Huta dalam bahasa Batak artinya kampung sedangkan Siallagan diambil dari nama Raja Siallagan. Area kampung ini dibangun oleh keluarga Batak bermarga Siallagan, lalu dipimpin oleh Raja Siallagan.
Memasuki Huta Siallagan kita akan disambut dengan deretan rumah bolon, atau rumah adat Batak. Ada sekitar 8 unit rumah bolon berumur ratusan tahun yang memiliki fungsi yang berbeda. Ada yang digunakan sebagai rumah raja dan keluarga, ada juga sebagai tempat pemasungan.
Sementara jika diperhatikan, bagian depan rumah terdapat beberapa ornamen khas, yaitu jaga dompak (topeng dengan ekspresi menakutkan), singa-singa (patung kepala singa), patung cecak, dan lambang payudara.
Keberadaan ornamen tersebut bukan hanya untuk memperindah rumah, tetapi memiliki makna tersendiri. Seperti yang dijelaskan oleh Jansen Sitinjak salah seorang pemandu wisata di Huta Siallagan.
Seperti Jaga dompak dan singa-singa berfungsi untuk menangkal roh jahat. Sedangkan cecak yang disebut boraspati merupakan hewan yang bisa hidup di mana-mana, baik itu di rumah mewah dan di rumah sederhana. Sementara Lambang payudara melambangkan simbol kekayaan dan orang dermawan yang harus bisa membantu orang lain.
"Lambang Payudara bisa juga diartikan sejauh mana pun orang Batak merantau, jangan lupa orangtua dan jangan lupakan kampung halaman, intiya jangan lupa akan kampung halaman bisa diartika seperti itu" ujar Jansen.
Yang membuat Huta Siallagan spesial ialah kehadiran batu besar yang kemudian dibentuk menjadi kursi dan meja, yang dikenal Batu Parsidangan. Sebuah batu yang menjadi saksi bisu persidangan untuk orang yang berbuat kejahatan. Situs kuno ini terdiri dari susunan batu-batu yang terdiri dari sembilan kursi yang terbuat dari batu, ada tempat duduk untuk raja, dukun, dan untuk orang yang melakukan kejahatan.
Tindak kejahatan tersebut bisa berupa mencuri, membunuh, memperkosa, dan menjadi mata-mata musuh. Hukumannya pun tidak main-main. Jika kejahatannya kecil, maka akan diberikan sangsi berupa hukuman pasung. Namun jika kejahatannya tergolong kejahatan berat maka pelaku akan dijatuhi hukuman pancung alias potong kepala.
“Tanggal eksekusi pun akan ditentukan dari hari paling lemah si penjahat atau hari baiknya kapan. Pasalnya, rata-rata orang yang berani melakukan kejahatan diyakini punya ilmu hitam. Disini dikenal namanya Manitiari atau primbon Suku Batak,” terang Jansen.
Setelah tiba hari pemancungan pelaku kejahatan akan ditempatkan di sebuah meja batu dengan mata tertutup kain ulos. Tidak sampai disitu Jansen menuturkan Hukum pancung dibuat sedemikian dramatis. Pertama-tama penjahat akan diberi makan yang berisi ramuan dukun untuk melemahkan ilmu hitam.
Kemudian pelanggar akan dipukul menggunakan tongkat tunggal panaluan, yaitu tongkat magis dari kayu berukir gambar kepala manusia dan binatang, dengan bagian atas berupa rambut panjang.
Sementara saat dieksekusi, pakaian penjahat terlebih dahulu akan dilepaskan untuk memastikan tidak ada jimat yang masih tersisa. Setelah itu, seluruh bagian tubuh akan disayat-sayat. Jika sudah terluka dan berdarah, bisa dipastikan ilmu hitam yang biasanya membuat orang kebal, telah hilang.
Tak sampai di situ, jika tubuh telah mengeluarkan darah, akan disiram dengan air asam sampai si penjahat semakin lemah. Setelah itu, baru hukum pancung dilakukan.
Yang tambah membuat menyeramkan adalah setelah proses eksekusi selesai konon jantung dan hati penjahat tersebut biasanya akan dimakan agar menambah kekuatan sang raja. Sementara kepala yang sudah terpisah dari badan akan diletakkan di meja berbentuk bulat, sementara badannya akan diletak di meja berbentuk persegi.
Kemudian, Janse menjelaskan bahwa badan pelaku akan dibuang ke Danau Toba selama tujuh hari tujuh malam. Selama itu pula para penduduk dilarang melakukan aktivitas di dalam Danau.
Sedangkan kepalanya akan diletakkan di depan gerbang masuk Huta Siallagan, sebagai pemberi peringatan kepada raja lain atau rakyat agar tidak melakukan perbuatan yang sama. Setelah membusuk, kepala akan dibuang ke hutan dibalik kampung, dan selanjutnya warga akan dilarang beraktifitas di hutan selama 3 hari.
Menurut Janse seluruh kisah penghukuman “sadis” tersebut akhirnya berakhir pada abad ke-19, saat agama Kristen mulai masuk dan diperkenalkan oleh misionaris asal Jerman, yaitu Ludwig Ingwer Nommensen ke kawasan Danau Toba.
Kini, hukum pancung dan kisah kanibal tersebut tentu sudah tak berlaku. Saat ini Huta Siallagan sudah menjelma sebagai desa wisata. Seperti pada bagian paling belakang Huta Siallagan kini terdapat beberapa kios suvenir yang menjual berbagai benda pernak-pernik yang cocok dijadikan sebagai oleh-oleh seperti baju, kain ulos, gantungan kunci, dan berbagai benda-benda lainnya. (K-YN)