Berawal dari temuan artefak batu bata kuno oleh para perajin batu bata merah di Dusun Bendo, Desa Kumitir, Kecamatan Jatirejo, Kabupeten Mojokerto, pada 19 Juni 2019. Temuan awal berupa struktur bata kuno yang memiliki panjang 21 meter dengan arah orientasi utara-selatan dengan ketinggian 70 sentimeter yang tersusun dari 14 lapis bata.
Menindaklanjuti temuan ini, pemerintah dalam hal ini adalah Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan bekerja sama dengan Pemda Jawa Timur segera melaksanakan proses ekskavasi penyelamatan.
Berdasarkan hasil tanah yang telah digali, struktur bata kuno itu diyakini membentuk talud membentang dari dari utara ke selatan dengan panjang 200 meter. Talud atau pagar itu diperkirakan sebagai penguat kompleks bangunan elite pada masa kerajaan Majapahit. Dari struktur bangunan yang ditemukan memperlihatkan, bahwa di lokasi itu terdapat tempat pemujaan atau kawasan pemukiman elite di masa lalu.
“Kami perkirakan bahwa struktur bata ini merupakan sisi timur dari Kota Majapahit. Disebutkan dalam Negarakertagama, Kedaton atau keraton Majapahit dikelilingi tembok-tembok,” ujar Wicaksono Dwi Nugroho, arkeolog dari Balai Pelestarian Cagar Budaya (BPBD) Jawa Timur, sekaligus ketua tim ekskavasi Situs Kumitir.
Wicaksono menjelaskan, tembok kuno ini jelas dibangun di era Majapahit. Jenis bata merah yang digunakan sama dengan bata merah di situs-situs peninggalan Majapahit di Situs Trowulan. Batu bata gosok, batu bata yang direkatkan satu sama lain dengan cara digosokkan tanpa menggunakan perekat.
Ya, beranjangsana ke Mojokerto, sebuah kota kabupaten yang berada 50-an kilometer di sisi barat Surabaya ini, dikenal memiliki banyak sekali situs arkeologi. Selain Situs Kumitir yang belum lama ditemukan, situs lainnya ialah Lebak Jabung, Klinterejo, dan juga ratusan situs arkeologi di Gunung Penanggungan. Semua itu berada di Kabupaten Mojokerto. Namun demikian di atas semua itu, tentu saja, yang paling sohor ialah Situs Trowulan.
Berada di Kota Kecamatan Trowulan, situs ini memiliki luas areal hampir 100 kilometer persegi dikenal sebagai menyimpan jejak-jejak kebesaran masa lalu Kerajaan Majapahit. Akses menuju Situs Trowulan juga mudah dijangkau. Berada di dekat jalan raya dan hanya berjarak sekitar 12 kilometer dari pusat Kota Mojokerto.
Situs Trowulan sendiri menyimpan banyak artefak bersejarah. Sebutlah, misalnya Candi Brahu, Candi Wringin Lawang, Kolam Segaran, Candi Bajang Ratu, Candi Tikus, Kompleks Makam Troloyo, Industri Kecil Kerajinan Logam Cor Desa Bejijong, Candi Kedaton, Candi Gentong, Makam Putri Cempa, Pendopo Agung, Situs Lantai Segi Enam Sentonorejo, Makam Panjang, Siti Inggil, Candi Minak Jinggo, dan Situs Umpak Sentonorejo. Tak hanya itu, di sana juga dibangun Pusat Informasi Majapahit atau Museum Trowulan. Pada akhir 2013. Situs ini telah ditetapkan sebagai Kawasan Cagar Budaya Nasional berdasarkan SK Menteri Pendidikan dan Kebudayaan RI No. 260/M/2013.
Seperti diketahui, Kerajaan Majapahit adalah suatu negara tradisional masa lalu yang besar di Tanah Jawa. Lokasinya ditengarai berada di sekitar daerah delta Sungai Brantas dan Brangkal. Bicara makna sejarah Situs Trowulan, lokasi ini ditengarai merupakan keberadaan ibu kota kerajaan.
Saking banyaknya bangunan kuno, berjalan-jalan di kawasan Situs Trowulan memang sanggup memantik daya imajinasi pengunjungnya, bahwa kita tengah menapaktilasi sebuah kota besar di masa lalu. Kota yang memiliki kolam buatan sebesar 6,5 hektar berikut kanal-kanalnya yang tertata rapi. Kanal-kanal ini, yang saling memotong dan melintang dengan pola tertentu ini, terlihat berdasarkan hasil foto udara atau geographical information system (GIS), sebuah piranti mutakhir yang kini dapat menjadi sumber analisis sejarah.
Tapi, benarkah Situs Trowulan merupakan lokasi ibu kota atau kedaton (royal city) Kerajaan Majapahit? Sebuah pertanyaan klasik yang telah menjadi perdebatan para arkelog maupun sejarawan sejak lama. Pertanyaan ini membawa pada pertanyaan lanjutan. Jika Trowulan bukan lokasi kedaton Majapahit, lalu ibu kota tersebut berada di mana? Adakah situs luas lainnya di Jawa Timur yang dapat dipandang sebagai situs perkotaan dari masa Majapahit?
Negarakertagama dan Situs Trowulan
Ya, di mana lokasi ibu kota Majapahit sejauh ini memang masih bisa diperdebatkan (debatable). Tulisan sebelumnya, Teka-Teki Keraton Majapahit, telah memberi sinyalemen itu. Artikel itu juga telah mengulas perkembang termuthakir penelitian terkait luas areal Keraton Majapahit.
Merujuk peneliti independen studi Jawa Kuno dan Sansekerta asal Belanda, Amrit Gomperts, melalui geographical information system (GIS) sebagai alat bantu mutakhir, dia tiba pada kesimpulan menarik. Menurutnya, sejak 1816 Situs Trowulan telah kehilangan lebih dari lima juta meter kubik tanah beserta segala isinya. Akibat keserakahan para pemburu artefak kuno di zaman kolonial, pengetahuan tentang di mana lokasi sesungguhnya Keraton Majapahit juga menjadi hilang ditelan zaman.
Menarik dicatat. Masih menurut penelitian Gomperts, catatan Mpu Prapanca dalam Negarakertagama sebenarnya barulah mengungkap sekitar empat puluh persen dari keseluruhan wilayah Keraton Majapahit. Ini berarti, sisanya yang enam puluh persen, nisbi tidak pernah dicatat oleh Mpu Prapanca.
Kesimpulan Gomperts soal catatan Prapanca tak sepenuhnya melukiskan fakta tentang luas areal Kota Kerajaan Majapahit tampaknya telah disadari oleh para arkeologi jauh-jauh hari. Merujuk tulisan AS Wibowo, Negarakertagama dan Trowulan, untuk membayangkan bagaimana rupa kota tua di era Majapahit terdapat dua sumber utama. Pertama, Kakawin Nagarakertagama tulisan Mpu Prapanca. Kedua, Situs Trowulan di Kabupaten Mojokerto.
Seperti diketahui, Negarakertagama selesai digubah Mpu Prapanca pada 1365. Dalam kakawin ini terdapat pelbagai uraian berkenaan dengan Majapahit. Selain mengisahkan perihal kerabat raja, upacara kebesaran di keraton, perjalanan-perjalanan Rajasanagara, juga perburuan raja, kitab ini juga memaparkan perihal Keraton Majapahit pada era Raja Hayam Wuruk (1350-1389 M), dan pelbagai bangunan suci Hindu-Budha saat itu.
Negarakertagama khususnya Pupuh VIIIXII merupakan sumber tertulis yang penting untuk mengetahui gambaran Kota Majapahit sekitar tahun 1350-an. Dengan teperinci Prapanca menguraikan keadaan ibu kota dari arah utara ke selatan. Tanpa menyebut-nyebut adanya tembok kota sebagai benten, Prapanca langsung memerinci bangunan-bangunan serta tempat-tempat penting lainnya.
Namun sayangnya pelbagai penelitian arkeologi secara komparatif, masih merujuk Wibowo, sejauh ini ternyata belum sepenuhnya berhasil memadukan kedua sumber sejarah tersebut. Menurutnya, tak satupun deskripsi yang disebutkan Prapanca dapat secara pasti diidentifikasikan dengan salah satu peninggalan artefak di Situs Trowulan. Atau, sebaliknya, juga tidak satupun peninggalan artefak yang ditemukan di Situs Trowulan dapat segera dicarikan padanannya pada lukisan Prapanca dalam Negarakertagama.
Ibukota Majapahit, Masa Kejayaan dan Pencapaian karya Agus Aris Munandar (2008) juga menggarisbawahi adanya ketidaksinkronan antara data epigrafi Pupuh VIII – XII dalam Negarakertagama dan temuan artefak-artefak di Situs Trowulan.
Selain itu, Munandar merujuk Kitab Pararaton. Kitab ini memaparkan Raden Wijaya mendirikan Kota Majapahit di daerah Hutan Tarik atau Trik dan bukan Trowulan. Dalam Pararaton, Tarik atau Trik dideskripsikan sebagai berada di sekitar muara Sungai Berantas. Sedangkan Trowulan sendiri sekarang terletak jauh dari tepi Sungai Berantas dan berada di daerah pedalaman Jawa Timur.
Ada pertanyaan menarik dikemukakan Munandar, yaitu mengapa Mpu Prapanca tidak menyebutkan eksistensi Kolam Segaran ini? “Apakah ia luput atau memejamkan mata sehingga tidak melihat Danau Segaran yang cukup Iuas dan impresif tersebut sampai tidak mencantumkannya dalam Negarakertagama?” tanya Munandar.
Secara toponimi juga muncul skeptisme. Cukup aneh, Trowulan yang diperkirakan adalah bekas ibu kota Majapahit sama sekali tidak memakai nama Mojopait, ataupun nama dengan unsur kata “mojo”. Dari 16 desa dan 4 buah dukuh yang termasuk wilayah Kecamatan Trowulan tidak satupun memakai nama dengan unsur kata “mojo” ini. Namun justru di luar Trowulan setidaknya ditemui sejumlah nama tempat yang memakai unsur kata “mojo”. Sebutlah, seperti Mojoagung, Mojowarno, Mojolegi, Mojoduwur, dan Mojowangi.
Sejarah Popularitas
Bagaimana asal-muasalnya, sejak kapan dan oleh siapa pertama kali, sehingga Situs Trowulan diidentifikasikan dengan kedaton Majapahit, kurang jelas. Namun diduga kuat, sejarah identifikasi Situs Trowulan dengan kedaton Kerajaan Majapahit berawal dari dari penelitian Captain Johannes Willem Bartholomeus Wardenaar (1785–1869).
Atas perintah Sir Stamford Raffles (1781–1826), pada 1815 Wardenaar mengamati tinggalan arkeologi di daerah Mojokerto. Penelitian Wardenaar menghasilkan peta, beberapa gambar, dan legenda peta yang berisi deskripsi bangunan-bangunan di Trowulan, serta menyerahkan hasil penelitian tersebut kepada Raffles. Dalam laporannya ia selalu menyebutkan, “in het bosch van Majapahit” untuk artefak-artefak yang ditemukan di Mojokerto, khususnya Trowulan.
Raffles sendiri dalam karya legendarisnya, History of Java, menyebutkan “remains of gateway at Majapahit called Gapura Jati Pasar” ketika menyebut Candi Waringin Lawang, dan menyebut “one of the gateway of Majapahit” ketika menyebut Candi Brahu.
Masih menggunakan bahan-bahan hasil penelitian Wardenaar, beberapa peneliti lain seperti WR van Hovell (1849), JFG Brumund (1854), dan Jonathan Rigg, menulis soal Majapahit. Sejak 1849 karya-karya mereka diterbitkan berturut-turut dalam Journal of the Indian Archipelago and Eastem Asia. Melalui tulisan mereka ini, mudah diduga semakin terpatri kuat citra dan nama Trowulan dengan keberadaan Kerajaan Majapahit.
Kembali merujuk artikel Wibowo, tak berselang setelah itu pada 1858, sebuah karya karangan J Hageman yang berjudul Toelichting over den Ouden Pilaar Van Majapahit juga diterbitkan. Karya ini membahas salah satu hasil pengamatannya saat dia berkunjung ke Trowulan. RDM Verbeek, tak terkecuali, saat mengadakan kunjungan ke Trowulan juga menerbitkan laporannya dalam artikel Oudheden van Majapahit in 1815 en 1887. Tulisannya ini dimuat dalam TBG XXXIII tahun 1889.
Disebutkan antara 1894-1916 saat Kromodjojo Adinegoro menjadi Bupati Mojokerto. Ia menggali Candi Tikus dan juga merintis pembangunan Museum Mojokerto yang berisi benda arkeologis temuan peninggalan Majapahit. Laporan-laporan tertulisnya kepada Asisten Residen mengenai daerah Trowulan, selalu menyebut tentang kedaton Majapahit.
J Knebel, seorang anggota Comissie voor Oudheidkundig Orderzoek op Java en Madura, pada tahun 1907 melakukan inventarisasi pelbagai peninggalan arkeologi yang ditemukan di Trowulan. Disusul pada 1923, NJ Krom menerbitkan ulasannya tentang peninggalan Majapahit di Trowulan dalam karyanya Inleiding tot de Hindoe Javaanshe Kunst.
Puncaknya ialah Henry Maclaine Pont (1924-1926), peneliti Belanda pertama yang menghubungkan antara gambaran kota Majapahit yang tercatat dalam Negarakertagama dengan peninggalan arkeologis yang ditemukan di kawasan Trowulan. Hasilnya adalah sebuah sketsa tata Kota Majapahit, dipadukan dengan peninggalanpeninggalan bangunan yang terdapat di Situs Trowulan.
Secara hipotesis Maclaine Pont menempatkan kedaton raja Majapahit di sebelah timur Kolam Segaran, yaitu di sekitar lokasi sisasisa bangunan Candi Menak Jinggo. Di sebelah selatan kedaton terdapat tempat kediaman pemimpin keagamaan. Sebelah timur laut dan tenggara kedaton terdapat tempat kediaman para pendeta Brahma dan tempat pemandian.
Demikianlah semenjak itu bulatlah sudah pendapat umum, bahwa lokasi kedaton Majapahit ditengarai kuat berada di Trowulan. Di dalam karangan-karangan atau buku-buku sejarah cenderung secara taken for granted menyebutkan Trowulan menjadi identik dengan lokasi ibu kota Majapahit. Sekalipun di sisi lain, sebenarnya hingga sekarang hipotesis Maclaine Pont tentang tata kota Majapahit masih menjadi perdebatan para arkeolog maupun sejarawan. (W-1)