Indonesia.go.id - Kehe Daing, Laguna Tersembunyi di Sudut Kakaban

Kehe Daing, Laguna Tersembunyi di Sudut Kakaban

  • Administrator
  • Kamis, 19 Desember 2024 | 12:46 WIB
WISATA
  Laguna Kehe Daing, taman air tersembunyi di kawasan Derawan, Kalimantan Timur. JADESTA
Perairan Kehe Daing terhitung dangkal dengan air jernih berwarna biru kehijauan. Letak laguna ini membelakangi Danau Kakaban yang terkenal.

Setiap daerah di Indonesia menyimpan potensi keindahan alam yang menarik untuk dikunjungi. Kehe Daing adalah satu di antaranya yang terletak di Kakaban, pulau tak berpenghuni seluas 774,2 hektare (ha) yang berada di gugus Kepulauan Derawan, Kecamatan Maratua, Kabupaten Berau, Kalimantan Timur. Kakaban merupakan satu dari beberapa pulau yang berada di Kepulauan Derawan. Sedikitnya, ada 3 pulau lainnya yang sudah sangat terkenal selain Kakaban di gugus Kepulauan Derawan, yakni Pulau Maratua, Derawan, dan Sangalaki.

Kakaban terbentuk dari gugus batu karang melingkar atau atol dan terdapat laguna atau air laut yang terperangkap di tengah pulau karang. Laguna tadi membentuk danau berair payau, yang rasanya antara asin dan tawar dengan biota terkenalnya yaitu ubur-ubur (jellyfish) oranye tak bersengat yang sangat langka--hanya ada di dua tempat di dunia. Itu sebabnya pada 2004, Danau Kakaban ditetapkan sebagai kawasan warisan dunia oleh Organisasi Pendidikan, Ilmu Pengetahuan dan Kebudayaan Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNESCO).

Ada beberapa jenis ubur-ubur yang hidup di Danau Kakaban. Yakni, ubur-ubur terbalik (Cassiopea ornata) dengan ukuran 15--20 sentimeter (cm) dan ubur-ubur bulan (Aurelia aurita) yang ukurannya 5--50 cm. Atau ubur-ubur kotak (Tripedalia cystophora) yang seukuran ujung jari telunjuk atau sekitar 7--10 milimeter (mm) dan ubur-ubur totol (Mastigias papua) seukuran 1--20 cm.

Kakaban yang letaknya di Kampung Payung-Payung dan menghadap Laut Sulawesi tak hanya dikenal dengan danau payau berusia 2 juta tahun lampau serta ubur-uburnya. Di sana, terdapat pula laguna unik yang posisinya menjorok ke pesisir pulau, namanya Kehe Daing.

Kendati berada di pulau yang sama, ada perbedaan mencolok antara Danau Kakaban dengan Laguna Kehe Daing. Jika Danau Kakaban berair payau, sedikit keruh, memiliki luas 500 ha atau dua pertiga dari Pulau Kakaban dan dikelilingi tebing karang terjal, maka tidak demikian dengan kembarannya. Kehe Daing yang posisinya membelakangi Danau Kakaban justru berair jernih biru kehijauan dikelilingi oleh rindangnya pepohonan seperti sagu (Metroxylon sagu), merbau (Intsia bijuga), dan mangrove.

Bentuk Kehe Daing mirip aliran sungai, yang memanjang sejauh sekira 2 kilometer dengan perairannya yang dangkal, sekitar 1,5--2 meter. Dilihat dari udara, laguna ini seperti nyaris menyatu dengan sisi laut dan hanya dipisahkan oleh daratan memanjang.

Rasa airnya asin seperti air laut. Maklum saja karena bersumber dari rembesan air laut yang menyusup melewati celah sempit menyerupai lubang kecil. Bentuk lubang kecil tadi baru bisa dilihat dengan mata telanjang saat air laut sedang surut dan sedikit sulit untuk dilewati oleh orang dewasa.

Lubang itu yang melatari penyebutan nama laguna jernih tersebut, lantaran dalam bahasa suku Bajau yang mendiami Kepulauan Derawan, "kehe" berarti lubang dan "daing" adalah ikan. Jadi, Kehe Daing artinya adalah lubang ikan. Berhubung Kehe Daing terletak di pulau tak berpenghuni yang dikelilingi oleh hutan belantara dan perairan, maka akses satu-satunya adalah melalui jalur laut.

Pengunjung dapat menumpang perahu cepat (speedboat) seharga Rp150.000 per orang yang berangkat dari Pelabuhan Tanjung Batu, Berau ke Pulau Derawan dan transit di Kakaban dengan waktu tempuh 30--45 menit. Atau dari Pelabuhan Tanjung Redeb ke Kakaban dan Maratua dengan tarif Rp350.000. Jika berangkat secara rombongan maksimal 16 orang bisa menyewa speedboat seharga Rp3 juta.

Apabila akses masuk ke Danau Kakaban telah dilengkapi oleh dermaga apung serta jalan kayu sepanjang 400 meter yang diresmikan oleh Bupati Berau Sri Juniarsih Mas pada 20 Juni 2024 lalu, maka tidak demikian halnya dengan Laguna Kehe Daing sebab untuk memasuki kawasan ini hanya bisa melalui tangga kayu yang digunakan sewaktu air laut sedang pasang. Kalau surut, pengunjung bisa mencoba masuk lewat lubang kecil asalkan sesuai dengan ukuran tubuh pengunjung.

Oh iya, sejak beberapa bulan terakhir setiap pengunjung yang ingin menikmati Kehe Daing akan dikenai retribusi sebesar Rp30.000 per orang dan angka ini sungguh setimpal dengan kepuasan yang didapat oleh pengunjung. Sebab, kita bisa berenang sepuas hati mengitari Kehe Daing yang sunyi dan hanya terdengar kicau burung dan sayup-sayup debur ombak.

Selain berenang dan menyelam, pengunjung juga bisa melakukan aktivitas snorkeling melihat ke dasar laguna yang berisi terumbu karang dan ikan-ikan hias aneka warna. Kalau air laut sedang surut, maka debit di laguna pun ikut susut dan suasana itu membuat pengunjung bisa menyaksikan butiran-butiran pasir putih di tepian laguna, mirip sekali seperti pantai. 

Sebelum berwisata mengunjungi Pulau Kakaban dengan pesona Kehe Daing dan Danau Kakaban, pengunjung harus mengetahui beberapa hal. Pertama, karena pulau yang juga menjadi habitat penyu sisik (Eretmochelys imbricata) dan penyu hijau (Chelonia mydas) ini tidak berpenghuni, maka setiap pengunjung wajib mempersiapkan bekal makan dan minum yang memadai. Bawa juga obat antimabuk laut lantaran perjalanan melalui perairan yang berombak lumayan tinggi.

Jangan lupa membawa pakaian ganti jika ingin melakukan aktivitas berenang dan membawa tabir surya (sunblock) untuk mencegah kulit terbakar sinar matahari. Pilih waktu yang tepat untuk berkunjung, misalnya di pagi hari ketika cuaca belum terlalu panas dan air laut sedang surut. Pantau juga kondisi cuaca karena perjalanan ke Kakaban melewati perairan.

Bawa alas kaki agar terhindar dari pecahan terumbu karang di tepi pantai Kakaban dekat Kehe Daing atau tebing karang terjal sewaktu naik tangga kayu. Terakhir, jangan membuang sampah sembarang. Bawa kembali sampah yang dihasilkan keluar dari Pulau Kakaban agar lingkungan dan habitat yang hidup di dalamnya tetap lestari. Yuk kita berwisata di Indonesia saja!

Penulis: Anton Setiawan
Redaktur: Ratna Nuraini/Taofiq Rauf