Dunia tak hanya mengenal Pulau Bali dengan keindahan pantai dan kekayaan ragam seni budayanya saja. Bali juga terkenal dengan wisata alam pegunungan dan pemandangan area persawahan hijau berundak-undak yang mempesona atau dikenal dengan sawah terasering.
Terasering adalah salah satu metode dalam manajemen pertanian yang dibuat untuk menyiasati lahan di daerah berkontur tanah ekstrem seperti dataran tinggi dan lereng gunung. Dengan membuat terasering, air dari ketinggian diharapkan akan mengalir dengan kecepatan dan volume yang selalu terkendali.
Ada beberapa daerah di Pulau Dewata yang terkenal dengan sawah teraseringnya, seperti di Desa Tegalalang dan Desa Blimbing, Pupuan, yang berada di pusat wisata terkenal, Ubud, di Kabupaten Gianyar. Satu lagi berada di Desa Jatiluwih, Kecamatan Penebel, Kabupaten Tabanan. Tegalalang, Pupuan, maupun Jatiluwih berudara sejuk karena berada di kawasan pegunungan dan menjalankan subak, yaitu organisasi masyarakat adat yang mengatur sistem irigasi tradisional dan telah dijalankan sejak abad ke-11.
Sistem subak ini mewakili budaya Bali yang berbasis pertanian, khususnya, pertanian lahan basah yaitu padi. Di subak, tecermin budaya gotong-royong, pelestarian lingkungan, pengetahuan musim, angin, dan pengendalian hama.
Subak diatur oleh seorang pemuka adat yang disebut pekaseh dan biasanya juga berprofesi sebagai petani. Subak adalah salah satu manifestasi Tri Hita Karana, yaitu filosofi Hindu Bali dalam menjaga keseimbangan antara manusia dan sesamanya, manusia dengan alam, dan manusia dengan Sang Pencipta.
Oleh karena ini pula Organisasi Pendidikan, Ilmu Pengetahuan dan Kebudayaan Perserikatan Bangsa-Bangsa, UNESCO, pada sidangnya di Saint Petersburg, Rusia, 20 Juni 2012, telah menetapkan subak sebagai warisan budaya dunia.
Meski menjalankan sistem irigasi sejenis, ada yang membedakan antara persawahan terasering Tegalalang, Pupuan, dan Jatiluwih. Menurut penulis buku "Subak: Sistem Irigasi Tradisional di Bali", I Gde Pitana, ada beberapa unsur penting yang membedakannya.
Persawahan Jatiluwih masih menjalankan subak dengan pola asli, yaitu tanpa adanya bangunan beton pada aliran irigasinya. Kemudian, padi bali merah adalah varietas lokal yang masih dipertahankan untuk ditanam di persawahan Jatiluwih.
Petani setempat juga masih menjaga estetika menanam padi di lahan terasering agar tetap menghasilkan pemandangan indah hijaunya persawahan bersistem subak.
Terakhir, sejak 1993 area persawahan subak di Jatiluwih telah ditetapkan sebagai desa tujuan wisata. Subak di Jatiluwih juga dimasukkan oleh UNESCO sebagai bagian dari lanskap kultur Bali yang ikut dipengaruhi oleh subak sebagai warisan budaya dunia.
Jatiluwih sendiri berada pada ketinggian 700 meter di atas permukaan laut (mdpl) dan terletak di kaki Gunung Batukaru, gunung tertinggi kedua di Pulau Dewata.
Perlu waktu 1,5 jam dari pusat kota Denpasar untuk mencapai Jatiluwih dengan jarak tempuh sekitar 50 kilometer (km). Data Dinas Pertanian Kabupaten Tabanan mencatat, luas lahan persawahan terasering di Jatiluwih mencapai lebih dari 50.000 hektare (ha) atau paling luas di seluruh Bali.
Seperti kebanyakan daerah di Bali, Jatiluwih juga memiliki beberapa cerita sejarah dan mitos yang masih dipercaya hingga saat ini di kalangan masyarakat setempat.
Ketua Daya Tarik Wisata (DTW) Jatiluwih I Nengah Sutirtayasa mengatakan, dari cerita-cerita rakyat masa lampau Jatiluwih dipercaya berasal dari kata jaton yang berarti pesona yang nyata dan luwih yang berarti bagus atau baik, sehingga dapat diartikan Jatiluwih adalah desa yang memiliki pesona yang bagus dan nyata.
Mitos lain mengatakan jika Jatiluwih dulunya daerah pemakaman Jatayu, yaitu makhluk setengah dewa dalam bentuk burung garuda. Sejak zaman dahulu, Jatiluwih sudah didatangi pendatang dengan berbagai latar belakang, baik dari kalangan Brahmana, Ksatria, Wesia, dan Sudra.
Mereka tidak hanya mengunjungi Jatiluwih melainkan juga membangun beberapa pura seperti Pura Luhur Petali, Pura Luhur Bhujangga Waisnawa, Pura Resi, dan Pura Taksu Agung.
Pernah Disinggahi Obama
Persawahan Jatiluwih telah memberikan sensasi tersendiri bagi para turis, terutama pelancong asing. Mereka tak hanya sekadar berfoto dan menikmati suguhan pemandangan persawahan berundak-undak bak permadani hijau berlatar hutan perawan sepanjang punggung Gunung Batukaru.
Terlebih jika sesi foto dilakukan menjelang matahari terbenam saat rona oranye mewarnai langit petang Jatiluwih. Turis-turis juga dapat merasakan sensasi turun ke sawah ikut merasakan aktivitas bertani seperti mencangkul, membersihkan sawah atau nampadin, membajak sawah (ngelampit), meratakan tanah sawah (mlasah), menanam padi (nandur), dan memanen (sasih sada).
Sutirtayasa bersama masyarakat setempat juga membangun jalan semen selebar satu meter sepanjang 3 km mengelilingi area persawahan dan dapat digunakan turis sebagai jalur trekking dan hiking sambil menikmati keindahan persawahan Jatiluwih.
Jika tak ingin trekking atau hiking, sebagai gantinya turis bisa bersepeda dengan menyewanya dari warga setempat. Tak jauh dari persawahan terasering, Jatiluwih juga menyimpan aset cantik lainnya berupa air terjun Yeh Ho.
Mantan Presiden Amerika Serikat Barack Obama dan keluarganya juga pernah menyempatkan diri berwisata ke Jatiluwih saat berkunjung ke Indonesia pada Juni 2017.
Waktu terbaik agar bisa menikmati semua suguhan alam tadi adalah pada pukul 8 pagi hingga 5 sore waktu setempat. Kita juga dapat mengunjungi Jatiluwih pada Februari hingga April di saat batang-batang padi mulai tumbuh dan hamparannya mulai berwarna hijau kekuningan dan Juni-Juli ketika masa panen tiba.
Ada retribusi sebesar Rp15.000 untuk turis nusantara dan Rp40.000 untuk turis asing agar dapat memasuki desa wisata Jatiwulih. Setiap tahunnya masyarakat setempat mengggelar Festival Jatiluwih untuk meningkatkan jumlah kunjungan turis.
Pada 2018 jumlah turis asing yang berwisata dan bermalam di Jatiluwih mencapai 200.000 orang dan meningkat 30 persen setahun kemudian. Hanya saja selama masa pandemi Covid-19 yang telah berlangsung delapan bulan, jumlah kunjungan turis asing menurun drastis.
Meski demikian, kunjungan turis nusantara justru meningkat dalam beberapa bulan terakhir. Data DTW Jatiluwih menyebutkan, setiap harinya ada sekitar 1.000 turis nusantara berkunjung ke Jatiluwih dan meningkat menjadi 1.500 orang pada akhir pekan.
Protokol kesehatan ketat juga diterapkan di Jatiluwih dengan mengingat pesan dari ibu yaitu memakai masker, mencuci tangan dengan sabun dan selalu menjaga jarak. Ayo berkunjung ke Jatiluwih.
Penulis: Anton Setiawan
Editor: Firman Hidranto/Elvira Inda Sari
Redaktur Bahasa: Ratna Nuraini