Indonesia.go.id - Ajattappareng, Negeri-Negeri di Barat Danau

Ajattappareng, Negeri-Negeri di Barat Danau

  • Administrator
  • Kamis, 28 November 2019 | 13:58 WIB
KERAJAAN NUSANTARA
  Rumpunan Keluarga Addatuang Sidenreng Terakhir. Foto: Arsip Nasional/Koleksi Ancha Maupe

Di lembah inilah tiap tahunnya, baik di sekitar lembah dan sungai besar, akan terjadi banjir besar di musim hujan. Banjir ini menjadi penyubur tanah di sekitar yang memungkinkan orang menanam padi yang haus air.

Pada sekitar abad 13 Masehi orang-orang yang mendiami Sulawesi bagian Selatan tinggal di  huni-hunian kecil yang tersebar. Bahasa Bugis menyebutnya sebagai Wanua. Penduduk masih sangat jarang, bahkan tempat yang paling padat penduduknya hanya dihuni seribu atau dua ribu orang. Sebagian besar wilayah Sulawesi bagian selatan ini masih diselimuti hutan yang tebal. Ini menjadi hambatan alami bagi terjadinya komunikasi antarhunian.

Wilayah yang paling banyak dihuni di dataran rendah semenanjung ini berputar di sekitar danau tengah. Di pinggiran sungai dan pinggiran danau ikan, garam, udang, dan bermacam tanaman yang kaya protein tumbuh alami, memberikan asupan penting yang cukup bagi sekitarnya. Sungai-sungai besar bagi sebagian penghuni wilayah adalah sarana untuk bergerak berpindah tempat penyambung komunikasi antarhunian.

Di lembah inilah tiap tahun di sekitar lembah dan sungai besar akan terjadi banjir besar di musim hujan. Banjir ini menjadi penyubur tanah di sekitar yang memungkinkan orang menanam padi yang haus air. Tetapi tidak seperti di Jawa, yang pada masa itu sudah muncul pembuatan saluran irigasi, di Sulawesi bagian Selatan ini banjir tahunan adalah pemberi nutrisi tanam padi petani berpindah.

Pada zaman itu beras hanyalah salah satu dari makanan pokok yang dikembangkan. Milet atau jawawut, kemudian pisang, nangka, kelapa, dan bermacam umbi adalah beberapa di antaranya. Kebutuhan daging dan protein diambil dari ayam, telur, kerang, kijang, babi, kerbau, hingga anjing. Hingga hari ini, dua hewan terakhir masih menjadi santapan dalam upacara adat Saddan-Toraja.

Stephen C Druce, saat ini pengajar di Universiti Brunei Darussalam, adalah peneliti sejarah yang menerbitkan penelitian doktoralnya di Hull University dengan judul The Land West of The Lakes, Sejarah Kerajaan Ajattappareng di Sulawesi Selatan tahun 1200-1600 Masehi. Sebelum melakukan penelitian, Druce menjalani kuliah di Universitas Hasanuddin Makassar pada 1996-1997, dengan fokus mempelajari Bahasa Bugis.

Asal Usul Kerajaan

Penelitian Druce berangkat dari minat untuk mempelajari kemunculan kerajaan-kerajaan di dataran rendah Sulawesi Selatan. Kemajuan perdagangan dengan berbagai wilayah pada sekitar abad 13 dan 14 Masehi adalah pendorong kemunculan kerajaan-kerajaan di wilayah ini. Beras adalah komoditas utama yang menjadi produksi utama yang diperdagangkan dengan pedagang-pedagang luar. Tingginya permintaan terhadap komoditi beras menjadi penyebab berkembangnya pembukaan hutan dan ekspansi wilayah untuk mengembangkan pertanian padi yang menguntungkan.

Sejarah perdagangan di wilayah ini sendiri diperkirakan berkembang sejak 2.000 tahun yang lalu berdasarkan temuan bejana Dongson dari Selayar. Penemuan patung Buddha di dekat muara sungai Karama, Mamuju, memperlihatkan jejak perdagangan abad ke-2 hingga 5 Masehi. Sedikitnya jejak arkeologi yang ditemukan sebelum tahun 1300 adalah hal yang menjadi perhatian kritis terhadap pendapat sejarawan Prancis, Christian Pelras, tentang sebuah "Zaman Galigo" yang dia perkirakan ada di antara tahun 1100 hingga 1300.

Pelras mengemukakan teorinya berdasarkan puisi-puisi yang ada di dalam manuskrip I La Galigo. Puisi-puisi epos I La Galigo mengisahkan Kerajaan Luwuq dan Cina yang pada masa kebesarannya telah membangun perdagangan yang besar dengan wilayah-wilayah lain di Nusantara. Tetapi sayangnya jejak arkeologi di Luwuq dan Cenrana, dalam penelitian Druce, tidak bisa memberikan bukti penguat tentang "Zaman Galigo" ataupun "Zaman Kacau" yang diceritakan oleh Pelras. Penelitian arkeologi hanya menemukan bahwa dua kerajaan ini mulai berkembang di akhir abad ke-13 Masehi.

Jaringan Dagang Pembentuk Kerajaan

Abad 13 dan 14 Masehi adalah zaman awal perkembangan pertanian dan politik kekuasaan di wilayah bagian barat danau-danau atau Ajattappareng. Danau yang dimaksud adalah, Danau Sidenreng, dan Danau Buaya. Saat ini wilayah Ajatappareng meliputi empat kabupaten dan satu kotamadya. Wilayah bekas Sawitto dan Alitta sekarang adalah bagian dari Kabupaten Pinrang. Sidenreng dan Rappang menjadi Kabupaten Sidenreng Rappang beserta kecamatan Maiwa, Enrekang. Wilayah Suppaq kini terpecah, sebagian masuk daerah Pinrang, sebagian masuk wilayah Kabupaten Barru, serta seluruh Kota Parepare.

Zaman awal terbentuknya kerajaan di Ajattappareng ditandai dengan pembukaan hutan secara perlahan guna meluaskan sawah pertanian padi. Pada masa inilah penduduk di wilayah itu  mengembangkan iklim politik, pusat-pusat ekonomi, dan lumbung pertanian. Menurut catatan manuskrip Lontaraq yang menulis Sidenreng Rappang, perkembangan ini terjadi tak lama setelah Kerajaan Bone muncul.

Penelitian arkeologi menemukan bukti-bukti jaringan perdagangan yang menunjukkan semakin kompleksnya masyarakat di wilayah barat danau ini. Pecahan-pecahan keramik yang menunjukkan penanggalan sekitar abad 14 Masehi ditemukan di berbagai wilayah. Beberapa keramik yang tua umurnya bahkan telah lama disimpan penguasa pantai sebelum dipertukarkan dengan penghuni pedalaman. Pertukaran ini juga menunjukkan bahwa jaringan dagang lokal telah berkembang lama sebelum masa perdagangan besar.

Wilayah yang menjadi pusat perkembangan Ajattappareng pada zaman ini adalah Suppaq. Letaknya yang berada di wilayah pesisir sangat cocok untuk pengembangan jaringan dagang yang lebih besar dengan banyak pedagang dari luar. Pada abad ke-14 Masehi Suppaq telah menjadi kaya dan berkuasa. Kerajaan ini adalah yang paling termasyhur dari negara-negara di sebelah barat danau. (Y-1)