinkan interaksi manusia, pekerjaan, jual-beli, layanan jasa, media massa, permainan, pendidikan, hiburan hingga pengelolaan keuangan menjadi mudah dalam genggaman.

Hal-hal itu adalah bagian dari otomatisasi, substitusi, dematerialisasi, 'delivery', dan transformasi yang terjadi di segala bidang. Sebut saja beberapa nama aplikasi yang lazim digunakan orang zaman sekarang, mulai dari Whatsapp, LinkedIn, Bukalapak, Go-Jek, Babe, Stream, Zenius, Joox, hingga OVO hanyalah sedikit dari sekian banyak aplikasi digital yang digunakan orang sehari-hari.

Bermimpi, Jajaki, dan Raih

Kiat-kiat yang harus dimiliki wirausaha di zaman transformasi digital sebenarnya bukanlah hal yang baru. Sejak zaman merebaknya perdagangan antarbangsa yang mempertukarkan kelimpahan produksi akibat teknologi yang dikembangkan manusia, siapapun yang berani bermimpi, berani menjajaki, dan menempuh risiko saat mewujudkan mimpinya pasti akan meraih banyak hal.

"Dream, Explore, and Discover", telah ditunjukkan oleh pedagang-pedagang dari Dinasti Sung di Cina, dengan pedagang-pedagang Arab, Turki, dan Persia yang bernaung di bawah kekuasaan Dinasti Abbasiyah pada periode abad 10 hingga 14 masehi. Jalan sutera yang menghubungkan  jalur perdagangan darat dari Kunya di barat hingga Xin Jiang di timur, adalah saksi sejarah bertemunya kelebihan-kelebihan produksi akibat kemajuan peradaban dan teknologi di kedua belahan Eurasia.

Zaman perdagangan besar dunia berikutnya semakin meningkat kapasitasnya dengan jalur perdagangan lintas samudera. Komoditas-komoditas yang dipertukarkan di sekitar Muara Sungai Nil, Laut Merah, dan Pantai Timur Afrika bisa diperdagangkan dengan komoditas Kain Sutera, Katun, Blacu, Gambir, Nila, dan berbagai rempah yang terdapat di selat Hormuz, Muskat, Kambay, dan Malabar yang berhadapan dengan teluk Persia.

Demikian pula dengan sisi timurnya, pedagang-pedagang Kaling di Coromandel menukarkan Blacu, Sutera, bijih besi, dengan berbagai macam hasil hutan dan rempah-rempah  di pedalaman Siam, Semenanjung Melayu, Pantai Barat Sumatra, dan kedua sisi selat Malaka. Demikian pula semakin ke timur pertukaran komoditi-komoditi berharga yang hanya dihasilkan dari kepulauan di belahan palling timur bisa terkumpul di bandar-bandar selat setelah sebelumnya terkumpul di bandar-bandar pantai utara Jawa, dan bandar-bandar di kedua sisi selat Sunda.

Pada saat itu bangsa-bangsa Eropa yang unggul dalam teknologi kelautan bisa mencapai bandar-bandar yang telah mencapai puncak keramaiannya. Mereka pun memulai dengan strategi pencatatan, penelitian, dan pengembangan untuk bisa memaksimalkan apa yang mereka punya, apa yang mereka bisa dapatkan, dan apa yang bisa mereka kembangkan di tempat asal mereka. Sejak itu, perkembangan peradaban manusia memungkinkan pengumpulan modal yang kekuatan ekonominya bisa lebih kuat dari ekonomi negara.

Destruksi Kreatif

Schumpeter, pemikir ekonomi dari Austria, terkenal dengan istilah destruksi kreatif. Pada tiap perkembangan krisis kapitalisme yang salah satunya diakibatkan oleh perkembangan teknologi dan inovasi akan terjadi perubahan keadaan yang sangat mendasar. Hal-hal yang telah mapan dalam masa-masa sebelumnya lama-kelamaan menjadi lamban dan perlahan menjadi beban.

Jalur perdagangan, alat angkutan, alat tukar, hingga pencatatan transaksi harus segera dimutakhirkan. Kemunculan kapal uap, uang giral, kertas, pena, mesin cetak, hingga bank dan penukaran uang dalah hal-hal mengantarkan sebuah perubahan yang lebih besar saat kekuatan modal membutuhkan industri sebagai tempat berkembang-biak yang lebih leluasa.

Di zaman kini, saat benda-benda bersejarah pembawa perubahan besar abad 20 sudah menjadi suvenir, muncul perangkat-perangkat berbasis elektronika digital dengan kecepatan yang melebihi cahaya dalam unjuk kerjanya yang memungkinkan terjadinya pasar dunia yang bersifat global tetapi sekaligus mampu mengikutsertakan pemeberdayaan ekonomi lokal.Tidak hanya besaran-besaran makro yang mampu menentukan perubahan, kepopuleran kegiatan ekonomi yang berskala kecil mampu menghadirkan tidak hanya efisiensi pertukaran tetapi melahirkan pula peluang dan kesempatan yang serba baru.

Merawat Komunitas dan Kolaborasi

Memasuki dekade kedua abad 21, industri musik adalah yang terlihat paling terpukul dengan perubahan besar yang sedang terjadi. Dekade awal zaman internet, platform berbagi rekaman digital Napster adalah yang pertama kali menimbulkan goncangan. Industri musik yang dalam tiga dekade sebelumnya telah mengalami kemakmuran dan mencapai puncak-puncak kreasinya, tiba-tiba merasakan arus yang awalnya kecil, tetapi perlahan membawa mereka ke sebuah lubang isap yang akan melenyapkan apa yang sebelumnya telah membawa pada kejayaan.

Salah seorang pelaku bisnis rekaman di Indonesia mengatakan bahwa awal kehancuran musik rekaman digital di Indonesia dinamainya sebagai Black Oktober (2011). Pada waktu itu Badan Regulasi Telekomunikasi Indonesia (BRTI) menghentikan SMS premium dan layanan RBT (ring back tone).

Dari platform musik yang ditempelkan pada perangkat komunikasi itulah sebelumnya pijakan terakhir keuntungan yang bisa didapat dari industri musik Indonesia. Dari industri penjualan keping rekaman sudah menjadi bagian dari masa lalu. Sedangkan penghasilan dari pendapatan layanan streaming berbayar sangat kecil untuk bisa dinilai sebagai penghasilan yang memadai.

Tantangan besar yang dihadapi industri musik di Indonesia sebenarnya merupakan gejala global. Sudah cukup lama tidak muncul artis rekaman atau grup band baru muncul dari industri musik dunia. Kalaupun ada saat ini hanyalah pertunjukan musik festival berkeliling mengunjungi penggemar di berbagai kota di dunia. Dalam skala industri, model pertunjukan keliling tentu saja tidak mungkin bisa menjadi sumber pendapatan bagi banyak orang yang sebelumnya menggantungkan hidupnya dari industri musik rekaman.

Kecilnya nilai yang didapatkan dari pertunjukan musik berkeliling pada saat ini menempatkan artis-artis rekaman tingkat dunia, mau tidak mau harus sama kedudukannya dengan band-band lokal yang sudah dari semula memang hanya berkiprah di pertunjukan-pertunjukan tobong. Sudah bukan rahasia lagi jika artis kaliber dunia seperti grup rekaman Guns n Roses dari LA Amerika Serikat saat ini pendapatannya telah disamai oleh grup musik Monata Dangdut Koplo dari Sidoarjo.

Bagi industri musik perubahan pesat yang terjadi memang belum memperlihatkan keadaan seperti apa yang bisa membuat mereka bisa bangkit kembali. Tetapi di balik turbulensi, ada banyak sisi dalam industri musik pertunjukan yang sebenarnya memperlihatkan bagaimana seharusnya industri musik 'menyesuaikan diri' dengan perubahan zaman.

Mulai dari kemampuan bertahan hidup pelaku industri pertunjukan musik yang kebanyakan berasal dari Jawa Timur. Genre musik dangdut koplo yang sejak awal mula kemunculannya memang mendasarkan popularitasnya dari pertunjukan ke pertunjukan, saat ini bisa jadi menunjukkan satu-satunya pelaku industri pertunjukan yang usahanya berjalan dengan sehat.

Kemampuan pelaku industri pertunjukan antarpanggung (tobong) menghadapi zaman yang sangat menggerus musik rekaman sebenarnya berasal dari akar tobong itu sendiri. Sebagaimana sejarah kemunculan seni pertunjukan tobong yang memulai kepopulerannya di separuh pertama abad 20, pelaku pertunjukan musik pada saat ini harus mau kembali pada keadaan awal yang membesarkan seni pertunjukan.

Masa kepopuleran tobong, dalam konteks Hindia Belanda, adalah masa bermunculannya berbagai seni pertunjukan yang mewakili aspirasi berbagai macam komunitas. Pertunjukan seni musik tobong, tidak akan mampu besar jika tidak berkolaborasi dengan seni pertunjukan lain. Pertunjukan teater, pertunjukan sirkus keliling, pertunjukan wayang, karnaval, hingga berbagai macam atraksi yang mengikuti pasar malam atau festival adalah saudara sepersusuan dengan industri musik pertunjukan.

Jika industri musik rekaman, yang pernah mencapai puncak kejayaan dengan menjadi bisnis multimiliar dolar beberapa dekade yang lalu, seolah meninggalkan saudara-saudaranya hanya cukup hidup seadanya dari komunitas-komunitas, saat ini sebenarnya industri musik pertunjukan seperti dikembalikan pada habitat yang sesungguhnya.

Barangkali, akan lebih tepat bagi semua pihak yang pernah mengalami kejayaan dunia musik rekaman untuk belajar pada salah satu komunitas industri hiburan yang belakang ini baru berkembang. Komunitas itu adalah komunitas Stand Up Komedian. Dalam komunitas yang relatif baru berkembang dalam sepuluh tahun terakhir banyak pelajaran yang bisa dipetik.

Pelopor Stand Up Komedi, yang berasal dari rintisan di kafe-kafe pergaulan di sekitar Kemang, Jakarta Selatan, hingga saat ini masih setia dengan kerja-kerja kolaborasi dan merawat komunitas. Perintis senior, pertunjukan Stand Up Komedi seperti Ramon Papana  dari Comedy Cafe, dengan pengalaman dalam industri hiburan, pengelola acara, pembawa acara, sejak tahun 80-an harus mempunyai  keikhlasan dan kelapangan dada.

Dalam berbagai hal, komedian-komedian yang saat ini muncul sebagai artis kelas atas pada saat ini pendapatannya sudah sangat jauh melebihi senior-seniornya. Tentu ada kecemburuan, ketidaknyamanan, dan kekecewaan yang  muncul. Tetapi hal itu bukan kendala bagi para pelaku industri pertunjukan untuk selalu merawat komunitas seniman dan pekerja seni yang akan mengembangkan jangkauan kepada penonton yang lebih luas.

Peran berbagai platform dunia digital , seperti Facebook, Youtube, Instagram, hingga Twitter yang mampu mengembangkan jangkauan komunitas penggemar seni pertunjukan lebih luas dari sebelumnya harus dimaksimalkan. Maka tidak heran pada saat ini, para pelaku industri pertunjukan yang paling banyak artis-artis pelakunya di Indonesia pada saat ini berasal dari komunitas-komunitas Stand Up Komedian. (Y-1)