Indonesia.go.id - Jalan Hidup Anak-Anak Rohani Pram

Jalan Hidup Anak-Anak Rohani Pram

  • Administrator
  • Sabtu, 31 Agustus 2019 | 05:37 WIB
MAGSAYSAY AWARD
  Pramoedya Ananta Toer. Foto: Dok. Probadi Pramoedya Ananta Toer

Sekalipun Pram baru meninggal 2006, sesungguhnya ia telah meninggal saat karya-karyanya telah selesai ditulis dan diterbitkan. Ya sebagai anak rohani, karya-karya sastra Pram mempunya jalan hidupnya sendiri, sebagaimana Bumi Manusia dan Perburuan yang ditafsir ulang oleh dua sutradara menjadi produk cinema.

Nama Pramoedya Ananta Toer kini kembali bersinar. Pasalnya, dua karya novelnya, yaitu Bumi Manusia dan Perburuan, diadaptasi ke layar lebar. Film Bumi Manusia disutradarai Hanung Bramantyo, sedangkan film Perburuan oleh Richard Oh. Kedua film yang diadaptasi dari novel sejarah itu diproduksi oleh Falcon Pictures.

Bicara ketokohan dan karya-karya Pramoedya Ananta Toer, susah untuk tak mengakui bahwa Pram—demikian ia biasa dipanggil—merupakan penulis yang sangat produktif sekaligus sastrawan besar. Terlepas setuju atau tidak soal pilihan ideologinya, kisah dan jalan hidupnya sendiri bisa dikata sangat epik. Kisah hidup maupun karyanya jelas meninggalkan kenangan tersendiri bagi masyarakat Indonesia.

Tengoklah, hampir seperempat abad yang lalu. Tepatnya, pada 5 September 1995, Pramoedya Ananta Toer menerima Ramon Magsaysay Award untuk kategori Journalism, Literature and Creative Communication arts. Sejarah mencatat, pemberian penghargaan paling bergengsi laiknya Nobel di tingkat Asia ini telah memantik hingar-bingar dan polemik prokontra di Indonesia.

Daniel Dhakidae (1995), melalui esainya Kesusatraan, Kekuasaan, dan Kebudayaan Suatu Bangsa, mengatakan bahwa sejak 1960-an bisa dikata belum pernah terjadi, muncul suatu reaksi pada peristiwa sastra yang berlangsung dengan intensitas yang sangat tinggi. Sebagai suatu reaksi boleh dikatakan fenomenal. Dhakidae mencatat, hingga awal September 1995 tak kurang dari 70 artikel, berita, transkripsi wawancara radio, surat pernyataan, yang merespons rencana pemberian Ramon Magsaysay Award kepada Pram.

Ya, ketika itu sebanyak 26 tokoh seniman dan sastrawan diberitakan melayangkan petisi memprotes rencana RMAF, Ramon Magsaysay Award Foundation itu. Semula mereka tak setuju, Pram memperoleh penghargaan itu. Tapi selang beberapa hari, Taufiq Ismail, salah satu pemrakarsa petisi, meralat berita. Menurutnya bukan menuntut 'pencabutan', tetapi sekadar mengingatkan perihal 'siapakah sejatinya Pramoedya itu'. Pemberian Ramon Magsaysay Adward kepada Pram dikatakan sebagai suatu kecerobohan.

Lanjutnya, banyak orang tidak mengetahui reputasi Pram dulu. Selain merupakan juru bicara utama dari Lekra, sebuah organisasi kebudayaan underbow PKI, Pram melalui tulisan-tulisan dan pidato-pidatonya juga dianggap sangat garang mengganyang musuh-musuh politiknya. Pram, lanjut Mochtar Lubis, saat itu telah memimpin penindasan sesama seniman yang tak sepaham dengannya.

Dalam berbagai opini di media, para penandatangan petisi 26 ini merasa sebagai korban dari kondisi di era Demokrasi Terpimpin. Mereka menuntut Pram bertanggung jawab, bukan hanya harus mengakui, namun juga mau meminta maaf atas kesalahannya karena memberangus kebebasan dan kreativitas di zaman itu.

Bergerak lebih jauh, Mochtar Lubis bahkan mengancam RMAF. Lubis hendak mengembalikan Magsaysay Award yang diterimanya di tahun 1958, jikalau Pram tetap akan dianugerahi hadiah yang sama. Lubis juga mengatakan, HB Jassin pun hendak mengembalikan hadiah Magsaysay yang diterimanya. Meski pada pemberitaan berikutnya, HB Jassin malah mengatakan hal lain sama sekali dari pernyataan Lubis.

Pramoedya tentu menyangkal semua tuduhan itu.  Laiknya pendekar yang bertarung dikeroyok oleh duapuluh enam pendekar lain, Pram sendiri menilai segala tulisan dan pidatonya di masa lalu itu senyatanya tidak lebih dari sebuah polemik biasa. Dia juga menyangkal terlibat pelbagai aksi yang berlebihan, seperti membakar buku-buku yang dianggap tidak sehaluan dengan perspektif politik negara di zaman itu.

Kembali merujuk artikel Dhakidae. Menurutnya, respons masyarakat saat itu setidaknya terbagi ke dalam empat reaksi. Untuk memahami empat reaksi ini, Dhakidae sengaja membangun kerangka psikologis tentang perlunya keseimbangan sikap antara ‘mengingat’ (memoria) dan ‘melupakan’ (oblivio) sebagai syarat bagi kemunculan pribadi dan masyarakat yang sehat.

Menurutnya, hanya dengan perimbangan yang baik antara mengingat dan melupakan, maka pribadi seseorang akan tumbuh sehat. Demikian juga masyarakat yang sehat ialah selalu merupakan produk yang seimbang antara memorizing dan forgetting. Pasalnya, lanjut Dhakidae, mengingat sesuatu tanpa henti adalah obsesi, dan mengingat secara obsesif selalu berarti sikap tidak waras. Bencana yang terjadi secara sosial dan politik senantiasa lahir dari sikap yang obsesif dan tidak waras itu.

Dalam kerangka psikologis inilah, kelompok pertama adalah sebagaimana diwakili oleh ke-26 sastrawan penandatangan petisi yang menolak rencana pemberian Magsaysay Award oleh RMAF, oleh Dhakidae jelas mewakili sikap memoria semata, tanpa oblivio.

Kelompok kedua tentu berbeda pendapat. Ia adalah sisi sebaliknya dari kelompok pertama. Mereka ini mewakili sebuah generasi yang lahir setelah Peristiwa G30S1965. Mengambil representasi pada tulisan Darmaningtyas, Gosip Para Seniman, Kompas 14 Agustus 1995, Dhakidae mencatat: generasi muda yang lahir setelah 1965 tentu terheran-heran menyimak pernyataan sejumlah seniman dan budayawan yang menolak pemberian Magsaysay Award kepada Pramoedya.

Menurut Darmaningtyas, yang dilakukan 26 seniman dan sastrawan itu merusak konstruksi berpikir kaum muda. Mengapa? Petisi itu berlawanan dengan arus besar yang mengharapkan rekonsiliasi dengan sejarah masa lalu. Darmaningtyas juga mengkritik posisi mereka yang justru telah menjadi seorang hakim yang lebih otoriter dari rezim Orde Baru. Akibatnya sulit melakukan pembedaan antara jiwa seniman atau sastrawan dengan segudang prasangka kebenarannya sendiri yang mereka rumuskan, keluhnya.

Darmaningtyas bahkan sinis menuding, bahwa seluruh kegaduhan polemik ini mencerminkan proses berpikir dan kreativitas seniman atau sastrawan itu sendiri. Yang mana ide atau gagasan besar tidak ditandingi dengan munculnya ide atau gagasan besar yang lain, melainkan justru hanya dengan gosip.

Ketiga, masih dari generasi sastrawan yang mengalami fase 1960-an, namun bersikap berbeda dengan mereka penandatangan petisi. Berjajar di sini sebutlah seperti Goenawan Mohamad, Arief Budiman, Satyagraha Hoerip, dan lainnya. Posisi mereka berusaha menjaga keseimbangan antara kedua sikap ekstrim di atas. Kelompok ini berusaha sepenuhnya menjaga keseimbangan antara memoria dan oblivio.

Sebagai seniman, sastrawan dan akademisi yang mengalami peristiwa di tahun 1960-an, mereka tentu masih ingat dengan situasi dan kejadian di masa itu. Demikian pernyataan mereka: "Kami tidak memungkiri bahwa di awal tahun 1960-an, di masa 'Demokrasi Terpimpin', Pramoedya Ananta Toer ikut aktif dalam memarakkan suasana intoleran dan represif di dunia seni, sastra dan ide-ide. Negara telah meniadakan hak sejumlah sastrawan, seniman, dan cendekiawan untuk berkarya."

Namun, kelompok ini juga sadar bahwa apa yang dilakukan pada tahun l960-an itu, kini juga masih diteruskan oleh negara Orde Baru dengan korban yang berbeda. Mengulang kekelaman yang terjadi di masa lalu hanya akan menjadi suatu tragedi sejarah. Oleh karenanya, mengingatnya kembali secara obsesif hanya akan mengganggu kewarasan dan kreativitas. Sehingga daripada mempertahankan memoria, merujuk Dhakidae, bagi kelompok ini akan lebih baik sekiranya melemparkan sejarah kelam ini ke dalam oblivio.

Sementara, sejauh sikap menyangkut rencana pemberian Magsaysay Award oleh RMAF kepada Pram, dikatakan: Hadiah tersebut layak diberikan kepada Pramoedya Ananta Toer, karena posisinya yang penting dalam penulisan prosa Indonesia sejak awal kemerdekaan.

Sedangkan posisi reaksi keempat, khusus diwakili oleh Bur Rasuanto. Sastrawan ini juga penandatangan Manifesto Kebudayaan, yang berarti juga merasakan serangan-serangan bernada polemis dari Pram di masa lalu. Namun Bur memilih sikap tidak melibatkan diri pada pilihan mendukung atau menolak. Dia sengaja menempatkan persoalan ini pada medan refleksi filosofis bagi Pram sendiri.

Terkait hadiah sastra, Bur mengakui tak ada satupun pengarang Indonesia sekarang yang lebih pantas mendapat penghargaan intemasional seperti Magsaysay Award, selain Pram. Namun sekiranya yang dipersoalkan ialah "moralitas" Pram di masa lalu, dikatakannya, "Pram memang seorang teman yang pernah menimbulkan kesusahan kepada banyak sekali seniman dan pemikir bebas di Tanah Air. Tetapi Pram adalah seorang mahaputra sastra Indonesia."

Untuk kesalahan di masa lalu itu, Pram telah membayar sangat mahal; dipenjarakan tanpa melalui proses peradilan dan kemudian dikirim menjadi "orang rantai" ke Pulau Buru. Lebih jauh, menurut Bur, Magsaysay Adward bukanlah moment of reward, melainkan justru moment of trusth, yaitu momen pengadilan bagi Pram dalam arti ia harus mengadili dirinya sendiri.

"Kalau Pram menolak, berarti dia masih konsisten dan konsekuen dengan cita-cita dan pandangannya yang lama. Tapi, kalau Pram menerimanya—dan dia memang menerimanya—artinya Pramoedya tidak lagi konsisten, ia telah meninggalkan paham lamanya dan mengakui bahwa kampanye yang dilakukannya dulu keliru. Tentu ada kemungkinan lain, yakni ia munafik. Kemungkinan yang manapun, momen seperti ini cepat atau lambat tak terelakkan akan datang dan harus dihadapinya, justru karena Pram adalah seorang sastrawan besar,”

“Seorang politikus”, demikian lanjut Bur, “Pertama-tama diharapkan jujur terhadap masyarakat, tapi seorang seniman pertama-tama harus jujur terhadap diri sendiri."

Demikianlah, lukisan kontroversi prokontra terkait pemberian Magsayasay Award kepada Pramoedya Ananta Toer. Momen itu telah terjadi hampir duapuluh lima tahun yang lalu atau telah menginjak seperempat abad berselang.

Kini hampir seperempat abad berlalu sejak keriuhan polemik seputar Magsaysay Award, dua film yang diadaptasi dari dua novel Pram, Perburuan dan Bumi Manusia, tengah ramai di putar di bioskop-bioskop. Menariknya, sudah tidak lagi muncul kegaduhan penolakan masyarakat terkait film tersebut, sekalipun pemutaran film itu tentu secara simultan juga mengingatkan masyarakat kepada sosok sastrawan besar tersebut.

Matilah Sang Pengarang

Pada titik ini penting diingat sebuah artikel berjudul The Death of Author. Ide ini dilontarkan Roland Barthes pada 1968. Dikenal sebagai pelopor kajian Semiotika, Barthes mengatakan ketika penulis selesai menulis sebuah teks dan teks itu diterbitkan, maka penulis itu dengan sendirinya telah terputus atau tidak terkait lagi dengan teks yang dibuatnya. Pasalnya ketika teks itu sampai ditangan pembaca, maka penulis sebenarnya tidak memiliki kuasa atas teks yang dibuatnya. Pembaca memiliki otonomi dan bebas menafsirkan teks yang dihadapinya. Terlebih-lebih, sebuah teks sastra.

Artinya, tidak peduli sehebat apapun pesan yang hendak disampaikan oleh penulis kepada pembacanya, jika pembaca tidak bisa menangkap pesan itu atau bahkan justru menafsirkan ulang pesan tersebut, maka posisi pengarang sebenarnya tak punya kuasa sama sekali untuk menentukan makna teks yang dibuatnya tersebut. Ya, matilah sang penulis! Matilah Sang Pengarang.

Pramoedya tentu menyadari itu. Dalam sebuah wawancara yang dimuat dalam buku Pram Melawan!—Dari Perkara Sex, Lekra, PKI, Sampai Proses Kreatif, Pram pernah mengatakan:

“Karya sastra itu multi-interpretable. Bisa dilihat di sini, di situ. Jadi, gimana kepentingan yang baca. Atau sejarah pribadi yang baca atau yang menanggapi. Buku yang sudah saya terbitkan itu anak rohani saya. Dia mempunyai jalan hidupnya sendiri. Saya sudah nggak mencampuri.”

Kini dalam arti harafiah, sastrawan besar yang telah menghasilkan lebih dari 50 karya dan diterjemahkan ke dalam lebih dari 42 bahasa asing itu, pada 30 April 2006 juga telah berpulang. Pramoedya meninggal dunia pada usia 81 tahun.

Sekalipun Pram baru meninggal di tahun 2006, sesungguhnya ia telah meninggal saat karya-karyanya selesai ditulis. Ya, sebagai anak rohani Pram, karya-karya sastranya itu mempunyai jalan hidupnya sendiri, sebagaimana Bumi Manusia dan Perburuan yang ditafsir ulang oleh dua sutradara menjadi sebuah produk cinema. Selamat menonton! (W-1)

Berita Populer