Indonesia.go.id - Meningkatkan Sistem Imun, Mencegah Virus Masuk

Meningkatkan Sistem Imun, Mencegah Virus Masuk

  • Administrator
  • Kamis, 10 September 2020 | 05:29 WIB
COVID-19
  Warga berolahraga menjadi upaya meningkatkan imunitas tubuh. Foto: ANTARA FOTO/M Risyal Hidayat/pras.

Ada tiga mekanisme respons imun untuk mengeliminasi infeksi virus, yaitu melalui antibodi, dengan mekanisme sitotoksik, dan melalui interferon.

Dunia pada awal 2020 digegerkan dengan kabar mewabahnya penyakit yang berasal dari binatang kelelawar dan menjangkiti wilayah Wuhan, Ibu Kota Provinsi Hubei di Tiongkok. Virus itu yang di kemudian hari disebut sebagai corona virus disease (Covid)-19 itu tak hanya menjangkiti Wuhan. Memasuki bulan ke delapan, Covid-19 telah menginvasi 216 negara dengan korban terkonfirmasi mencapai 21,4 juta orang serta 771 ribu lainnya meninggal. Di Indonesia sendiri, hingga 16 Agustus 2020, sebanyak 139.549 orang terkonfirmasi positif meski 93.103 lainnya berhasil disembuhkan.

Virus SARS COV-2 seperti disebutkan Badan Kesehatan Dunia (WHO) merupakan jenis self-limiting disease yang menyerang sistem kekebalan (imunitas) tubuh. Lalu seperti apa mekanisme kerja sistem kekebalan tubuh manusia? Sistem imunitas atau biasa disebut sebagai imun adalah sistem daya tahan tubuh terhadap serangan substansi asing yang masuk ke tubuh kita.

Substansi asing tersebut bisa berasal dari luar maupun dalam tubuh kita sendiri. Umumnya substansi asing dari eksogen berupa bakteri, virus, parasit, jamur, debu, dan serbuk sari. Sedangkan substansi asing dari dalam tubuh berupa sel-sel mati atau sel-sel yang berubah bentuk dan fungsinya. Substansi asing tadi disebut sebagai imunogen atau antigen.

Di samping itu, respons imun juga dibagi menjadi imun alami (innate immunity) dan imun adaptif (adaptive immunity). Respons imun alami akan terjadi pada awal terpaparnya imunogen ke tubuh kita. “Apabila sistem imun alami ini bisa mempertahankan tubuh dari serangan imunogen, maka kita tidak akan menderita sakit. Sebaliknya, apabila sistem imun alami tidak bisa bertahan terhadap serangan imunogen, maka tubuh kita akan sakit atau terinfeksi,” kata Guru Besar Biologi Farmasi Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta Suwidjiyo Pramono.

Sel-sel tubuh yang bertugas dalam sistem imun adalah sel-sel darah putih (leukosit). Dalam menjalankan tugasnya leukosit terbagi dua kelompok. Kelompok pertama berperan dalam sistem imun alami, antara lain, sel makrofag, sel neutrofil, sel eosinofil. Lainnya adalah sel dendritik yang disebut sel antigen presenting cells (APC). Sel-sel APC merupakan sel yang bertugas mengenali dan mengolah imunogen, yang nantinya akan diserahkan ke sel-sel yang berperan dalam respons imun adaptif. Selain sel APC, ada sel natural killer (NK) yang berperan dalam respons imun alami.

Kelompok sel kedua merupakan sel-sel yang berperan dalam respons imun adaptif, yaitu sel limfosit B (yang menghasilkan antibodi) dan sel limfosit T yang berperan menghasilkan sitokin. Sitokin ini akan mengaktifkan sel-sel yang berperan dalam sistem imun untuk lebih aktif dalam mempertahankan tubuh terhadap serangan mikroba yang sifat infektifnya tinggi, seperti bakteri gram negatif, bakteri gram positif, dan virus.

 

Tiga Respons Imun

Menurut Guru Besar Fakultas Farmasi UGM Ediati Sasmito, ketika virus menginfeksi seseorang (inang), artinya virus tersebut menyerang sel-sel pada tubuh inang sehingga virus tersebut bertahan hidup dan memperbanyak diri (bereplikasi) di dalam sel inang. Secara umum, ada tiga mekanisme respons imun untuk mengeliminasi infeksi virus, yaitu melalui antibodi, dengan mekanisme sitotoksik, dan melalui interferon.

Pada mekanisme antibodi, sebelum masuk menginfeksi ke dalam sel inang, virus dapat disingkirkan oleh antibodi. Antibodi adalah suatu protein yang secara spesifik mengenali antigen, termasuk virus, dan akan saling mengikat. Ikatan antibodi dengan virus akan membasmi virus dengan cara, misalnya, antibodi menetralisasi virus sehingga virus tidak lagi bisa menginfeksi sel inang. Adapula beberapa antibodi dapat bekerja sekaligus sehingga partikel virus berlekatan menjadi agregat atau disebut sebagai aglutinasi dan menjadi target yang jauh lebih mudah dikenali oleh sel-sel dalam sistem imun.

Untuk mekanisme sitotoksik terjadi apabila virus sudah masuk ke dalam sel inang dan sel-sel sistem imun tidak dapat melihat atau mendeteksi keberadaan virus tersebut. Sehingga tubuh tidak tahu jika sel inang telah terinfeksi. "Untuk mengatasi hal tersebut, sistem imun memiliki suatu metode yang mampu memperlihatkan apa yang ada di dalam suatu sel dengan menggunakan suatu molekul protein yang dinamakan Class I Major Histocompatibility Complex (MHC)," kata Ediati.

Molekul ini bertugas mempresentasikan potongan protein (peptide) hasil produksi virus di dalam sel ke permukaan sel. Salah satu jenis sel limfosit T, yaitu sel T sitotoksik, mampu mengenali MHC pada sel yang telah terinfeksi virus. Proses interaksi sel T dengan MHC ini akan memicu sel T memproduksi senyawa yang akan membunuh sel yang terinfeksi virus tersebut.

Namun demikian, virus memiliki kemampuan beradaptasi yang sangat tinggi, sehingga akhirnya juga dapat meloloskan diri dari deteksi oleh sel T. Misalnya dengan cara menekan molekul MHC. Di sisi lain, sistem imun juga memiliki sel NK yang dapat mendeteksi sel yang memiliki jumlah molekul MHC jauh lebih sedikit dari normal. Sel NK ini juga akan menyasar sel tersebut yang terinfeksi virus tersebut dengan cara yang mirip dengan sel T sitotoksik.

Selain dengan mekanisme sitotoksik, sel inang yang terinfeksi virus tersebut akan memproduksi dan melepaskan molekul protein yang disebut interferon menghambat replikasi virus di dalam sel inang. Selain itu, interferon juga berperan sebagai molekul sinyal yang akan memperingatkan sel-sel sehat di sekitar sel yang terinfeksi akan keberadaan virus.

Sel-sel di sekitar sel yang terinfeksi ini akan bersiaga dengan meningkatkan jumlah MHC kelas I pada permukaannya. Sehingga dapat diidentifikasi oleh sel T yang akan menarget sel tersebut, yang terinfeksi virus, dengan cara yang mirip dengan sel T sitotoksik.

 

 

 

Penulis: Anton Setiawan
Redaktur: Eri Sutrisno/Elvira Inda Sari
Redaktur Bahasa: Ratna Nuraini