Setiap 20 Mei Indonesia memperingati Hari Kebangkitan Nasional. Ini mengacu pada berdirinya organisasi Budi Utomo (BU), yaitu: 20 Mei 1908. Ditetapkan oleh Presiden Soekarno pada momen 40 Tahun Hari Kebangkitan Nasional dan pertamakali digelar pada 20 Mei 1948 di Istana Kepresidenan di Yogyakarta. Posisi ini kemudian dikuatkan oleh Presiden Soeharto melalui Keppres No 1 Tahun 1985 tentang Penyelenggaraan Peringatan Hari Kebangkitan Nasional.
Belum lama berselang, pada 20 Mei 2019 Indonesia kembali memperingati Hari Kebangkitan Nasional ke-111. Dalam momen peringatan itu, Presiden Joko Widodo sempat berpesan, “Seratus sebelas tahun yang lalu, para pemuda bangsa ini menolak terus-menerus terlelap dalam keterbelakangan. Mereka bangkit, memperkuat diri. Mereka dirikan Budi Utomo, Sarekat Dagang Islam, dan lain-lain.”
Lebih jauh, khusus tertuju pada kaum muda, Presiden Joko Widodo menambahkan, "Kebangkitan itu, kita peringati kini dengan tekad baru, membangun Indonesia yang maju, yang sanggup mengelola perbedaan, damai, dan tanpa kekerasan."
https://indonesia.go.id/assets/img/assets/1559287179_PO2016090900011_20171109110137.jpg" />Cagar Budaya Tugu Lilin. Sumber foto: Kemendikbud
Dua tahun lalu, Pemerintah Joko Widodo melalui Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan mengeluarkan SK Menteri No369/M/2017 untuk menetapkan Tugu Kebangkitan Nasional—bersama dengan Tugu Muda dan Tugu Jong Soematra—sebagai cagar budaya nasional,.
Tugu Kebangkitan Nasional atau sering juga disebut Tugu Lilin didirikan dalam rangka memperingati 25 tahun berdirinya BU, yang mengemuka saat Kongres Indonesia Raya I pada 1931. Peletakan batu pertama dilakukan awal Desember 1933 dan selesai pada Oktober 1934.
Awalnya tugu itu diusulkan dibangun di beberapa daerah seperti Batavia, Surabaya, atau Semarang. Namun pemerintah Hindia Belanda menolak pembangunan tugu tersebut. Akhirnya atas izin dan dukungan dari Pakubuwono X, tugu itu kemudian dibangun di Surakarta.
Sebelum nantinya berubah nama menjadi Tugu Kebangkitan Nasional di era Republik, setelah selesai dibangun tugu itu diberi nama “Tugu Peringatan Pergerakan Kebangsaan 1908–1933.” Tentu saja penamaan itu ditolak oleh Pemerintah Hindia Belanda, dan pemerintah mengancam akan membongkar tugu tersebut jika nama itu tetap digunakan.
Tak ketinggalan, Pakubowo X ikut turun tangan. Pada akhir Januari 1935, Pakubuwono datang ke Batavia menemui Gubernur Jendral Bonifacius Cornelis de Jonge untuk meminta izin pemerintah. Namun usaha ini juga menemui kegagalan.
Bahkan kemudian Residen Surakarta MJJ Treur kembali mengancam akan membongkar bangunan itu, sekiranya usulan nama darinya yaitu ‘Tugu Peringatan Kemajuan Rakyat 1908 – 1933” tidak diterima. Akhirnya sebagai kompromi nama itulah yang disematkan pada tugu berbentuk lilin tersebut.
https://indonesia.go.id/assets/img/assets/1559286854_PO2016090900011_20171109105826.jpg" />Tugu Kebangitan Nasional. Sumber foto: Kemendikbud
Bersamaan dengan tahun pertama peringatan Hari Kebangkitan Nasional pascakemerdekaan 1948 inilah, Tugu Lilin ini dijadikan simbol “Kebangunan Nasional” yang kemudian disebut “Kebangkitan Nasional.”
Dari proses pembangunan tugu ini ada yang unik dan menarik dicatat. Merujuk situs cagarbudaya.kemdikbud.go.id disebutkan, para anggota PPPKI (Pemufakatan Perhimpunan-Perhimpunan Politik Kebangsaan Indonesia) dari seluruh nusantara datang ke Solo dengan membawa tanah dari daerah mereka masing-masing dan kemudian tanah-tanah itu ditanam di pelataran tugu tersebut.
Kronik Transformasi Kesadaran
Sekalipun selalu dikritik kooperatif, BU yang pendiriannya diinisiasi beberapa siswa STOVIA (School Tot Opleiding Van Indische Artsen) harus diakui ialah organisasi pribumi pertama di Indonesia yang dibangun berdasarkan model Barat. Sebuah organisasi yang pengurusnya dapat diganti secara periodik, memiliki AD/ART dan program kegiatan, serta mengadakan rapat dan kongres secara terjadwal, dan anggotanya memiliki hak suara.
Ya, sejak lahirnya BU ini bisa dikata sepanjang dua hingga tiga dasawarsa abad ke-20 telah terjadi ledakan panjang semangat berorganisasi. Menyusul BU, sebutlah SI (Syarikat Islam) berdiri pada 1912 sebagai perkembangan dari organisasi yang mendahuluinya yaitu SDI (Sarikat Dagang Islam). Menyusul kemudian Indische Partij (Partai Hindia), partai politik pertama di Hindia Belanda berdiri di 1912. ISDV (Indische Sociaal Democratische Vereeniging), organisasi berideologi kiri pertama didirikan pada 1914, dan lain sebagainya.
Dari lapangan keagamaan tercatat kemunculan Muhammadiyah, misalnya, yang didirikan pada 1912. Pun muncul Persis (Persatuan Islam) pada 1920-an, dan lain sebagainya.
Dari kelompok kepemudaan yang berbasis kaum terpelajar sudah tentu muncul banyak organisasi. Selain Jong Java (1918) yang merupakan perubahan dari Tri Koro Dharma, sebutlah Jong Soematra Bond (1917), Jong Celebes, Jong Ambon, Jong Islamieten Bond (1924), Jong Batak, Jong Minahasa (1918), dan lain sebagainya.
Sejak era berdirinya BU boleh dikata tuntutan-tuntutan dan perlawanan terhadap kolonialisme Belanda selalu dilakukan terorganisir. Selain itu, juga mulai sering mengemuka adanya wawasan nasional yang pada perjalannya membentuk embrio nasionalisme Indonesia. Dua poin inilah sering disebut oleh para peneliti sejarah sebagai karakteristik yang membedakan antara perlawanan yang bersifat tradisional dengan yang modern.
Menyimak organisasi BU yang tumbuh dari kalangan aristokrat Jawa ini, kita juga bisa belajar perihal terjadinya transformasi kesadaran masyarakat Jawa. Benar bahwa proses transformasi ini barangkali saja dikritik nisbi berjalan cukup lama. Tapi dari kasus BU pulalah, sebenarnya dapat disimak bagaimana sejarah dan dinamika perkembangan diskursus nasionalisme Indonesia.
Penting dicatat, salah satu program utama BU di awal pendiriannya ialah “de harmonische ontwikkeling van land en volk van Java en Madura” (kemajuan yang harmonis bagi Nusa Jawa dan Madura).
Dari sini saja sangat jelas, program BU hanya mencakup masyarakat Jawa termasuk di dalamnya ialah Sunda dan Madura, juga belakangan memasuki akhir dekade tahun dua puluhan diperluas hingga Bali dan Lombok. Namun jelas program BU masih mengabaikan masyarakat pulau-pulau lainnya seperti Sumatra, Kalimantan, dan lainnya.
https://indonesia.go.id/assets/img/assets/1559287454_volksraad.jpg" />Perjuangan melalui Volksraad. Sumber foto: Istimewa
Sudah sejak kongres pertama di Yogyakarta, 3-5 Oktober 1909, sebenarnya dalam tubuh BU telah muncul perdebatan tajam. Tjipto Mangoenkoesoemo memberikan usulan supaya BU memperluas keanggotaan tidak hanya terbatas etnis Jawa semata, tetapi juga terbuka bagi semua “Anak Hindia” (Indiees) yang lahir, hidup, dan akan mati di tanah Hindia. Sejak masa awal BU, Tjipto telah menawarkan gagasan nasionalisme Hindia. Usulan itu ditolak oleh Radjiman Wediodiningrat.
Dalam kongres pertama itu terjadilah perpecahan antara Tipto dan Radjiman, dan berbuntut pengunduran diri Tjipto. Sejak pengunduran Tjipto, nisbi tidak lagi ditemukan perdebatan yang substansial. Barulah dua dekade berselang dalam rangka merespons perkembangan zaman, pada kongres kesembilan belas di tahun 1928, muncul usulan dari cabang Solo untuk memasukkan ide persatuan Indonesia dalam anggaran dasar.
Ya, dasawarsa ini ialah periode gelombang pasang kebangkitan nasionalisme Hindia yang mulai berganti penyebutan dengan istilah “nasionalisme Indonesia.” Usul cabang Solo ini disetujui oleh empat belas suara dan ditolak oleh dua belas suara. Hasilnya Pasal 2 Anggaran Dasar BU, selanjutnya berbunyi, “Tujuan BU ialah bekerja sama untuk mengembangkan secara selaras negeri dan Bangsa Jawa, Madura, Bali, dan Lombok, dan untuk mewujudkan cita-cita persatuan Indonesia.”
Dalam kongres kesembilan belas sebenarnya juga muncul ide progresif dari cabang Batavia. Seolah mengikuti Tjipto, cabang ini mengusulkan perhimpunan BU terbuka bagi semua “orang Indonesia.” Lagi-lagi ialah Radjiman, seperti pada kongres pertama dulu, yang kembali menolak kuat usulan tersebut.
Meski demikian kongres kesembilan belas nisbi masih menorehkan capaian lain. Merujuk Hans Van Miert dalam Dengan Semangat Berkorban, kongres juga memutuskan secara bulat untuk mengubah kata “pribumi” dalam anggaran dasar BU dengan kata “orang Indonesia.”
Menyimak tulisan Hans Van Miert, di sepanjang 1925 – 1935 terlihat sebagai tahun-tahun reorientasi dan reorganisasi Budi Utomo. Pada 1927 BU tercatat masuk wadah bersama PPPKI. Dalam forum Volksraad pada Januari 1930, BU juga menggabungkan diri dengan Fraksi Nasional. Meskipun begitu, kiprah BU--baik dalam PPPKI maupun Volksraad--tercatat kurang menonjol.
Sejak 1932 usaha reorientasi dan reorganisasi BU diteruskan dengan mengadakan fusi dengan PBI (Persatuan Bangsa Indonesia), suatu partai pimpinan Dr Sutomo. Program kerja organisasi disusun dalam kerangka Indonesia.
Fusi terjadi pada 1935, hasil fusi melahirkan Parindra (Partai Indonesia Raya). Dengan lahirnya Perindra maka berakhirlah kisah Budi Utomo sebagai organisasi pergerakan pertama di Indonesia.
Dalam konteks kekinian, apa yang penting dicatat ialah di sepanjang 1925 – 1935, Budi Utomo perlahan-lahan mulai meninggalkan ide nasionalisme Jawa dan menjangkah keluar, bertransformasi, menjadi nasionalisme Indonesia.
Sedangkan bicara jangkar utama dari “nasionalisme Jawa”—dalam istilah hari ini—ialah berarti bicara soal politik-identitas. Sekalipun istilah politik-identitas ketika itu belum menjadi kata kunci, jelas bahwa BU saat itu berpolitik menggunakan rumus tersebut.
Di sepanjang tahun 1925-1935 terlihat fenomena transformasi gagasan atau ide-ide di dalam perhimpunan BU. Gagasan atau ide Budi Utomo perihal nasionalisme Jawa jelas bersifat Jawa sentrisme, primordial, dan bercorak partikularistik. Namun sejalan dengan proses dinamika dan tukar gagasan di sepanjang dasawarsa tahun dua puluhan di abad ke-20 itulah, Budi Utomo akhirnya tiba pada penemuan ide nasionalisme Indonesia yang lebih konsensual, rasional, dan universal.
Proses penemuan nasionalisme Indonesia inilah pelajaran paling berharga dari kelahiran Budi Utomo, yang kini setiap 20 Mei diperingati sebagai Hari Kebangkitan Nasional. (W-1)