Di Indonesia, wayang memiliki akar sejarah yang panjang. Panjangnya sejarah perjalanan wayang tercermin dari bagaimana lekatnya seni mendongeng kuno ini mengiringi dinamika perubahan dan perkembangan zaman. Selain tercermin dari adanya keragaman jenis-jenis wayang, sejarah panjang ini juga mengemuka pada keragaman cerita atau lakon.
Bicara keragaman wayang tentu menarik. Pandam Guritno (1988) dalam “Wayang, Kebudayaan Indonesia dan Pancasila” menyebutkan terdapat puluhan jenis wayang di Indonesia. Menyempurnakan riset Direktur Museum Etnografi di Leiden, L Serrurier, yang hanya mendokumentasikan sebanyak 16 jenis, Guritno menambahkan beberapa jenis wayang lain dalam artikelnya tersebut.
Namun demikian sekalipun wayang suluh atau wayang Pancasila, misalnya, telah disebutkan oleh Guritno, entah mengapa tidak dimasukkan dalam tabel susunannya. Tabel Guritno hanya menyebutkan jumlah jenis-jenis wayang sebanyak 28 jenis. Antara lain, wayang purwa, wayang gedog, wayang menak, wayang wahyu, wayang golek, wayang sasak, wayang betawi, wayang banjar, wayang palembang, wayang golek menak, wayang klithik, wayang beber, wayang topeng, dan wayang jemblung.
Lain lagi pendapat Agus Ahmadi, staf pengajar di Institut Seni Indonesia Surakarta. Dalam artikelnya “Keberagaman Kreasi Kriya Wayang Kulit”, Ahmadi mencatat, sementara ini setidaknya terdapat 55 jenis wayang. Sayangnya ia tidak memerinci nama-nama beragam jenis wayang itu.
Dewan Pertimbangan Persatuan Pedalangan Indonesia (Pepadi), Ekotjipto, pada 2013 bahkan pernah mengatakan, sekitar 75 jenis wayang telah punah dan kini hanya tersisa sekitar 25 jenis. Artinya jika estimasi angka ini benar, berarti masih banyak jenis-jenis wayang yang sementara ini belum diketahui publik. Lagi-lagi sayangnya, laiknya Ahmadi, dia juga tidak memperinci nama-nama jenis wayang itu, baik yang masih eksis maupun yang tidak eksis.
Benar, tentu tak semua ragam jenis wayang serta ragam lakon yang pernah ada masih eksis hingga kini. Sebaliknya, seperti disinyalir Ekotjipto, sebagian besar dari jenis-jenis wayang yang pernah ada di Indonesia kemungkinan kuat kini telah punah. Latar belakang penyebab kepunahan wayang jenis tertentu ini tentu saja bersegi banyak. Salah satu faktor bisa jadi karena tidak adanya komunitas pendukungnya atau hilangnya konteks relevansi lakon untuk dinarasikan di zaman ini.
Ya, sejarah ialah arus perubahan zaman yang senantiasa mengalir. Patah tumbuh, hilang berganti, bagaimanapun ialah hukum kewajaran dari dinamika sebuah perubahan zaman. Namun dari sejarah pula sesungguhnya bisa disimak pelajaran perihal bagaimana situasi dan tantangan zaman pada suatu periode tertentu. Itu selalu memancing munculnya proses kreatif bagi sang dalang. Buah renungan dan kontemplasi senimanan dalang ini kemudian diwujudkannya menjadi struktur narasi sebuah lakon.
Dari sejarah juga bisa disimak, bagaimana seni pertunjukan wayang sebagai media dan sekaligus seni komunikasi pernah menduduki posisi dominan di tengah masyarakat. Selain tetap mengemban fungsi sebagai media hiburan tentunya, tampaknya di masa lalu posisi wayang pernah sengaja dikontruksi sebagai wahana komunikasi untuk menyampaikan pesan dan pendidikan politik bagi masyarakat.
Wayang Suluh
Sri Mulyono (1982) mengidentifikasi beberapa genre pertunjukan wayang berbasis lakon perjuangan. Sebutlah beberapa eksperimen kesenian yang pernah menempatkan pertunjukan wayang sebagai seni propaganda, seperti wayang suluh, wayang perjuangan atau sering juga disebut wayang revolusi.
Menurut Sunardi dkk (2018) dalam artikelnya “Karya Cipta Pertunjukan Wayang Perjuangan sebagai Penguatan Pendidikan Bela Negara”, yang paling terkenal di antara wayang-wayang genre perjuangan ialah wayang suluh dengan lakon perjuangan mengusir Belanda. Jenis-jenis wayang inilah, yang, karena satu atau lain hal, kini telah tercatat sebagai hilang tertelan zaman.
Pada masa revolusi Indonesia, wayang difungsikan sebagai alat propaganda. Ini mudah dipahami, mengingat di zaman revolusi alat penyampaian dan penyebar informasi masih serba terbatas. Oleh karena itu wayang difungsikan jadi salah satu media penyampaian informasi untuk masyarakat Indonesia.
Merujuk Aprilia Siskawati dalam artikelnya “Wayang Suluh Madiun Tahun 1947 — 1965”, wayang suluh dipentaskan pertama kali pada 10 Maret 1947 di Gedung Balai Rakyat Madiun. Adalah Sukemi, seorang staf dari Jawatan Penerangan di Madiun, adalah tokoh penggagasnya.
Tak berbeda dengan asumsi di atas, Sri Mulyono mencatat wayang suluh dibuat oleh Jawatan Penerangan. Dari sumber lain disebutkan, wayang suluh ini dibuat secara kolektif oleh orang-orang yang tergabung dalam Generasi Baru Angkatan Muda RI dan Badan Konggres Pemuda RI di Madiun.
Suluh berarti penerangan, pencerahan. Dengan begitu wayang suluh berarti wayang yang diperuntukkan untuk memberikan penerangan dan sekaligus pencerahan bagi rakyat. Nama wayang suluh sendiri ialah hasil sayembara pemberian nama wayang baru, yang diadakan bersamaan dengan pagelaran wayang untuk yang pertama kali tersebut.
Wayang suluh memiliki keunikan tersendiri. Jika pada umumnya genre wayang purwa, tokoh-tokohnya dirupa seturut citra deformasi, maka wayang suluh justru menciptakan tokoh-tokohnya menyerupai representasi figur manusia secara realis. Misalnya, mengambil wajah tokoh Presiden Soekarno, Moh Hatta, Amir Syarifuddin, Bung Tomo, dan lain lain.
Selain itu, penggambaran tokoh-tokoh lainnya juga merujuk kehidupan nyata di tengah masyarakat. Misalnya seperti petani, pedagang, santri, pejabat yang ada di daerah tersebut (bupati, camat, kepala desa, RT, RW), dan lain sebagainya.
Sebenarnya kemunculan sebutlah “wayang kreasi” mulai dikenal sejak 1920-an. Sutarto Harjowahono membuat serial wayang yang diberi nama wayang wahana. Tiap lakon bisa dimainkan oleh sembarang tokoh karena memang tidak ada nama tokoh dan karakter tetap pada tokoh-tokohnya.
Lakon wayang ini juga mengangkat permasalahan sosial kekinian. Menariknya, bentuk tokoh yang dirupa mirip figur gambar manusia secara realistis, dan bukan mengambil model deformasi laiknya tokoh-tokoh wayang purwa.
Sedangkan apabila dilihat berdasarkan lakon, wayang suluh tentu saja lebih radikal ketimbang wayang wahana. Lakon ini menceritakan seputar peristiwa sejarah yang terjadi pada kurun masa revolusi kemerdekaan. Sebutlah lakon Proklamasi 17 Agustus 1945, Sumpah Pemuda, Perang Surabaya 10 November, Perjanjian Linggar Jati, dan Perjanjian Renville, dan tak kecuali tentu saja lakon berisi program pemerintah terkait masalah-masalah pembangunan di Indonesia.
Menariknya, merujuk tulisan Sunardi dkk. (2017) dalam artikelnya “Pertunjukan Wayang Perjuangan sebagai Representasi Pendidikan Bela Negara bagi Generasi Muda” dipaparkan, pertunjukan wayang suluh ini juga diiringi musik gamelan. Namun musik yang dimainkan ialah lagu-lagu yang disenangi masyarakat saat itu, juga lagu-lagu perjuangan. Sebutlah misalnya Selabinta, Pasir Putih, Mars Pemuda, Sorak-sorak Bergembira, dan lain sebagainya.
Mengingat pentingnya wayang sebagai media komunikasi yang efektif, bergerak lebih jauh Kementerian Penerangan Pusat pada 1 Desember 1947 membentuk “Staf Kementrian Penerangan Pusat Jawatan publiciteit bagian Penerangan Rakyat Urusan Wayang Suluh dan Wayang Beber yang berkedudukan di Madiun.
Demikianlah melalui Kementerian Penerangan, yang kini telah berganti nama Kementerian Komunikasi dan Informatika, pemerintah ketika itu memutuskan menggunakan wayang suluh sebagai media penyebar informasi, penyuluhan, dan alat penerangan khususnya kepada masyarakat desa.
Wayang Revolusi
Tak jauh berbeda dari wayang suluh, wayang revolusi diciptakan untuk keperluan propaganda pada masa perjuangan kemerdekaan Indonesia. Juga nisbi tak berbeda dari wayah suluh, tokoh-tokoh wayang revolusi juga menggambarkan tokoh-tokoh revolusi Indonesia, pejuang, masyarakat dan penjajah kolonial.
Menurut Akbar (2014) wayang revolusi atau wayang perjuangan merupakan pertunjukan wayang kulit yang menceritakan tentang perjuangan kemerdekaan Indonesia. Raden Mas Sayid, maestro dalang di Keraton Mangkunegara, ialah penciptanya. Pada pertengahan 1950-an beliau membuat alat pertunjukan wayang, yang kemudian disimpan di lemari penyimpanan bertuliskan “Wayang Perdjoeangan” karangan Sdr Sajid, dan karena itulah juga sering disebut wayang perjuangan.
Wayang ini menceritakan sejarah perjuangan Indonesia melawan penjajah selama 350 tahun. Menampilkan tokoh-tokoh seperti Soekarno, M Hatta, RA Kartini, KH Alibasyah Sentot Prawiradirdja, dan Pangeran Diponegoro. Selain itu, juga ada pula karakter dari penjajah Belanda seperti Van Mook dan Schermerhon.
Pada 1960 wayang ini dibeli oleh Museum voor Volkunde Rotterdam. Wayang revolusi yang berjumlah sekitar 150 buah tersimpan di World Museum Rotterdam Belanda. Setelah empat puluh tahun lebih disimpan di negeri kincir angin ini, pada 2005 wayang ini akhirnya dikembalikan ke Indonesia, dan kini tersimpan di Museum Wayang yang berlokasi di Kota Tua Jakarta.
Namun demikian statusnya wayang revolusi itu hanya dipinjamkan dalam tempo jangka panjang. Sekiranya Indonesia ternyata tidak sanggup merawatnya maka pihak Belanda dapat mengambilnya sewaktu-waktu. (W-1)