Sang keluarga sampai rela mengantri menunggu giliran mengkremasi jenazah keluarganya. Sembari mengantri, mereka berhari-hari menitipkan jenazah ke rumah sakit atau rumah persemayaman (rumah duka) sampai giliran mereka melakukan ngaben di krematorium.
Fenomena ini agak berbeda dengan 10 – 20 tahun lalu, di mana ngaben konvensional di kuburan (setra) desa masih menjadi pilihan utama dari keluarga di Bali. Seorang yang meninggal akan diaben pada hari baik sesuai petunjuk pendeta. Hari baik itu bisa jatuh beberapa hari setelah meninggal, tapi jika keluarga besar belum memiliki cukup dana atau pertimbangan tertentu lainnya, mereka memutuskan untuk menguburkan di kuburan sampai dana cukup untuk melakukan ngaben. Bisa juga sang keluarga menguburkan sang jenazah untuk sementara, menunggu jadwal ngaben massal yang dilakukan oleh desa adat (biasanya 10-30 jenazah).
Dalam pelaksanaannya, ngaben dan penguburan di kuburan desa tidak sesederhana yang dibayangkan. Sering jenazah ditolak karena yang bersangkutan pernah melanggar aturan desa (awig-awig). Pelanggaran itu sering juga diwarnai oleh ketidaksukaan atau riwayat konflik sekelompok masyarakat terhadap yang meninggal, sehingga mereka memberi masukan yang subyektif kepada pejabat desa adat. Akibatnya jenazah dilarang diaben di desa mereka sendiri, termasuk orang yang meninggal karena kecelakaan dan pengidap HIV-AIDS.
Beberapa keluarga mengantisipasi dengan mengaben atau menitipkan jenazah untuk dikubur di desa adat lain yang mau menerima jenazah itu. Tapi banyak desa adat tetangga yang juga menolak, sehingga jenazah terlunta-lunta, tak bisa segera diaben atau dikuburkan.
Penolakan jenazah dan beratnya biaya ngaben konvensional menjadi masalah pelik di Bali, saat ini dan mengemuka di beberapa media local. Bahkan menjadi komoditi politik dengan memberikan janji pembebasan biaya ngaben massal jika dia terpilih menjadi pemimpin daerah. Seorang budayawan dan mantan jurnalis Bali, Gde Aryantha Soetama dalam bukunya Jangan Mati di Bali menceritakan bahwa upacara ngaben makin sulit di Bali. Bukan hanya mahal, tapi sering terjadi penolakan jenazah untuk diaben di kampungnya sendiri.
Masyarakat Hindu memang dikenal sebagai masyarakat yang sangat seremonial, karena hampir setiap hari dia melakukan dan ‘diikat’ oleh kewajiban melaksanakan upacara adat (nyadnya) dari yang sederhana sampai rumit. Setiap rumah di Bali beribadah di tempat sembahyang yang disebut sanggah. Pada keluarga jauh (misal keluarga kakek atau keluarga mertua) kewajiban ibadah itu terletak di tempat sembahyang yang disebut dadya. Di tingkat banjar (semacam rukun warga), tempat sembahyang disebut melanting, penyarikan dan sebagainya.
Setiap desa adat tempat sang keluarga tinggal, ada tiga tempat sembahyang disebut Pura Khayangan Tiga yang terdiri dari tiga pura sebagai perwujudan Tuhan dalam Brahma sebagai pencipta, Wisnu sebagai pemelihara dan Siwa sebagai pelebur. Di tingkat asal usul, ada tempat sembahyang disebut kawitan dan seluruh masyarakat di Bali mempunyai punya tempat sembahyang kolektif yaitu Pura Besakih. Masyarakat Bali umumnya harus melaksanakan ibadah di tempat-tempat tersebut.
Selain upacara, keluarga diwajibkan untuk gotong royong (ngayah) di banjar atau di pura. Kewajiban ini diatur dalam aturan desa karena konsep desa adat di Bali tidak bersifat administrative seperti di Jawa, tapi bersentral pada ritual adat.
Begitu banyak tempat sembahyang dan kewajiban seperti diterangkan di atas, sehingga sering seseorang harus melakukan sembahyang atau gotong royong dalam satu satuan waktu. Misalnya seseorang harus melakukan upacara dua kali dalam sebulan. Bisa juga dua kali dalam satu minggu, atau bahkan tiga sampai empat upacara dalam sehari. Kondisi itu agak menyulitkan terutama bagi perantau yang tinggal di luar desa atau di luar Bali. Mereka harus menyisihkan waktu yang cukup banyak untuk melakukan upacara dan gotong royong di desa asal atau keluarga besar mereka.
Jika tidak, pejabat desa adat akan melakukan denda kepada yang bersangkutan. Denda bisa terakumulasi dalam jumlah cukup besar jika yang bersangkutan tak bisa hadir dalam waktu lama. Bagi masyarakat Bali, yang terpenting bukan pada jumlah denda, tapi rasa malu dan sanksi (kasepekang) yang harus ditanggung sang pelanggar aturan.
Perubahan Sosial
Menurut Miguel Corrabias dalam bukunya berjudul Island of Bali (1973) dan terbit di Eropa mengatakan bahwa pembakaran jenazah baru dikenal masyakat Bali saat masuknya Majapahit pada abad ke 13. Dia juga mengatakan bahwa masyarakat Bali mempercayai ada kehidupan lain setelah mati. Fred B. Eisseman Jr dalam buku Skala Niskala (1988) menulis, dalam agama Hindu Bali, badan manusia adalah bentuk mikrokosmos dari alam semesta.
Ngaben adalah hal penting dalam agama Hindu Bali. Jasad manusia terdiri dari badan kasar (fisik) dan badan halus (roh/atma). Badan kasar dibentuk oleh lima unsur yang disebut Panca Maha Bhuta yang terdiri dari tanah (pertiwi), air (apah), api (teja), angin (bayu) dan ruang hampa (akasa). Kelima unsur ini menyatu membentuk fisik manusia yang kemudian digerakkan oleh roh.
Mereka percaya bahwa saat seseorang meninggal, yang mati sebetulnya hanyalah jasadnya saja sementara rohnya masih ada. Oleh karena itu, untuk menyucikan roh tersebut diperlukan upacara ngaben/pelebon untuk memisahkan jasad kasar dengan roh mereka, dan mengembalikan roh itu ke alam semesta. Dalam Hindu, ngaben akan dilanjutkan dengan upacara memukur yaitu upacara untuk mengantarkan roh yang ada di alam semesta ke alam ketuhanan (tempat Sang Hyang Widhi). Sehingga ngaben dan memukur, adalah pengabdian dan penghormatan tertinggi yang dilakukan anak cucu kepada para leluhur.
Ngaben adalah ritual Hindu yang paling komplit karena di dalamnya ada unsur gotong royong, pengorbanan, penghormatan pada leluhur, pelibatan massa yang besar, termasuk jumlah sub upacara dan sesaji yang harus disiapkan. Clifford Greertz dalam buku Negara Teater (2000) bahkan menyebut upacara ini sangat rumit karena memerlukan waktu, biaya dan tenaga khusus dan melibatkan banyak orang. Beberapa kondisi masyarakat Hindu Bali, seperti perantau, intelektual dan tokoh masyarakat melakukan diskusi dengan banyak ahli serta membuat tafsiran ulang soal ngaben konvensional, lalu mereka memutuskan memilih upacara pengabenan di crematorium yang lebih simple dan sederhana.
Beberapa ritual dalam ngaben konvensional disederhanakan, dan penyederhanaan dalam ngaben krematorium itu tidak mengurangi makna ngaben itu sendiri. Beberapa aspek diubah dengan alasan waktu (kala), tempat (desa), dan keadaan (patra) tetapi tetap bertumpu pada kearifan lokal.
Seperti keranda jenasah (badhe) puluhan kilo yang dipakai pada ngaben konvensional, pada ngaben di krematorium, itu diubah menjadi keranda terbuat dari bambu sederhana dan ringan. Begitu juga kayu bakar yang menjadi sumber api pembakar, pada ngaben krematorium itu diubah dengan memakai kompor gas. Perubahan ini menghemat waktu, dari 4-6 jam pembakaran jenazah dengan menggunakan kayu bakar, menjadi 1-1,5 jam dengan kompor gas. Begitu juga bunga-bunga sesaji (bebantenan), mata air yang menjadi air penyuci, juga sungai Ayung yang jadi tempat untuk melarung abu jenazah kremasi, tidak mengubah makna ngaben itu sendiri. Pada ngaben konvensional, pantai Sanur dipilih untuk melarung abu jenazah.
Sekitar tahun 2000-an, ngaben konvensional membutuhkan dana minimal 40 juta dan naik dari tahun ke tahun. Ngaben konvensional memerlukan waktu persiapan berhari-hari dan melibatkan banyak orang, yang pada ngaben krematorium hanya memakan satu hari saja dan keluarga tidak lelah karena semua pekerjaan dikerjakan oleh pihak krematorium. Dana yang harus dikeluarkan pada ngaben krematorium sekitar satu sampai 20 juta (tergantung permintaan keluarga duka). Meski terlihat jauh lebih simple dibanding ngaben konvensional, ngaben di krematorium tidak mengubah pemaknaan ngaben sebagai sarana mengantarkan roh ke alam semesta.
Setidaknya ada tiga alasan orang ingin melakukan pengabenan di krematorium. Pertama, biasanya dia adalah perantau yang meninggalkan desa asal dalam waktu lama, sehingga punya jarak sosial dengan keluarga besarnya. Komunikasi tidak cukup intens dengan desa adat sehingga keluarga batih memilih untuk melakukan ngaben di krematorium. Atau bisa juga seorang intelektual dan karena keluasan pergaulannya, mampu menafsirkan ulang makna ngaben. Contoh untuk kasus ini adalah tokoh Bali sekaligus raja Karangasem, dr AA Made Djelantik dan Pendeta Hindu berpengaruh dan intelektual, Ida Pedada Gde Ketut Sebali Ida Tianyar Arimbawa.
Kedua, seperti yang sudah digambarkan di atas yaitu keluarga memilih krematorium karena jenazah punya konflik dengan desa adat, sehingga ditolak lakukan ngaben di kuburan desa asal. Bisa karena dia pernah melanggar aturan desa, terlibat konflik tertentu atau tunawisma. Inilah adalah alasan terbanyak di Bali bagi keluarga yang memilih ngaben di krematorium.
Ketiga, adalah alasan dana. Seperti dijelaskan di atas, ngaben konvensional memerlukan dana yang tidak sedikit dan pelibatan massa yang cukup banyak. Upacara memukur yang merupakan kelanjutan dari ngaben, bisa menghabiskan dana minimal sekitar 60 juta. Sedangkan ngaben massal memerlukan biaya sekitar empat sampai tujuh juta, tergantung pada banyaknya jenazah yang diaben.
Angka bisa membengkak jika menggunakan keranda jenazah yang megah. Kita bisa bayangkan dana yang dihabiskan untuk pengabenan keluarga raja di Ubud, Tjokorda Gde Agung Suyasa, Tjokorda Gde Raka dan Gung Niang Raka pada tahun 2008. Tiga jenazah itu ditaruh diatas keranda berbentuk binatang dengan tinggi 28,5 meter dan berat 6 ton. Keranda ini diusung oleh 8000 orang dari 67 desa adat di Bali dengan cara estafet. Satu regu pengusung berjumlah minimal 150 orang. Ngaben ini sempat disiarkan langsung oleh sebuah televisi dan dicatat sebagai ngaben paling besar abad ini. Kegiatan ini juga sebagai ajang untuk mengundang turis mancanegara untuk datang.
Saat ini ada tiga rumah duka dan krematorium yang ada di Denpasar dan Badung yaitu Krematorium dan jasa kematian Kertha Semadhi, Krematorium KITA dan Krematorium Santa Yana (Jalan Damai). Kota seperti Singaraja dan Klungkung juga memilikinya. Pengguna jasa mereka semakin hari semakin banyak, tidak saja dari keluarga dengan dana terbatas, tapi juga keluarga dengan tingkat ekonomi yang cukup baik dan berpendidikan tinggi.
Fenomena ini mungkin perlahan akan menyebabkan perubahan sosial pada masyarakat Bali. Perubahan sosial biasanya disebabkan oleh perubahan alami seperti banjir, ledakan penduduk atau gempa, tapi dalam fenomena ngaben di krematorium faktor pendorong terkuat adalah rasionalitas. Penguat aspek rasionalitas ini adalah orang yang berpengaruh, cerdas dan kritis seperti almarhum dr AA Djelantik dll. Mereka mampu menangkap bahwa aspek modernisasi dalam ngaben krematorium seperti mobil ambulans, kompor dan sebagainya tidak menghilangkan makna ngaben itu sendiri.
Banyak masyarakat Bali yang belum paham dan masih curiga soal ngaben di krematorium. Padahal cara ini menjadi solusi untuk memecahkan kebuntuan masalah ngaben di masyarakat Bali yang pelik itu. (K-CD)