Sejak dahulu kala, di antara beragam jenis wayang yang ada di Indonesia, bisa dikata wayang purwa merupakan wayang yang paling tersohor dan tersebar luas. Pandam Guritno (1988) dalam karyanya Wayang, Kebudayaan Indonesia dan Pancasila menganalisis bahwa ketenaran ini tidak terlepas dari kegemaran dan dukungan masyarakat Jawa yang merupakan etnis terbesar di Indonesia pada jenis wayang ini.
Seperti telah disinggung dalam artikel sebelumnya, Indonesia sebenarnya memiliki banyak jenis wayang kulit. Sebutlah misalnya wayang beber, wahyu, wayang sadat, wayang gedhog, wayang kancil, wayang pancasila, dan lain sebagainya. Namun demikian saking populernya jenis wayang ini, jika seseorang menyebutkan kata wayang maka orang akan menganggap yang dimaksudkan bukan lain ialah wayang kulit purwa.
Purwa berarti awal. Dengan demikian, bersama wayang beber yang nisbi lebih sederhana, wayang purwa diperkirakan termasuk wayang yang paling tua di antara wayang kulit lainnya. Guritno bahkan menggarisbawahi, wayang kulit purwa telah disebut dalam Kakawin Arjuna Wiwaha karya Mpu Kanwa pada masa pemerintahan Raja Airlangga di abad ke-11.
“Hanonton ringgit manangis asekel muda hidepan, huwus wruh towin jan walulang inukir molah angucap…”
Artinya: “Ada orang melihat wayang menangis, kagum, serta sedih hatinya. Walaupun sudah mengerti bahwa yang dilihat itu hanya kulit yang dipahat berbentuk orang dapat bergerak dan berbicara…”
Merujuk RM (1939) dalam tulisannya yang berjudul Wayang Poerwo, istilah ‘ringgit’ sendiri ialah sinonim dengan kata wayang. Dalam Kakawin Arjunawiwaha itu disebutkan adanya pertunjukan wayang kulit yang disebut ringgit terbuat dari walulang inukir (kulit yang diukir). Soejodiningrat memberikan penjelasan, ketika itu diduga telah dibuat wayang dari bahan kulit binatang, yang mengambil pola dari bentuk-bentuk wayang yang dilukis pada daun lontar (rontal).
https://indonesia.go.id/assets/img/assets/1562034254_Slide6.JPG" />
Wayang Purwa. Foto: Dok. Net
Bentuk-bentuk rupa wayang yang dilukis pada rontal atau daun siwalan inilah, yang kini dikenal sebagai wayang beber. Gambar-gambar tokoh pewayangan sekedar dilukiskan pada selembar kertas, kemudian disusun adegan demi adegan berurutan sesuai dengan urutan cerita. Nama wayang beber sendiri berasal dari teknik pertunjukan menggelar (membeber) gambar-gambar wayang pada kertas atau daun lontar.
Sebelum citra visual dari aneka bentuk wayang ini dirupa pada medium daun lontar (rontal) atau kertas, banyak peneliti menduga sejarah perkembangan awal seni wayang bermula dari medium batu. Tokoh-tokoh wayang ini diukir pada relief-relief candi.
Sebutlah Candi Lara Jonggrang di kompleks Candi Prambanan, misalnya, relief di sana memuat cerita Ramayana. Contoh lain, Candi Pemandian Jalatunda di Malang Jawa Timur, reliefnya memuat cerita Sayembara Drupadi. Atau juga, Gua Selamangkleng di Kediri Jawa Timur, di dindingnya terukir cerita Arjuna Wiwaha. Untuk mudahnya, jenis wayang ini sering disebut sebagai “wayang batu” atau “wayang candi”.
Keberadaan relief-relief candi dengan wayang batu ini jelas semakin menguatkan dugaan, bahwa dahulu kala seni wayang lekat dengan ritus pemujaan kepada Tuhan. Adanya makna atau fungsi ritus pemujaan Tuhan di masa lalu, setidaknya jejak-jejaknya hingga kini masih terlihat dari tradisi ruwatan dalam budaya Jawa dan fungsi keberadaan “dalang ruwat”.
Pada kasus wayang beber dan wayang purwa, perlu diberikan sedikit catatan. Sekalipun wayang purwa ialah produk perkembangan lebih lanjut dari tradisi kesenian wayang beber, bukan berarti sejalan dengan penemuan wayang purwa tradisi wayang beber kemudian mati. Sebaliknya, di sini menarik dicatat, wayang purwa dan wayang beber terlihat hidup berdampingan menyusuri sejarah kebudayaan Indonesia. Tidak seperti pementasan wayang kulit atau wayang wong (orang), musik pengiring wayang beber cukup sederhana: gong, kenong, gendang, dan rebab.
Artikel "Perkembangan Wayang Beber Kontemporer di Era Modernisasi" yang ditulis oleh Muhammad Nur Hariyadi, Narsen Afatara, dan Agus Purwantoro mencatat, setidaknya hingga tahun 1980-an wayang beber masih dipentaskan di Pacitan (Jawa Tengah) dan Wonosari (Yogyakarta). Upaya revitalisasi terhadap wayang beber pun hingga kini masih terlihat. Sebutlah munculnya Komunitas Wayang Beber Metropolitan, misalnya, yang sengaja dituturkan bukan dengan bahasa Jawa melainkan justru dengan bahasa Indonesia.
Aneka Rupa
Menurut Sri Mulyono (1978) dalam “Wayang—Asal Usul, Filsafat dan Masa Depannya”, disebutkan bahwa batasan perihal wayang purwa ialah pertunjukan wayang yang cerita pokoknya bersumber dari Mahabarata dan Ramayana. Artinya, bicara wujud wayang purwa bisa berupa wayang kulit, termasuk di dalamnya wayang beber, kemudian wayang golek, dan wayang wong (orang).
https://indonesia.go.id/assets/img/assets/1562034435_Slide7.JPG" />
Wayang Purwa. Foto: Dok. Net
Meski demikian, kembali pada Guritno (1988) yang merujuk desertasi GAJ Hazeau, disimpulkan bahwa wayang purwa, khususnya pada wayang kulit, jelas bukanlah berasal dari India melainkan asli Jawa. Dasar asumsinya ialah, istilah-istilah pokok pada segi-segi teknis pertunjukan tradisional ini sepenuhnya berasal dari bahasa Jawa dan sama sekali tidak ada yang berasal dari bahasa Sansekerta.
Guritno lebih lanjut memaparkan, jumlah satu kotak wayang purwa berkisar 200 buah. Merujuk RM Sajid, Guritno mencatat seorang dalang profesional setidaknya memiliki sebanyak 176 buah wayang ditambah 21 macam senjata yang biasa digunakan oleh berbagai tokoh tersebut. Akan tetapi, jikalau tiap-tiap tokoh wayang hendak diwujudkan dalam berbagai ‘wandha’—yaitu ekspresi dan ungkapan watak serta kondisi batin mereka—maka seturut Guritno, jumlahnya bisa meningkat menjadi dua atau tiga kali lipat.
Bicara profesi dalang sendiri, yaitu seniman utama dalam pertunjukan wayang kulit, lazimnya dilakukan oleh laki-laki. Di zaman dahulu, ketrampilan dan pengetahuan profesi dalang diajarkan secara turun-temurun atau berasal dari keluarga. Barulah sejak 1923, berawal di Solo, muncullah kursus-kursus pedalangan di sekolah-sekolah karawitan di berbagai kota, bahkan kini juga terdapat jenjang strata 1 (S-1).
Selain dalang, bicara unsur pertunjukan lainnya ialah ‘niyaga’, yaitu para pemain musik gamelan. Alat musik untuk mengiringi pertunjukan wayang purwa setidaknya ada lima belas peralatan gamelan, yang membutuhkan sedikitnya sepuluh orang untuk memainkannya. Ini berarti ada beberapa orang yang mampu merangkap memainkan beberapa alat musik gamelan, jika jumlah niyaga kurang dari lima belas.
Alat musik dengan cara dipukul atau ditabuh, antara lain: kendang, gender, bonang dua setel, gambang beberapa saron, kempyang, kethuk, kenong, kempul, dan beberapa gong. Selain itu, juga terdapat alat musik berdawai seperti rebab dan siter. Tak kecuali juga diiringi alat musik tiup berupa suling. Di Yogyakarta, malah tak jarang juga digunakan terompet.
Unsur pertunjukan lainnya ialah ‘pesinden’, yaitu penyanyi perempuan yang mengiringi musik gamelan. Lazimnya di setiap pementasan terdapat tiga hingga lima orang. Merujuk Guritno, keberadaan pesinden sebenarnya baru dikenal sejak dasawarsa tigapuluhan di abad ke-20. Sayangnya Guritno tidak memberikan latarbelakang tren ini. Bisa diduga, pentingnya pesinden terkait erat dengan perubahan fungsi pertunjukan tradisional ini ke arah seni hiburan semata.
https://indonesia.go.id/assets/img/assets/1562034677_Slide5_(1).JPG" />
Wayang Purwa. Foto: Dok. Net
Menariknya lagi, pertunjukan wayang bukan semata ditonton dari posisi sisi belakang ‘dalang’, namun juga lazim ditonton dari sisi belakang layar atau dalam bahasa Jawa disebut ‘kelir’. Dalam konteks inilah pertunjukan wayang dilihat sebagai pertunjukan bayangan (shadow puppet play). Jika ditanyakan menarik mana, menikmati menonton wayang dari sisi belakang si-dalang ataukah dari sisi belakang kelir, maka jawabannya sudah tentu akan berbeda-beda antara satu orang dengan orang lainnya.
Kembali pada konteks keragaman dunia wayang di Indonesia, khususnya pada wayang purwa, di sini menarik disimak tulisan Turita Indah Setyani. Dibuat sebagai materi diskusi pada sesi Sarasehan dan Pergelaran Wayang Padat dengan Lakon ‘Anoman Duta’ di Berlin, Jerman, pada Agustus 2008, tulisan ini mencatat terdapat 23 ragam perwujudan seni wayang purwa, antara lain:
Wayang Rontal; Wayang Kertas; Wayang Beber Purwa; Wayang Demak; Wayang Keling; Wayang Jengglong; Wayang Kidang Kencana; Wayang Purwa Gedog; Wayang (Kulit Purwa) Cirebon; Wayang (Kulit Purwa) Jawa Timur; Wayang Golek; Wayang Krucil atau Wayang Klithik; Wayang Sabrangan; Wayang Rama; Wayang Kaper; Wayang Tasripin; Wayang Kulit Betawi atau Wayang Tambun; Wayang Golek Purwa; Wayang Ukur; Wayang Dolanan (Mainan); Wayang Batu atau Wayang Candi; Wayang Sandosa; dan Wayang Wong (Orang).
Bagi mata awam, barangkali saja susah membedakan langgam sebuah wayang kulit purwa, yang berasal dari satu daerah dengan daerah lainnya. Orang Jawa menyebutnya ‘gagrak’. Misalnya membedakan gaya wayang kulit purwa, antara gagrak Jawa Timur dan gagrak Cirebon. Padahal langgam wayang dari kedua daerah itu sebenarnya jelas berbeda satu dengan lain karena masing-masing memiliki ciri-ciri khasnya. (W-1)