Indonesia.go.id - Rumah Panggung Minahasa, dari Woloan hingga Mendunia

Rumah Panggung Minahasa, dari Woloan hingga Mendunia

  • Administrator
  • Minggu, 6 Desember 2020 | 02:53 WIB
ARSITEKTUR
  Rumah panggung Minahasa. Foto: Wikimedia Commins/Tumou Pratama

Pembuatan rumah panggung Minahasa telah menjadi industri dan memberikan kehidupan bagi banyak orang di Desa Woloan. Industri yang melestarikan nilai tradisi.

Sebuah pemandangan unik bakal tersaji di jalan menuju Danau Linouw di Kabupaten Tomohon, Sulawesi Utara (Sulut). Saat memasuki sepotong jalan beraspal mulus sekitar tiga kilometer menjelang danau vulkanik seluas 340 hektare itu, mata akan tertuju pada deretan rumah-rumah kayu dengan bentuk dan motif yang nyaris seragam. Rumah-rumah berkelir cokelat dan berbentuk panggung itu tak tampak dihuni manusia, meski dari luar tampilannya seperti rumah baru. Rupanya rumah panggung tadi tidak untuk ditempati melainkan untuk dijual.

Kawasan yang bernama Desa Woloan di Kecamatan Tomohon Barat ini, masyarakatnya dikenal sebagai perajin rumah panggung khas Minahasa. Suara raungan gergaji mesin ditingkahi ketukan pahat dan martil telah menjadi keseharian di desa ini. Begitu pula dengan pemandangan ratusan kayu balok aneka ukuran terhampar di tiap lahan kosong tak jauh dari rumah-rumah panggung yang sedang dikerjakan. Kayu merupakan bahan baku utama untuk pembuatan rumah panggung.

Rumah panggung berukuran lebih kecil dibandingkan dengan rumah panjang di Kalimantan. Mengingat rumah ini hanya dihuni oleh satu keluarga saja. Dalam buku Sejarah dan Kebudayaan Minahasa yang ditulis oleh Jessy Wenas, diceritakan bahwa dulu bangunan rumah adat Minahasa dibuat dengan teknik ikat, yaitu menempel pada pohon yang tinggi. Hal ini dilakukan untuk menghindari banjir dan gangguan binatang buas.

Kemudian, pada 1850 peneliti dari Belanda bernama WR Van Hoevell mencatat adanya perubahan yang terjadi pada rumah adat yang dipakai oleh suku Minahasa. Dari semula menempel pada pohon, kemudian berubah menjadi rumah panggung yang bertahan hingga kini. Dalam bahasa setempat, rumah panggung ini disebut sebagai wale meito'tol atau rumah berpilar balok kayu. Ada juga rumah berpilar batu atau disebut dengan wale weiwangin. Kedua jenis rumah panggung ini merupakan rumah adat suku Minahasa. 

Kayu yang dipakai untuk pembuatan rumah panggung adalah kayu besi (Instia bijuga). Kayu besi dipakai sebagai bahan utama struktur atau rangka rumah sedangkan kayu cempaka (Elmerrillia ovalis) dan kayu nyatoh (Palaquium spp) digunakan untuk melapisi interior atau bagian dalam rumah. Kayu besi dipilih karena tahan terhadap rayap dan memiliki sifat yang kokoh. Selain itu, kayu ini juga awet karena mampu menopang rumah hingga berusia ratusan tahun. Kayu besi umumnya dipasok dari hutan di daerah Bolaang Mongondow, Sulut.

 

Sistem Bongkar Pasang

Rumah panggung ini dibuat dengan sistem bongkar pasang atau knock-down. Artinya, setiap model rumah dapat dipereteli kembali setelah selesai dibuat. Ada berbagai tipe rumah panggung dibuat para perajin, mulai dari yang berukuran luas 36 meter persegi hingga 200 meter persegi sanggup mereka kerjakan. Para perajin pun dapat mengerjakan rumah panggung dengan bentuk serta ukuran sesuai keinginan si pembeli. Harga jual setiap rumah panggung berbeda-beda, mulai dari puluhan juta bahkan hingga miliaran rupiah.

Rumah panggung memiliki beberapa bagian. Pada ruang depan yang terbuka tanpa dinding disebut dengan loloan (fores). Masuk lebih ke dalam, akan ditemui beberapa ruangan, seperti ruang tamu dan kamar tidur. Ada juga loteng yang digunakan untuk menyimpan hasil panen atau juga digunakan sebagai tempat menjemur pakaian. Pada bagian belakang terdapat ruangan dapur (rarampoan). Dapur dibuat terpisah dari rumah induk untuk menghindari kebakaran.

Rumah panggung Minahasa mempunyai dua tangga, yaitu di bagian kiri dan kanan. Tiang utama rumah disebut dengan ari’i, yang pada bagian atasnya terdapat pintu masuk. Pada bagian badan rumah terdapat jendela (tetemboan) yang diukir hiasan berupa gambar bunga atau tanaman. Konstruksi tumpangan balok yang melintang di atas tumpangan balok memanjang disebut dengan kalawit. Sedangkan konstruksi berbentuk huruf X disebut sumpeleng. Konstruksi-konstruksi tersebut saling berkait dan membentuk pondasi rumah yang kokoh. Uniknya meski bagian-bagian konstruksi direkatkan tanpa menggunakan satu pun paku, saat terjadi gempa, rumah adat Minahasa hanya akan bergeser tanpa mengalami kerusakan pada bagian-bagiannya.

Keunikan bentuk dan coraknya membuat rumah panggung ini diminati banyak orang. Tak hanya menerima pesanan dari sekitar Tomohon, rumah-rumah panggung ini juga banyak diminati pembeli dari sekitar Sulawesi. Bahkan sudah menyebar hingga ke seluruh Nusantara. Tak hanya dipesan oleh pembeli perorangan, para pengelola resor atau villa juga tertarik membeli produk asli dari kawasan sejuk Tomohon ini. Pengiriman rumah bongkar pasang ini juga disertai para tukang kayu yang akan merangkai ulang rumah di lokasi akhir.

Menurut data Dinas Perindustrian dan Perdagangan Provinsi Sulut, rumah unik ini sudah tersebar di lebih dari 30 negara. Para pembeli datang dari Asia Tenggara, Asia Timur, Eropa, serta Amerika Serikat. Ekspor juga dilakukan ke Tanzania, Australia, Selandia Baru, Maladewa, Argentina, dan Meksiko. “Rumah panggung Woloan diminati pasar ekspor karena memiliki karakteristik dan ciri khas yang berbeda. Apalagi materialnya berasal dari kayu tropis yang terkenal bagus dan kuat,” kata Kepala Dinas Perindustrian dan Perdagangan Sulut Edwin Kindangen seperti dikutip dari Antara.

 

Bahan Baku Berkurang

Begitu masifnya permintaan rumah panggung mengancam kelestarian bahan baku kayu besi, nyatoh, dan cempaka. Produksi rumah panggung dari Woloan telah dicoba dengan bahan baku kayu kelapa, akan tetapi kesulitan memasarkannya karena kurang diminati oleh konsumen. Oleh karena itu perlu adanya jenis-jenis kayu lain yang dapat menggantikan (substitusi) ketiga jenis kayu di atas. Tentunya, supaya industri rumah panggung knock-down di Desa Woloan tetap berjalan tanpa mengalami kesulitan pasokan bahan baku kayu.

Jenis kayu substitusi tersebut tentunya harus memiliki sifat-sifat yang relatif sama dengan ketiga jenis kayu sebelumnya terutama sifat fisik dan mekanisnya serta tetap diminati oleh konsumen. Menurut peneliti kehutanan dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan Sentot Adi Sasmuko, penelitian sifat fisik dan mekanik beberapa jenis kayu pengganti bahan baku rumah panggung Woloan pernah dilakukan oleh Balai Penelitian Kehutanan Manado dan Pusat Penelitian dan Pengembangan Hasil Hutan Bogor. Jenis kayu yang diteliti meliputi aliwowos, rorum, bugis, binuang, bolangitang, dan kenari yang berasal dari hutan di Bolaang Mongondow Utara.

Dari hasil penelitian yang dilakukan menunjukkan bahwa kayu aliwowos tergolong paling berat diikuti berturut-turut rorum, bugis, kenari, binuang, dan yang teringan adalah kayu bolangitang. Selain itu keenam jenis kayu tersebut tergolong mempunyai penyusutan yang relatif kecil atau stabil. Sementara itu berdasarkan nilai kerapatan, keteguhan lentur statis maksimum, keteguhan tekan sejajar serat dan keteguhan gesernya, maka kayu aliwowos tergolong kelas kuat I. Sedangkan kayu rorum dan bugis termasuk kelas kuat II. Kayu kenari termasuk kelas kuat III dan binuang dan bolangitang termasuk kelas kuat IV.

Berdasarkan sifat-sifatnya, maka keenam jenis kayu tadi dapat dimanfaatkan bagi keperluan bahan baku pengganti rumah panggung dari Woloan untuk menggantikan jenis-jenis kayu yang selama ini dipakai. Sehingga industri rumah kayu khas Tomohon dan Sulawesi Utara ini tetap lestari dan memberikan kesejahteraan bagi masyarakatnya.

 

 

Penulis: Anton Setiawan
Editor: Eri Sutrisno/ Elvira Inda Sari
Redaktur Bahasa: Ratna Nuraini