Indonesia.go.id - Revitalisasi Pancasila

Revitalisasi Pancasila

  • Administrator
  • Senin, 10 Juni 2019 | 17:00 WIB
IDEOLOGI
  Salam Pancasila usai upacara Peringatan Hari Lahir Pancasila di Jakarta, Sabtu (1/6/2019). Foto: ANTARA FOTO/Puspa Perwitasari

Sikap netralitas negara kepada semua agama secara konsekuen, termasuk kebijakan melarang politisasi agama serta nalar politik identitas tanpa terkecuali, bagaimanapun merupakan kata kunci dan sekaligus jalan tercepat bangsa Indonesia menuju kemajuan.

Bagi generasi yang tumbuh pada medio 80 - 90 pasti tak asing dengan istilah P4 dan Ekaprasetia Pancakarsa. Generasi ini tentu juga ingat, bagaimana di sekolah dulu pernah diwajibkan untuk menghafal 36 butir-butir Pancasila, yang kemudian telah dikembangkan oleh BP7 menjadi 45 butir.

Ekaprasetya Pancakarasa atau P4 ialah buah Ketetapan MPR No 2 Tahun 1978. Saat itu P-4 diharapkan jadi sarana untuk mewujudkan kesatuan pandangan dan gerak bagi bangsa Indonesia dalam menghayati dan mengamalkan nilai-nilai Pancasila.

Melalui Keppres No 10 Tahun 1979 lantas dibentuk pula sebuah badan untuk merumuskan kebijakan P-4. Populer disebut lembaga BP7, yaitu akronim dari Badan Pembinaan Pendidikan Pelaksanaan Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila. Selain di tingkat pusat, badan ini juga dibentuk di tingkat I dan II (provinsi dan kabupaten/kota).

Tafsiran Monolitik Orde Baru

Seperti diketahui di sepanjang Orde Baru, Pancasila bisa dikata ditafsirkan sebagai kumpulan norma atau etik. Kumpulan norma atau etik ini sedianya jadi panduan bersama bangsa Indonesia dalam berbangsa dan bernegara serta dalam penghayatan kehidupan sehari-hari. Bahkan saking semangatnya Orde Baru saat itu pernah terobsesi menciptakan model "Manusia Pancasila" atau sering disebut "Manusia Pancasilais."

Gagasan ini barangkali adalah buah refleksi filosofis Profesor Driyarkara. Seperti diketahui, pada Februari 1959 di Yogyakarta diselenggarakan seminar tentang Pancasila. Profesor Driyarkara membedah Pancasila dari tinjauan filsafat manusia.

Manusia Pancasila, oleh Driyarkara digambarkan sebagai "insan humanisme-religius-sosialistis," dan konsep inilah kemudian naga-naganya diadopsi sekaligus dijabarkan oleh Orde Baru menjadi konsep P4 dan Ekaprasetia Pancakarsa.

Soal karakteristik Negara Pancasila pun barangkali buah refleksinya. Bahwa, "Negara yang berdasarkan Pancasila bukanlah negara agama, tetapi bukan negara profan, sebab dengan Pancasila, kita berdiri di tengah-tengah" ujar Driyarkara.

Tugas negara berdasarkan Pancasila, lanjutnya, hanyalah memberi kondisi yang sebaik-baiknya pada hidup dan perkembangan religi. Dengan demikian oleh negara dapat dihindari bahaya-bahaya yang dapat timbul bila agama dan negara dijadikan satu. Demikianlah, garis besar pemikiran Driyarkara.

Memasuki tengah dasawarsa 1980-an, berpijak pada dinamika situasi politik dan sebagai upaya pengelolaan kehidupan politik saat itu, maka negara Orde Baru menempatkan Pancasila sebagai azas tunggal. Dengan disahkannya UU No 3 Tahun 1985 sebagai pengganti UU No 3 Tahun 1975, maka regulasi ini mengharuskan Pancasila menjadi asas tunggal dalam setiap organisasi di Indonesia.

Kebijakan ini tentu menyulut pro dan kontra. Itu sebenarnya biasa saja, sebuah kebijakan tak pernah bisa memuaskan semua kelompok. Toh demikian elemen-elemen besar dan penting sebagai struktur pembentuk masyarakat sipil, sebutlah NU dan Muhammadiyah, misalnya, saat itu setuju.

Sayangnya, praksis Pancasila di masa kuasa Orde Baru bisa dikata jauh panggang dari api. Rumusan Pancasila sebagai azas tunggal dan sekaligus ideologi terbuka tentu terlihat menjadi norma ideal pada dataran konsepsi, namun praktik riilnya justru jauh dari tataran itu.

Negara Orde Baru sebagai agen pembangunan justru gagal menjadi role model kepemimpinan nasional yang mengemban marwah Manusia Pancasilais. Sebaliknya Orde Baru dengan sentralisasi kekuasaan yang berdampak pada semakin merajalelanya praktik KKN (korupsi, kolusi, dan nepotisme), kemudian bahkan dianggap sebagai common enemy sehingga memantik gelombang gerakan reformasi 1998.

Implikasinya, pasca-Orde Baru dan di sepanjang Orde Reformasi, sejarah malah mencatat munculnya fenomena peminggiran Pancasila sebagai ideologi bangsa dalam ruang diskursus publik.

Merumuskan Ideologi Terbuka

Seperti telah diulas di atas, di sepanjang Orde Baru dan berlanjut hingga pasca-Orde Baru, selalu digarisbawahi: Indonesia adalah bukanlah negara agama, tapi sekaligus juga bukanlah negara sekular.

Posisi Negara Pancasila sebagai berada di atas semua golongan tentu ialah posisi konstitusional seturut UUD 1945. Namun sialnya, posisi "abu-abu" ini, seperti dulu sering dikritik oleh banyak pihak, pasca-Orde Baru justru membawa konsekunsi pada munculnya ambiguitas dan tumpang tindihnya posisi hubungan antara agama dan negara.

Pasca-Orde Baru tercatat muncul tren politik-identitas berbasis agama dan etnis atau kombinasi di antara keduanya dengan membawa kecenderungan praktik diskriminasi dan intoleransi kepada selainnya (the other).

Bahkan lebih jauh, kecenderungan ini telah memunculkan gejala "anomali" regulasi di tingkat daerah. Tak sedikit bermunculan Perda yang notabene hanya membawa preferensi nilai-nilai dari agama tertentu. Dikenal sebagai "Perda Syariah," tercatat per April 2012 setidaknya terdapat 23 Provinsi dan 181 kabupaten/kota yang regulasinya dirumuskan berdasarkan kaidah agama tertentu saja.

Sikap netralitas negara terhadap agama, tanpa koridor pemisah yang tegas antara agama dan negara, ternyata bukanlah ide yang mudah diimplementasikan. Di sini patut diingat apa yang pernah disampaikan oleh Menteri Pendidikan dan Kebudayaan periode 1977-1982, Daoed Joesoef.

Dalam memoarnya "Dia dan Aku: Memoar Pencari Kebenaran" ini tokoh dengan latar belakang Muslim ini menulis, ia pernah berusaha keras meyakinkan Presiden Soeharto agar negara bukan hanya bersikap netral pada agama, tapi juga membuat garis pemisah yang tegas antara agama dan negara.

Selain itu, Daoed Joesoef juga pernah mengusulkan pada Pak Harto agar perayaan semua agama dapat diselenggarakan di Istana Negara dan bukan hanya agama tertentu saja. Singkat kata, Daoed Joesoef ingin Indonesia mengikuti langkah Turki di bawah kepemimpinan Kemal Atartuk yang sekularisme dan netral pada agama. Usulan Daoed Joesoef jelas bertepuk sebelah tangan.

Menyadari demokrasi tumbuh tanpa seiring sejalan dengan nilai-nilai pluralisme dan toleransi, maka pada awal 2018 Presiden Jokowi menginisiasi sebuah badan baru sebagai pengganti BP7, hampir dua dasawarsa sejak pembubarannya. Namanya ialah BPIP (Badan Pembinaan Ideologi Pancasila). Lembaga ini merupakan revitalisasi dari UKP-PIP (Unit Kerja Presiden Pembinaan Ideologi Pancasila), yang dibentuk di tahun 2017.

Lembaga ini bertugas membantu presiden dalam merumuskan arah kebijakan pembinaan ideologi Pancasila, melaksanakan koordinasi, sinkronisasi, dan pengendalian pembinaan ideologi Pancasila secara menyeluruh dan berkelanjutan.

Bicara rumusan revitalisasi Pancasila tentu mensyaratkan adanya kritik ideologi terhadap implementasi di era sebelumnya. Jika selama Orde Baru Pancasila ditafsirkan secara monolitik, dimplementasikan secara top down, dan dibumikan dengan sikap antikritik, maka kebijakan revitalisasi Pancasila kali ini terang tidak boleh dirumuskan dengan cara-cara itu.

Pasalnya, Pancasila sebagai ideologi bangsa diharapkan bukan saja tumbuh menjadi "civic religion"--yaitu jadi titik temu dan titik tumpu universal bagi keragaman agama dan kepercayaan--namun juga diharapkan bisa dirumuskan sebagai ideologi terbuka yang berfungsi sebagai penuntun bersama bagi bangsa Indonesia yang majemuk pada titik tuju yang sama.

Dengan tumbuh sebagai ideologi terbuka, diharapkan Pancasila nantinya dapat menjadi common platform dan sekaligus manifestasi dari rasionalitas publik, yang secara simultan juga berfungsi sebagai wacana kritis itu sendiri. Dengan demikian Pancasila sebagai ideologi terbuka bisa menjadi titik pertemuan antara keragaman agama dan kepercayaan, etnis dan adat istiadat, norma sosial, dan bahkan antarperbedaan pelbagai kepentingan politik-ekonomi yang beragam.

Sebagai penutup tulisan. Menyimak situasi dan perkembangan belakangan ini, rasa-rasanya ialah sebuah keharusan untuk segera mengakhiri tren politik identitas dan menempatkan kembali Pancasila sebagai episentrum berbangsa dan bernegara, di mana sikap netralitas negara harus secara tegas dan konsekuen diberikan kepada semua agama.

Artinya, bicara tugas utama dari BPIP ialah bagaimama mengakhiri ambiguitas posisi agama dan negara dalam kredo Pancasila itu sendiri. Isu menempatkan kembali secara proporsional terkait posisi agama terhadap negara atau negara terhadap agama, bagaimanapun ialah salah satu persoalan krusial yang patut dirumuskan segera pemecahannya.

Sikap netralitas negara kepada semua agama secara konsekuen dengan disertai pelarangan politisasi agama dan nalar politik identitas, naga-naganya merupakan kata kunci penting bagi Indonesia menuju kemajuan. (W-1)

Berita Populer