Indonesia.go.id - Kronik Sejarah Kota Pelabuhan Sunda Kelapa

Kronik Sejarah Kota Pelabuhan Sunda Kelapa

  • Administrator
  • Selasa, 22 Oktober 2019 | 03:38 WIB
SEJARAH
  Sunda Kelapa Jaman dulu. Foto: Arsip Nasional

Sejarah mencatat, setidaknya jika dihitung pada kasus Sunda Kelapa secara partikular, maka bisa dikata kota bandar tua ini barulah berhasil kembali ke pangkuan ibu pertiwi, setelah selama lebih dari tiga seperempat abad berada di bawah kekuasaan Hindia Belanda.

Bicara rute pelayaran Jalur Sutra di masa lalu, dan bahkan mungkin juga hingga kini, perairan Selat Malaka merupakan salah satu jalur laut terpenting. “Malaka adalah permulaan bagi satu perjalanan dan akhir bagi satu perjalanan yang lainnya.” Demikianlah, ungkapan Tome Pires dalam catatan perjalanannya Suma Oriental tentang fungsi Selat Malaka dan bandar tua Malaka di awal abad ke-16.

Tentu, bukan hanya Selat Malaka dan Bandar Malaka yang nisbi memiliki posisi penting. Bagaimanapun, peran penting suatu daerah tidak harus karena semata-mata berkorelasi secara langsung dengan rute utama pelayaran Jalur Sutra. Peran penting suatu wilayah juga bisa berkorelasi dengan ada atau tidak adanya sumber pasokan komoditas-komoditas yang dicari masyarakat dunia saat itu.

Tome Pires tentu menyadari hal itu. Pires misalnya juga melaporkan kayu cendana asal Timor dan Sumba banyak diperdagangkan di Malaka. Pun, rempah-rempah dan cengkih dari Maluku juga tak luput dicatatnya. Sejalan dengan itulah cabang-cabang jalur pelayaran di perairan Indonesia juga memiliki peran penting, meskipun tidak semua bandar tua itu berdekatan atau terhubung secara langsung dengan perairan Selat Malaka.

Tak aneh, catatan perjalanan Pires bukan hanya melukiskan Selat Malaka dan Bandar Malaka. Terkait geografi dan sejarah Indonesia, catatan perjalanan Pires juga telah memberikan peta dan lukisan tentang keberadaan sejumlah kota pelabuhan yang telah tumbuh di wilayah pantai. Dari daerah-daerah pesisir yang memiliki akses langsung dengan perairan Selat Malaka seperti di Semenanjung Melayu; juga daerah-daerah di pesisir Pulau Sumatra; atau bahkan hingga di daerah-daerah di pesisir Jawa dan Maluku, yang notabene merupakan jalur pelayaran turunan dari rute utama Jalan Sutra. Pires juga membuat catatan hal itu.

Selain menulis perihal bandar di Perlak (Aceh), Palembang, Banten, Cirebon, Rembang, Tuban, Gresik, misalnya, Pires juga menyebutkan tentang keberadaan Sunda Kelapa. Pires memaparkan adanya hubungan dagang antara Sunda Kelapa dan Malaka. Dikatakan bahwa barang-barang dagangan dari bandar ini diangkut ke Malaka dengan lanchara, yaitu jenis kapal yang bisa memuat barang hingga 150 ton.

Bandar Sunda Kelapa

Ya, tulisan ini akan bercerita perihal sejarah Bandar Sunda Kelapa. Kini lokasinya ditengarai berada di sebelah utara Kota Tua di Jakarta, berjarak kurang lebih 4 kilometer. Bandar tua ini, yang dulu memiliki reputasi internasional, kini telah berubah menjadi pelabuhan pasar ikan, setelah pusat pelabuhan kemudian dipindahkan ke Tanjung Priok. Berjarak 9 km ke arah timur dari pelabuhan Sunda Kalapa, seperti diketahui Tanjung Priok mulai dibangun oleh Gubernur Jenderal Johan Wilhelm van Lansberge (1875-1881) untuk menggantikan fungsi bandar tua tersebut pada tahun 1877.

Namun demikian menurut Supratikno Raharjo (1995), ia menduga lokasi Bandar Sunda Kelapa di masa lalu tidaklah persis berada di tepian pantai (open sea port). Dalam artikelnya Pelabuhan Sunda Kelapa Sebagai Pusat Interaksi: Sebuah Pendekatan Geografi, merujuk peta yang dibuat di akhir abad ke-16 dan awal abad ke-17, Rahardjo tiba pada kesimpulan bahwa lokasi bandar tua itu menjorok masuk ke dalam muara Sungai Ciliwung.

Kembali pada catatan perjalan Tome Pires. Pires menginjakkan kakinya di sini pada 1513. Menurutnya, di permulaan abad ke-16 Sunda Kelapa, atau yang ditulis Pires dengan istilah “Capala”, merupakan salah satu pelabuhan penting di antara bandar-bandar lain di wilayah sepanjang pantai barat Pulau Jawa. Pires mencatat, waktu itu kerajaan Hindu-Pejajaran ini, setidaknya memiliki enam buah bandar laut, yaitu: Bamtam (Banten), Pomdam (Pontang), Chegujde (Cigede), Tamgaram (Tanggerang), Capala (Kalapa), dan Chemano (Cimanuk).

Lebih jauh, Pires melukiskan kota pelabuhan Sunda Kalapa ini sebagai pelabuhan utama, sangat megah dan paling baik di antara pelabuhan-pelabuhan lain dari kerajaan Hindu-Pajajaran. Dari catatan Pires juga diketahui bahwa bandar ini telah didatangi oleh pedagang-pedagang dari Malaka, Sumatra, Kalimantan, Makasar, Jawa, Madura dan pedagang-pedagan asing dari Timur Tengah dan China. Masih seturut catatannya, bandar tua ini dikelola dengan baik oleh suatu pemerintahan lokal di bawah kekuasaan Syahbandar.

Saat itu, Sunda Kelapa dikenal sebagai bandar kerajaan Hindu Pajajaran dan merupakan pasar bagi hasil bumi berupa beras dan lada. Terkait lada, dikatakan Pires bandar ini bisa memasok kira-kira 1000 bahar dengan mutu lebih baik ketimbang lada dari Cochin.

Kesibukan lain dari pelabuhan utama ini adalah perdagangan budak. Menurut Pires sebagian besar dari budak itu didatangkan dari kepulauan Maldewa (Maldive) dan sebagian lainnya berasal dari Pulau Jawa. Lebih jauh, Pires menduga telah terjadi pelayaran rutin antara kepulauan Maladewa dengan bandar Sunda Kelapa ini.

Sayangnya, catatan Tome Pires tidak berbicara lebih banyak tentang aktivitas di bandar Sunda Kelapa saat itu. Merujuk Atlas Pelabuhan-Pelabuhan Bersejarah di Indonesia suntingan Endjat Djaenuderajat (2013), dikisahkan bahwa setelah Pires di tahun 1511, kemudian datanglah bangsa Portugis lainnya yaitu Enrique Leme dan rombongan di tahun 1522. Enrique Leme ini ialah utusan Gubernur Jenderal Portugis yang berkedudukan di Goa (India), d’Albuquerque.

Menariknya, rombongan Portugis ini tiba membawa aneka rupa cinderamata bagi Raja Kerajaan Hindu Pejajaran, Sang Hiyang Surawisesa (1521-1535). Menariknya lagi, agaknya orang Portugis ini sudah lama mengenal sosok sang raja. Ada tafsiran keduanya telah saling mengenal ketika sang raja saat itu masih berstatus putra mahkota dan sempat mengunjungi Malaka di tahun 1511, sebuah tahun yang sama ketika bangsa Portugis berhasil menguasai bandar laut Malaka di tahun 1511.

Selanjutnya, pada 21 Agustus 1522 disepakati sebuah perjanjian persahabatan antara Kerajaan Hindu Pejajaran dan Kerajaan Portugal. Isi perjanjian itu adalah bahwa Portugis bersedia membantu Sunda Kelapa apabila sewaktu-waktu kota bandar ini diserang oleh Kerajaan Cirebon. Sebagai imbalannya, pihak Portugis diperkenankan mendirikan loji atau kantor dagang di Bandar Banten. Namun loji itu tidak pernah dibangun di Bandar Banten seperti kesepakatan, Portugis tetap menginginkan loji itu didirikan di Sunda Kalapa.

Tentu saja, perjanjian ini mencemaskan Sultan Trenggana dari Kerajaan Demak. Pada tahun 1526-1527, Sunan Gunung Jati atau Fatahillah, raja Kerajaan Cirebon, atas dorongan dan bantuan Kerajaan Demak, lantas menyerbu Sunda Kalapa dan memukul mundur Kerajaan Hindu-Pejajaran.

Jatuhnya Sunda Kalapa ke tangan Fatahillah pada 22 Juni 1527 menandai masuk dan berkembangnya Islam di Sunda Kalapa dan bandar tersebut diganti namanya menjadi Jayakarta, yang berarti “kota kemenangan”. Selanjutnya Fatahillah menyerahkan pemerintahan di Jayakarta kepada putranya, Maulana Hasanuddin, sultan di Kerajaan Banten. Dan sebagai ingatan terhadap kemenangan serbuan pasukan gabungan Cirebon-Demak inilah, maka setiap tanggal 22 Juni selalu dirayakan sebagai hari jadi Kota Jakarta.

Menarik dicatat di sini. Meskipun telah ada perjanjian pakta pertahanan dengan Portugis, bantuan Portugis untuk ikut mempertahankan Sunda Kalapa ternyata tidak pernah terjadi. Francisco de Saa, sosok yang ditugaskan oleh Kerajaan Portugal untuk melaksanakan kesepakatan itu, tercatat baru tiba di Sunda Kalapa di tahun 1527. Ketika ia tiba di sana, Sunda Kalapa telah sepenuhnya dikuasai oleh Kerajaan Islam,

Setelah Kerajaan Banten berkuasa selama hampir satu abad di Sunda Kelapa, yang telah berubah nama menjadi Jayakarta ini, sejarah juga mencatat terjadinya perubahan yang tak kalah dramatik.

Pada 30 Mei 1619, kuasa di Jayakarta diambil oleh bangsa Barat. Bukan oleh bangsa Portugis, melainkan oleh bangsa Belanda. Adalah Jan Pieterzoon Coen, melalui asosiasi kamar dagang Vereenigde Oost-Indische Compagnie (VOC), berhasil memimpin pasukan dan mengalahkan pasukan Banten serta mengambil alih Jayakarta. Kemudian Coen, lebih jauh, mengubah nama kota pelabuhan tua ini menjadi Batavia.

Ya, dikatakan dramatik karena titik tolak diambil alihnya Sunda Kelapa, atau sebutlah juga Jayakarta ini, merupakan awal mula sejarah kolonialisme Hindia Belanda di Indonesia.

Sejarah mencatat, setidaknya jika dihitung pada kasus Sunda Kelapa secara partikular, maka bisa disimpulkan kota bandar tua ini barulah kembali ke pangkuan ibu pertiwi setelah lebih dari tiga seperempat abad berada di bawah kekuasaan Hindia Belanda. Angka ini tentu saja hampir menyentuh angka “keramat” tiga setengah abad penjajahan Hindia-Belanda di Indonesia, sebagaimana klaim Gubernur Jendral Hindia Belanda, Bonifacius Cornelis de Jonge, di tahun 1936. (W-1)