Pemerintah Provinsi NTT menyiapkan tarian daerah untuk menyambut para kepala negara peserta KTT ke-42 ASEAN 2023 di Labuan Bajo. Ini sekaligus sebagai promosi budaya lokal kepada negara-negara ASEAN.
Pesawat berkelir putih dan merah berkode registrasi A-001 baru saja mendarat di Bandar Udara Komodo, Labuan Bajo, Manggarai Barat, Nusa Tenggara Timur pada Minggu (7/5/2023) sore. Burung besi buatan pabrik Boeing seri 737-800 varian Business Jet 2 itu merupakan kendaraan udara resmi Presiden Joko Widodo dan memiliki kode panggil Indonesia One.
Setelah dipandu menuju apron untuk parkir, pesawat yang digerakkan oleh dua mesin CFM56-7 itu pun akhirnya berhenti, tepat di antara pesawat sejenis milik maskapai nasional, Garuda Indonesia dan Hercules C-130 H milik TNI Angkatan Udara. Tangga pun telah disiapkan di sisi pintu utama pesawat. Begitu pula 17 personel Pasukan Pengamanan Presiden atau Paspampres berpakaian resmi upacara warna merah-putih telah membentuk barisan saling berhadapan.
Tepat di antara barisan itu tergelar karpet merah sepanjang sekira 10 meter. Salah satu ujung karpet tepat menyentuh anak tangga yang akan dilewati Presiden saat menuruni pesawat. Ujung lainnya dari karpet merah berada tepat di barisan 14 remaja putri berpakaian adat warna kuning berhias mahkota warna kuning di kepala yang dihiasi rangkaian bunga dilengkapi kain tenun songke sebagai penutup bawah.
Mereka adalah para penari “Tiba Meka” yang bertugas menyambut para kepala negara yang akan hadir pada Konferensi Tingkat Tinggi Perhimpunan Negara-Negara Asia Tenggara atau ASEAN tahun 2023 di Labuan Bajo, 9-11 Mei 2023. Tiba Meka adalah satu dari tiga jenis tarian daerah yang disiapkan oleh Pemerintah NTT selain Rangkuk Alu dan Caci untuk kepentingan penyambutan tamu KTT ASEAN ke-42 ini.
Sekitar 10 menit kemudian, Presiden Joko Widodo dan Ibu Negara Iriana Joko Widodo pun muncul dari balik badan pesawat. Presiden yang memakai kaus lengan panjang oranye dan Ibu Negara dengan pakaian bermotif tenun khas Manggarai menuruni tangga kemudian menyalami Menteri Luar Negeri Retno Marsudi. Ketika melewati barisan Paspampres yang berdiri tegak, terdengar teriakan dari Pemaka atau penari laki-laki disusul sahutan serentak dari para penari putri.
Suara gendang dan gong pun mulai mengalun menandai gerakan awal Tiba Meka oleh 14 penari yang berasal dari sejumlah sekolah menengah di kota yang terletak di pesisir Laut Flores tersebut. Presiden, Ibu Negara, dan Menlu sempat berhenti beberapa saat dan memperhatikan gerakan para penari. Ketika dilewati Presiden dan rombongan, para penari pun menampilkan gerakan kompak seperti bertepuk tangan sambil membungkukkan badan.
Presiden dan Ibu Negara kembali berhenti dan memperhatikan seluruh rangkaian tari yang memakan waktu sekitar tiga menit. Tercatat dua kali ke-14 penari mengulangi Tiba Meka sampai Presiden dan rombongan benar-benar pergi meninggalkan apron dan menuju bangunan utama bandara yang berbentuk seperti siluet komodo, kadal purba raksasa satu-satunya yang masih tersisa dan hidup damai di Labuan Bajo.
Memiliki Makna Mendalam
Tiba Meka sendiri memiliki makna penting bagi masyarakat Manggarai, suku utama di kota seluas 13,79 kilometer persegi dan berpenduduk 6.973 jiwa. Karena itu, oleh Wakil Gubernur NTT Josef Nae Soi, Tiba Meka dijadikan atraksi budaya lokal utama untuk disuguhkan kepada 10 kepala negara anggota ASEAN ketika menjejakkan kaki di Labuan Bajo.
Tiba Meka memiliki makna mendalam. Mengutip penjelasan antropolog dan misionaris kelahiran Zevenaar, Belanda, Jillis A.J Verheijen dalam Kamus Manggarai: Manggarai-Indonesia, dijelaskan arti dari tarian tersebut. Tiba artinya terima, menadah, tangkis, setuju, atau menyambut. Sedangkan meka artinya tamu. Sehingga, Tiba Meka artinya tarian menyambut atau menerima tamu.
Istilah Tiba Meka dapat dipakai untuk menyambut kelahiran anak manusia atau biasa disebut meka weru (tamu yang baru dilahirkan). Tiba Meka juga sebuah ritual tradisi nenek moyang suku Manggarai berupa tata cara ketika menyambut tamu penting atau agung supaya makin terjalin persaudaraan dan memupuk silaturahmi antara warga dan tamu yang berkunjung.
Sesuai sejarahnya, Tiba Meka awalnya ditarikan untuk menyambut kedatangan para misionaris yang menyebarluaskan agama Katolik di Pulau Flores dimana Labuan Bajo berada, ratusan tahun lampau. Tarian ini terus dipertahankan termasuk saat menyambut kunjungan uskup dan imam Katolik yang baru ditahbiskan, atau tamu-tamu penting lainnya.
Menurut Ayuni Praise, pelatih tari Tiba Meka untuk perhelatan kali ini, tarian Tiba Meka bermakna ungkapan kegembiraan masyarakat Labuan Bajo dan Manggarai Barat karena dikunjungi oleh 10 kepala negara ASEAN. Perlu diketahui, ASEAN adalah kawasan yang disebut oleh Bank Dunia sebagai kekuatan ekonomi terbesar kelima di dunia pada 2022 setelah Amerika Serikat, Tiongkok, Jepang, dan Korea.
Sebagai bentuk penghormatan, kata Ayuni, para penari di ujung tarian akan menyuguhkan sirih pinang kepada tamu. Suguhan itu diletakkan di dalam wadah bernama lopa. Selama menari, mereka wajib menampilkan ekspresi gembira dengan raut penuh senyum sebagai bentuk terima kasih karena sudah berkunjung ke Labuan Bajo dan Manggarai.
Ayuni menjelaskan, kostum wajib bagi para penari yaitu mahkota kepala (bali belo), baju adat Manggarai bernama mbero dipadu tenun ikat songke. Sejatinya, seorang Pemaka juga dilengkapi dengan sebilah sundang, yakni sebilah parang panjang dan tajam, senjata khas suku Manggarai. Bisa juga diganti dengan kope banjar atau parang biasa maupun keris. Namun, karena alasan keamanan, benda-benda tadi tidak disertakan saat menari Tiba Meka di depan tamu negara.
Tokoh adat setempat dan sesepuh tarian Tiba Meka bernama Lasarus Tamat menjelaskan, jika penari pria turut disertakan, maka mereka akan memakai kostum baju putih polos lengan panjang dipadu tenun ikat songke dan selepe atau ikat pinggang adat khas Manggarai dilapis selendang curuk. Ada pula penutup kepala pria bernama sapu curuk.
Ditampilkannya Tiba Meka oleh Pemerintah Provinsi NTT merupakan salah satu upaya untuk mengenalkan budaya tradisi setempat kepada para kepala negara ASEAN serta nilai-nilai luhur masyarakat suku Manggarai dan karakter mereka yang terbuka, penuh keakraban, rendah hati, peduli, dan santun.
Penulis: Anton Setiawan
Redaktur: Elvira Inda Sari