Indonesia.go.id - Pintu Gerbang Lebaran Khas Thailand Selatan

Pintu Gerbang Lebaran Khas Thailand Selatan

  • Administrator
  • Selasa, 25 April 2023 | 12:48 WIB
ASEAN
  Penduduk bersama-sama menyiapkan pintu gerbang di Masjid Nurul Taqwa di Rangae, Narathiwat, Thailand. BERNAMA
Masyarakat Muslim Thailand terkonsentrasi di wilayah paling selatan, berbatasan dengan Malaysia, dan banyak menerima pengaruh Melayu, termasuk bahasa.

Lain padang lain ilalang, lain lubuk lain ikannya. Demikian pepatah paling tepat untuk menggambarkan keberagaman masyarakat Muslim di sejumlah negara ASEAN dalam merayakan Idul Fitri.

Seperti yang dilakukan oleh para pemuda di wilayah Thailand Selatan. Wilayah ini merupakan episentrum Islam di Thailand, negara dengan 94,5 persen populasinya adalah penganut Buddha dan 4,2 persen lainnya penduduk Muslim. Thailand sendiri merupakan negara dengan 77 provinsi yang dibagi ke dalam lima kelompok, di mana sebanyak 14 provinsi di antaranya ada di Thailand Selatan.

Provinsi Pattani, Narathiwat, Songkhla, Yala, dan Satun menjadi kawasan terbanyak dihuni umat Islam. Meski umat Islam juga menyebar dalam jumlah lebih sedikit di provinsi-provinsi lainnya di Thailand. Daerah selatan Thailand berbatasan langsung dengan Malaysia, sehingga memiliki kemiripan adat dan budaya.

Selain menggunakan bahasa Thai dalam percakapan sehari-hari, sebagian besar penduduk di kantong Islam itu juga berbicara memakai bahasa Melayu. Di sana juga ada sejumlah tradisi unik lainnya, terutama setiap menyambut Lebaran.

Salah satunya, kesibukan membangun gapura atau dalam bahasa setempat disebut sebagai tradisi Pitu Gerbae. Ini mirip kegiatan di Indonesia ketika menyambut HUT Kemerdekaan, membangun gapura di tiap mulut jalan perkampungan dan kompleks perumahan. Pitu Gerbae buatan tangan-tangan terampil dan kreatif dari anak muda Thailand Selatan ini memiliki desain yang unik.

Umumnya gapura atau pintu gerbang dipasang tepat di mulut jalan desa dengan ukuran sangat besar. Tiang penopangnya di kiri dan kanan saja bisa mencapai ketinggian 10 meter, dibuat dari paduan kayu kaso dan puluhan batang bambu yang dibelah menjad ratusan bilah kecil. Ini dipakai sebagai penutup pengganti papan tripleks.

Pada bagian atas yang berbentuk seperti jembatan dan menjadi penghubung antartiang, umumnya dibuat sedikit melancip, mirip siluet kubah masjid. Namun, tidak sedikit pula yang mendesainnya seperti sebuah Alquran yang sedang terbuka. Supaya makin menarik, pintu gerbang ini dilengkapi lampu hias dan akan menyala terang di malam hari.

Jika jalan desa terlalu lebar, maka hanya cukup mendirikan dua pilar besar tanpa ada jembatan penyambung. Pada bagian atas pilarnya diberi corak kubah masjid tiga dimensi lengkap dengan lambang bulan dan bintang. Lalu, kapan mereka membangunnya? Seperti diungkap Johan Lamidin, seorang jurnalis asal Pattani dalam blognya, biasanya pengerjaan gapura itu sudah dicicil sejak sebelum Ramadan, agar tidak mengganggu kegiatan puasa.

Finalisasi baru dilakukan pada hari-hari awal puasa termasuk mengecat dan menambahkan ornamen-ornamen ucapan selamat berhari raya supaya tampil semenarik mungkin. Bahan baku penghiasnya tak hanya bambu, melainkan dapat pula berupa batok kelapa atau yang lainnya dan berasal dari alam.

Jika telah rampung, warga desa dan berbagai kelompok pemuda akan berduyun-duyun berfoto bersama berlatar pintu gerbang unik ini dan memamerkannya di bermacam platform media sosial. Pada beberapa distrik dan provinsi di Thailand Selatan, ada semacam lomba untuk memilih Pitu Gerbae berdesain paling bagus.

Tradisi menarik dari Thailand Selatan tak hanya membangun dan menghias pintu gerbang. Masih ada lagi tradisi memakai pakaian khas Melayu bagi laki-laki dan perempuan.

Seperti dikutip dari Bernama, setiap menyambut Lebaran, anak-anak muda Thailand Selatan akan menyiapkan aneka pakaian Melayu seperti baju kurung, kain songket pelapis celana panjang yang diikatkan seperti memakai sarung, dan kopiah hitam. Warnanya pun semarak, ada yang ungu, hijau, kuning, biru, merah, krem, dan oranye.

Pakaian tadi sudah mereka pakai sejak memulai salat Id sampai bersilaturahmi kepada sanak keluarga, sepintas mirip seperti yang dilakukan di Malaysia dan Brunei Darussalam. Sungguh bergaya. Tentu tak lengkap kalau belum mencicipi aneka kuliner khas Thailand Selatan yang banyak terpengaruh budaya Melayu.

Sebut saja sajian ketupat. Kalau di Indonesia, ketupat dari beras dibentuk dari janur kelapa dan wujudnya persegi, maka tidak demikian di Thailand Selatan. Pembungkusnya adalah sejenis daun kapho yang dibentuk segitiga dan diisi beras ketan. Jadi, rasanya seperti lemper meski tanpa isi daging ayam atau sayur wortel dan kentang. Uniknya, ketupat ini lebih sering disantap bersama susu kental manis.

Kuliner khas Lebaran lainnya dari Thailand Selatan adalah knomthim atau sejenis opor ayam karena selain tampilannya sangat mirip, rasanya pun tak jauh beda. Bedanya, kalau opor di Indonesia isinya adalah ayam, maka di Thailand Selatan dipadu dengan sayur mentah seperti timun dan kacang panjang atau bisa juga ditambahkan sayur kheng dari pelepah pisang.

Ada lagi cemilan kue kering tradisional bernama rangtho yang bentuknya seperti bunga matahari. Kalau di Indonesia biasa dikenal dengan kembang goyang. Dinamakan rangtho karena bentuknya mirip sarang rangtho, binatang sejenis serangga lebih besar dari lebah. Rasa kue kering ini pun manis, dibuat dari campuran tepung terigu, telur, air, gula, dan garam yang diaduk rata.

Setelah adonan menyatu, kemudian dicetak memakai cetakan kembang goyang dan dicelupkan ke dalam minyak panas untuk digoreng. Masukkan beberapa adonan hasil cetakan rangtho, dan setelahnya biarkan hingga matang. Ketika sudah matang, jangan lupa diangkat dari penggorengan dan tiriskan minyaknya.

 

Penulis: Anton Setiawan
Redaktur: Ratna Nuraini/Elvira Inda Sari