Indonesia.go.id - Merumuskan Kembali Keindonesiaan

Merumuskan Kembali Keindonesiaan

  • Administrator
  • Minggu, 29 September 2019 | 21:49 WIB
NASIONALISME
  Upacara Hari Kesaktian Pancasila di Lhokseumawe, Aceh, Selasa (1/10/2019). Foto: ANTARA FOTO/Rahmad

Ironis memang, ikatan etnoreligius mudah membesar hanya karena praktik politik dan nalar sederhana, seperti mengolah unsur kebencian, menyuburkan ide-ide xenophobia, dan bersikap diskriminatif pada selainnya. Walhasil, nalar etnoreligius jelas cenderung mereduksi wajah pluralisme keindonesiaan Indonesia sendiri.

Indonesia ialah sebuah negara-bangsa yang menjadi (becoming). Indonesia ialah negara-bangsa (nation state) yang belum purna dirumuskan oleh sejarah. Demikianlah tesis Max Lane, yang tertuang dalam karyanya Unfinished Nation: Indonesia Before and After Soeharto.

Max Lane jelas bukanlah penganut paradigma esensialisme, yang melihat konsep nasionalisme dan negara-bangsa sebagai telah rampung dirumuskan dan memiliki makna ajeg dari zaman ke zaman. Barangkali saja seandainya Max Lane hidup di kisaran tahun 1930-an, ia akan jadi sekutu STA daripada Ki Hadjar Dewantara.

Seperti diketahui, pascakebijakan represi oleh pemerintah Hindia Belanda terhadap aktivis pergerakan, dekade 1930-an sejarah mencatat di kalangan intelektual terjadi diskusi kebudayaan secara intens.

Dalam forum ‘polemik kebudayaan’, kubu STA mendalilkan Indonesia adalah temuan modern sekaligus produk dari sejarah kolonialisme Barat, yang ditandai oleh keterputusan arus sejarah dari rajutan masa silam. Sebaliknya kubu Ki Hadjar justru mendalilkan, adanya kesinambungan arus sejarah, antara Indonesia di masa lalu dengan Indonesia modern. Sedangkan bicara Indonesia masa lalu, bagi kubu ini berarti meliputi periode sejarah di masa Majapahit di abad ke-14 dan bahkan hingga Sriwijaya di abad ke-7.

Sebagai penganut MDH (materialisme-dialektika-historis), Max Lane tentu meyakini Indonesia merupakan produk dari proses sejarah yang menjadi (becoming) secara terus-menerus, yang labil dan temporer, serta selalu berada di tengah tarik-menarik dan medan ketegangan pertarungan ekonomi politik, baik dari kekuatan di dalam maupun kekuatan di luar Indonesia.

Sementara, bicara agen of change, Max Lane tentu bukanlah penganut paradigma elitisme. Sebaliknya, ia mungkin malah sangat antipati. Boleh jadi ia penganut paradigma pluralisme, yang memandang ‘power’ itu sebagai energi politik yang menyebar dalam berbagai lokus sosial.

Selain itu, mungkin saja Max Lane juga mengikuti pandangan WF Wertheim, yang menempatkan kekuatan massa-rakyat di atas panggung sejarah. Dalam karyanya itu Max Lane mengguratkan optimisme masa depan Indonesia sehubungan dengan posisi politik dan kekuatan massa-rakyat. Dia juga terlihat mengikuti Ben Anderson, mendudukkan kaum muda sebagai elemen katalisator sejarah atau agen of change.

Ya, tulisan Max Lane disusun berdasar analisis sejarah kebangkitan pergerakan kaum muda radikal di masa rezim Orde Baru. Juga memotret proses sejarah jatuhnya Presiden Soeharto pada 1998. Dia kemudian menempatkan senyawa politik antara kaum muda dan kekuatan massa sebagai agen of change, dan sekaligus kata kunci proses sejarah Indonesia ke depan.

Max Lane yakin, Presiden Soeharto jatuh karena kaum muda dan massa rakyat yang bergerak. Dia bahkan menggarisbawahi, pasca-Orde Baru kekuatan massa akan turut menjadi subyek penentu masa depan sejarah Indonesia.

Angin Perubahan

Menulis tafsiran sejarah memang lebih mudah secara post factum. Menulis sejarah sebagai upaya postulat sejarah di masa depan tentu tidaklah mudah. Optimisme kuat yang dibayangkan Max Lane, ternyata tak serta-merta linier dalam ruang sejarah yang konkret.

Kekuatan kaum muda demokratik, kritis, rasional dan sekular, yang tak communism-phobia dan bahkan tak segan mengorganisir kesadaran massa di akar rumput, kini kian terpinggirkan dalam peta pergerakan kontemporer di tanah air. Sebaliknya yang mengemuka setelah hampir dua dasawarsa pasca-Orde Baru, justru kaum muda dan massa di tingkat akar rumput semakin terpolitisasi oleh arus ‘politik-identitas’ berbasis ikatan primordialisme secara ethno-religious.

Ya, fenomena kembangkitan politik berbasis etno-religius ini memang bukan sekadar fenomena lokal. Ini juga merupakan fenomena di tingkat global. Terlebih ketika krisis ekonomi global berlarut-larut, spirit zaman terkesan jamak ditandai oleh penegasan kembali posisi politik-identitas. Banyak orang menyebut fenomena ini sebagai munculnya tren “neo-konservatisme” atau “ultra konservatisme”. Fenomena ini tentu juga turut menyemai wajah keindonesiaan Indonesia.

Konsekuensi bagi Indonesia tentu akan berdampak lebih kompleks, rumit, dan komplikatif. Bagaimana tidak, negeri kepulauan di sekitar katulistiwa ini sejak awal kelahirannya telah mengemban realitas multietnis, multikultural, dan multiagama, serta multibahasa. Barangkali bicara tingkat kemajemukan di Indonesia nisbi tiada memiliki tandingannya di negeri manapun di dunia.

Sialnya, saat elemen religius kembali jadi tren menyemai politik-identitas, nalar politik yang ditawarkan cenderung berkerja dalam kerangka partikularisme. Sehingga terkesan tak butuh piranti kecerdasan kultural ketika bekerja menyemai propaganda politik. Alih-alih berhasil mencerahkan, yang terjadi justru sebaliknya cenderung menebar unsur-unsur destruktif dan menciutkan cakrawala pandang kesadaran masyarakat menjadi sektarinisme.

Ya, ironis memang, bahwa ikatan etnoreligius itu mudah membesar hanya dengan difasilitasi oleh praktik politik dan nalar sederhana, mengolah unsur kebencian, menyuburkan ide-ide xenophobia, dan bersikap diskriminatif dan intolerans kepada yang berbeda. Walhasil, nalar etno-eligius jelas cenderung mereduksi wajah pluralisme keindonesiaan Indonesia.

Etnoreligius tentu bukanlah wajah tunggal angin perubahan sejarah. Sebagai respons tendensi ini, kini pun muncul penguatan politik identitas berbasis etnis atau adat. Ditambah ancaman ekonomi globalisme, kini mudah ditemukan munculnya fenomena masyarakat adat yang juga tengah melakukan revitalisasi diri.

Sayangnya, tak jarang di antara mereka juga ditemui tendensi sektarianisme, yaitu bersikap antipati terhadap agama-agama impor, khususnya pada kelompok tafsir fundamentalisme. Isu agama lokal dan penguatan masyarakat adat pun mengemuka sebagai wacana tanding terhadap penguatan politik-identitas berbasis etnoreligius ini.

Hikmah Masa Lalu

Penting menengok ke masa lalu, di sana ada pembelajaran sejarah yang berharga untuk disimak. Bicara sejarah muncul dan tumbuhnya rasa kebangsaan keindonesiaan dan lahirnya negara-bangsa Indonesia, tidak sedikit orang yang menyimpulkan bahwa sejarah kelahiran Indonesia merupakan hasil dari praksis politik yang progresif. Bagaimana tidak, nasionalisme Indonesia sejak mula tumbuh di atas aras civic-nationalism daripada ethno-nationalisme atau religio-nationalism.

Sejarah mencatat, sejak momen Sumpah Pemuda 1928 berbagai organisasi pergerakan dari berbagai latar etnis atau agama secara partikular mulai tumbuh metransformasikan dirinya ke dalam bagan universalisme yaitu “keindonesian” dengan membubuhkan kata ‘Indonesia’.

Sebutlah, Sarekat Islam bermetamorfosis menjadi Partai Sjarikat Islam Indonesia (PSII). Juga Budi Utomo, yang pada mulanya kukuh dengan jati diri kejawaannya pun akhirnya bertransformasi menuju kesadaran keindonesiaan jadi Partai Indonesia Raya (Parindra). Atau komunitas Protestan yang mendirikan Federasi Perkumpulan Kristen Indonesia (FPKI); juga komunitas Katolik mendirikan Persatuan Politik Katolik Indonesia (PPKI); sedang di kalangan komunitas Tionghoa tak kecuali, juga muncul Partai Tionghoa Indonesia (PTI); dan lain sebagainya.

Juga menarik dicatat di sini. Sekalipun Jawa merupakan etnis terbesar, bahkan terbesar di Asia Tenggara, pilihan bahasa Melayu dan bukan bahasa Jawa sebagai bahasa persatuan Indonesia jelas memperlihatkan adanya gelombang besar transformasi kesadaran menjadi keindonesiaan dan negara-bangsa Indonesia.

Dalam perspektif inilah, dulu politik-identitas keindonesiaan dan negara-bangsa Indonesia ialah resultante dari sebuah gerakan kaum muda khususnya kaum terpelajar untuk memperluas cakrawala pandang masyarakat mereka. Dari yang semula sekadar bersifat partikularisme dan sektarianisme, yaitu berbasis ikatan etnis dan agama, kemudian meluaskan dirinya menuju entitas yang universal yaitu keindonesiaan bangsa Indonesia. Dari yang semula tendensinya bersifat komunalistik dan dibatasi oleh sekat-sekat identitas primordial baik etnis ataupun agama, lantas menjadi konsepsi warga dan kewarganegaraan dengan batasan identitas berupa semesta keindonesiaan dan konsepsi Indonesia sebagai negara-bangsa.

Dengan demikian di sini harus diakui konsep negara-bangsa yang bersifat civic nationalism itu juga berarti bangsa Indonesia berhasil menemukan bentuk negara-bangsa (nation state) secara modern. Ciri modern ini ditandai oleh nilai-nilai kosmopolitanisme. Negara-bangsa dalam arti inilah sejatinya bukan berasaskan pada ide ethno-nation, yaitu bangsa berdasar ras atau etnis, juga bukan berasas ide religio-nation, yaitu bangsa berdasar agama.

Oleh karena itu, bisa dikatakan bahwa dulu proses sejarah penemuan nasionalisme keindonesiaan dan negara-bangsa Indonesia jelas membawa unsur-unsur edukatif dan rasio pencerahan. Sehingga proses praksis politik yang dilakukan oleh kaum muda di masa lalu itu jelas bergerak beriringan dengan proses individuasi yang sehat.

Kini, di sini, sekiranya ditanyakan apakah yang sesungguhnya tengah terjadi saat ini di Indonesia? Jawabannya ialah Indonesia kontemporer harus diakui tengah berada pada titik krusial dari proses menjadinya (becoming) sebagai negara-bangsa. Keindonesiaan Indonesia membutuhkan redefinisi sesuai dengan konteks, tantangan dan kondisi spirit zamannya.

Ya, bagaimanapun di kolong langit ini tak ada yang abadi. Yang abadi adalah perubahan itu sendiri. Bahwa, dalam perubahan niscaya terdapat keterputusan (discontinued) dan sekaligus kesinambungan (continue) dari masa lalu. Itulah rasa-rasanya wajah realitas yang sesungguhnya.

Artinya, jika kita kembali menilik periksa substansi yang mengemuka dalam ‘polemik kebudayaan’ di 1930-an, dalil STA barangkali separuh benar dan demikian juga dalil Ki Hadjar. Pasalnya, adanya keterputusan (discontinued) dan kesinambungan (continue) dengan masa lalu adalah keniscayaan hukum besi sejarah.

Pertanyaan selanjutnya ialah: Apa yang sinambung dan terputus dari masa lalu itu? Belajar dari momen Sumpah Pemuda 1928, mudah terlihat. Bahwa, unsur yang sinambung ialah ikatan agregasi primordialisme entah itu etnis atau agama nyatanya tak mudah lenyap ditelan oleh modernisme. Sementara unsur yang terputus ialah, kemampuan kita membangun dialog dan sintesis pemahaman bersama menuju bagan universal keindonesiaan Indonesia.

Pada titik ini tentu muncul tugas sejarah bersama. Yaitu, merumuskan dan sekaligus menguatkan kembali agenda keindonesiaan Indonesia. Sebagai modal sosial dan politik kita masih memiliki bekal untuk menjawab tantangan situasi hari ini dan ke depan. Apakah itu?

Jawabannya, Pancasila. Buah konsensus dari para founding parent ketika mendirikan Indonesia sebagai negara-bangsa. Pancasila sebagai “the living ideology”, sebagaimana pengakuan Bung Karno sendiri, merupakan nilai-nilai yang digalinya dari rahim budaya masyarakat Indonesia.

Adanya kesinambungan sejarah dari masa lalu, yaitu nilai-nilai kosmopolitan dan universalisme dan bukan partikularisme dan sektarianisme—harus kembali mengemuka kuat dan jadi kata kunci penggerak sejarah menuju keindonesiaan Indonesia. Dan Pancasila selain merupakan saripati, sekaligus juga mata rantai kuat, yang menautkan sejarah Indonesia masa lalu dan Indonesia modern. (W-1)