Jika orang membaca naskah Melayu klasik seperti Hikayat Raja-Raja Melayu atau judul lamanya Sulalatus Salatin dalam beberapa paragraf pertama saja sudah muncul kesan betapa beragamnya percampuran budaya di Kepulauan Asia Tenggara ini.
Henry Chamber-Loir, sejarawan dari Prancis, menyebut naskah itu sebagai political myth atau mitos-mitos yang melegitimasi kekuasaan kerajaan-kerajaan bandar Asia Tenggara. Bagaimana kisah-kisah itu bisa meresap ke dalam literatur Melayu klasik, tentu merupakan sebuah proses kultural yang luar biasa.
Nama-nama berbau Greko-Roman, Arab, Perso-Indian, China hingga Tamil bertebaran di dalam naskah yang diajarkan bagi para bangsawan muda di dalam Keraton Kedah di Utara Semenanjung, Pasai dan Perlak di Aceh, Malaka dan Johor di Selat, Riau, Minangkabau, Palembang, Banten, Cirebon, Demak, Gresik, Sumenep, Makassar, Bugis, hingga Lombok.
Su Fang Ng, Doktor Sastra lulusan University of Michigan dan pengajar di Virginia Tech University mencoba mendedah kompleksitas itu dalam bukunya yang berjudul Alexander The Great From Britain to Southeast Asia. Buku terbitan Oxford University Press keluaran 2019 itu menulis satu bab sendiri tentang kedatangan cerita Alexander atau dikenal sebagai Hikayat Iskandar Agung di Asia Tenggara.
Keseluruhan buku itu merupakan studi doktoral Su Fang Ng tentang peresapan sastra lintas bangsa terhadap sejarah Alexander yang membentang dari Britania di Barat hingga Sumatra di Timur. Sebuah kisah unik yang menjembatani perbedaan antara Barat dan Timur dengan pemaknaan yang memuat ciri khas budaya masing-masing. Sanjay Subrahmanyan, peneliti sejarah dari University of Delhi menyebutnya sebagai "koneksi supra-lokal" yang menyambungkan gagasan dan konstruksi mental melintasi batas-batas politik.
Rivalitas Portugis-Turki Usmani
Kedatangan kisah Iskandar di Nusantara pada awal abad 16 tidak lepas dari konteks rivalitas geopolitik antara imperium Turki Usmani dan Portugis yang membawa kekuatan dagang bersenjata ke Samudera Hindia dan Selat Malaka.
Dengan membangun benteng sebagai pusat-pusat perdagangan, Portugis melanjutkan penetrasinya ke pelabuhan Malaka setelah sebelumnya menguasai Goa di India. Roman Alexander pada saat itu adalah naskah populer yang dibaca, dipahami, dan disesuaikan oleh masing-masing kepentingan yang berseteru.
Azyumardi Azhra pernah menyebut tentang "teori balapan". Teori ini mengangkat perkembangan pesat Islam di kawasan Asia Tenggara sebagai reaksi dari kedatangan bangsa-bangsa "Pranggi" yang membawas misi perang Salib.
Merasuknya naskah Roman Alexander ke dalam perbendaharaan literatur Melayu harus dimaknai sebagai proses dialektika budaya multikultural khas Nusantara. Adaptasi sebuah kisah besar "asing" ke dalam perbendaharaan lokal adalah sebuah pemaknaan simbolik yang kompleks di dalam suasana perang maupun damai pada kurun itu.
Iskandar dari Mukadunia
Naskah Roman Alexander yang sampai ke Asia Tenggara sebenarnya berasal dari sumber yang sama. Sumber itu adalah naskah Suriah abad ke-6 dari zaman Pseudo-Callisthenes yang diterjemahkan ke dalam bahasa Arab dan menyebar ke seluruh penjuru Eurasia setelah periode membentangnya kekuasaan Islam ke arah Iberia di barat hingga India di timur.
Naskah yang tertua bisa jadi sudah hilang. Peneliti naskah kuno melacak asal-usulnya dari sebuah naskah tulisan Leo Sang Archi-Presbyter berjudul Historia de preliis. Naskah tentang Alexander yang berasal dari Macedonia atau Iskandar dari Mukadunia inilah yang dimaknai dengan caranya masing-masing (arbitrer) oleh kekuatan-kekuatan politik yang saling berhadapan di abad 16 hingga 18 di wilayah besar bandar-bandar Samudera Hindia, Selat Malaka, Laut Jawa, hingga Laut Cina Selatan.
Sirah Iskandar, masuk ke wilayah Nusantara adalah perkembangan dari kedatangan pedagang-pedagang Arab-Persia yang membawa kabar dari tanah suci. Kisah Iskandar yang terdapat di dalam Alquran bercampur dengan kisah-kisah Shahnama Persia merupakan kisah-kisah pilihan atau kisah rahasia yang menjadi cermin bagi bangsawan.
Kisah-kisah tentang kepahlawanan, perjuangan, cinta, pengorbanan, dan berbagai watak manusia lainnya menjadi bacaan wajib bagi calon-calon pewaris tahta. Sebagai contoh, Keraton Mataram di awal abad 18, di bawah wewenang Sang Ratu Pakubuwono I telah menyusun Carita Sultan Iskandar yang berasal dari naskah melayu yang lebih dahulu populer. Merle Ricklefs, peneliti sejarah dari Australia, dalam Mystic Synthesis in Java (2006), mencatat tentang proses penerjemahan itu sebagai sebuah penanda era pencerahan kesusastraan Jawa hingga era Perang Jawa.
Komunitas yang Dibayangkan
Su Fang Ng mencatat jaringan perdagangan global yang membentang dari Laut Merah hingga Selat Malaka sebagai sumber utama cerita "gado-gado" yang berbau Arab, Persia, Cina, Khmer, Tamil, dan Yunani. Penyebaran agama bisa menjadi sangat efektif jika disertai dengan seni berkisah yang memikat. Nusantara adalah sebuah titik pertemuan yang subur. Bandar-bandarnya yang terbuka secara alamiah merupakan lingkungan yang menguntungkan. Berkembangnya ajaran Hindu-Buddha pada awal Masehi ditengarai berakar dari proses yang sama.
Islam, pada abad 16 hingga 18 adalah sebuah bahasa global yang merangkaikan berbagai budaya yang berbeda ke dalam satu identitas. Rangkaian itu menggabungkan berbagai teks dari dunia lama menjadi interpretasi baru. Kisah-kisah yang dibawa para penutur Islam adalah pembangun komunitas yang dibayangkan.
Hikayat Iskandar dalam sejarahnya berasal dari dua buah sentrum utama, yakni, Pasai dan Malaka. Dua bandar besar inilah yang mendapat pengaruh Islam paling awal. Sejarawan memperkirakan, sejak akhir abad ke-13 proses ini berlangsung untuk kemudian menyebar ke Sumatra Utara, Jawa Timur, Champa, dan Pantai Timur Melayu.
Raja Culan dan Ratu Laut Selatan
Lembar-lembar awal Sejarah Melayu mencatat kompleksitas penerus Iskandar sebagai leluhur Raja-Raja Melayu. Iskandar atau Alexander (Persia-Romawi) adalah putra dari Raja Darab atau Darius (Romawi) yang bertahta di Macedonia. Iskandar mengembara sampai ke timur.
Di sana dia menaklukkan Raja Kida Hindi (Kindah-Yaman) atau keturunan Kindah yang ada di Hindi. Raja Kida mempunyai putri bernama Syahrul-Bariah (Persia-Arab). Konon hanya Iskandar yang layak memperistri Syahrul-Bariah. Mereka dikawinkan Nabi Khidir (Arab).
Terjemahan Syahrul-Bariah dalam Bahasa Melayu adalah penguasa laut. Apakah ini kisah tentang Iskandar yang mengawini penguasa laut. Sejarah Melayu ternyata menulis perkembangan yang mirip pengulangan, tetapi lebih menyebutkan tentang raja Melayu yang mengawini penguasa laut.
Raja Iskandar meninggalkan Syahrul-Bariyah, sang permaisuri, yang kemudian melahirkan anak bernama Ariston Syah alias Aristo (Romawi). Aristo mempunyai anak bernama Tersi Berderas atau Tahmuras (Persia). Tersi Berderas kawin dengan anak Raja Sulan (Chola). Konon Raja Sulan punya tiga anak, Hiran, Suran, dan Fandin.
Raja Sulan digantikan Raja Suran (Chola). Raja Suran menawan negeri Gangga Negara (Bengal) dan Negeri Langgiu (Lang Kiu - Vietnam). Dikisahkan Raja Suran ingin menguasai hingga Cina, tetapi berhasil diperdaya.
Raja Suran ingin tahu isi laut. Raja memerintah pembuatan Genta Penyelam. Raja pun menyelam ke laut dan bertemu dengan Raja Aktabul Ardi (Arab). Sesudah itu Raja Suran dikawinkan dengan putrinya bernama Mahtabul Bahri (Arab).
Sampai di situ, Sejarah Melayu kembali menyebutkan dua istilah Arab yang kurang lebih berarti penguasa daratan dan penguasa lautan. Sampai pada kisah ini cerita tentang seorang penguasa yang mengawini ratu penguasa laut di wilayah Mataram Jawa bagian selatan ternyata mempunyai akar yang jelas dalam kisah-kisah yang menjadi inspirasinya. (Y-1)