Sulawesi tidak dianugerahi kekayaan fauna sebanyak Kalimantan, Sumatra, dan Papua. Namun demikian, Sulawesi beruntung karena memiliki persentase fauna endemik jauh lebih tinggi dibandingkan ketiga pulau besar di Indonesia itu. Hampir 50 persen dari spesies vertebrata Sulawesi tidak ditemukan di tempat lain di dunia (spesies endemik). Misalnya, mamalia nonvolant, jumlah spesies endemiknya bisa mencapai lebih dari 90 persen. Nonvolant merupakan semua mamalia yang hidup di darat tapi tidak bisa terbang, jadi kelelawar tidak termasuk di antaranya.
Ini terjadi bukan hanya karena Sulawesi memiliki spesies-spesies unik hasil kombinasi genetik tidak biasa, melainkan karena faktor geografis Sulawesi. Pulau Sulawesi tidak pernah terhubung ke daratan benua Asia ataupun Australasia. Jutaan tahun berada dalam kondisi relatif isolasi menghasilkan berbagai fauna endemik yang berkembang secara unik di Sulawesi. Selain itu, flora dan fauna di Sulawesi juga mencerminkan ada pencampuran, hingga mungkin saja di satu hutan yang sama bisa ditemukan, misalnya, kera tonkean yaitu primata asal Asia maupun beruang kuskus, keturunan marsupial dari Australia.
Adalah naturalis berkebangsaan Inggris yaitu Alfred Russel Wallace yang pertama kali mendokumentasikan hal ini secara lengkap pada abad ke-19. Hal itu ia lakukan sebagai buah dari perjalanannya berkelana di Kepulauan Nusantara selama delapan tahun, antara 1854 hingga 1862. Wallace membagi batas-batas fauna secara geografis dan kemudian dikenal sebagai Garis Wallacea, di mana Pulau Sulawesi termasuk di dalamnya. Bisa dikatakan Wallacea adalah zona transisi antara daerah biogeografis Indo-Malaya Raya atau bagian dari benua Asia dan Australasia.
Di Wallacea terdapat 697 spesies burung, di mana sebanyak 249 spesies atau sekitar 36 persen di antaranya adalah satwa endemik. Tingkat sifat endemis ini meningkat menjadi 44 persen jika hanya mempertimbangkan burung yang tidak bermigrasi. Di Sulawesi dan pulau-pulau sekitarnya, ada 328 spesies burung dengan 230 spesies di antara tidak bermigrasi dan 97 spesies endemis, salah satunya adalah burung maleo.
Maleo (Macrocephalon maleo) adalah satwa endemik Sulawesi dan tidak akan ditemukan di tempat lain di dunia. Burung ini hanya ada di Pulau Sulawesi dan populasinya makin terancam karena maraknya pembukaan lahan di habitatnya berupa kawasan pantai berpasir panas atau pegunungan dengan sumber air panas atau kondisi geotermal tertentu. Pencurian telur maleo juga mengancam kelestarian burung itu. Seekor maleo memang hanya bertelur sebutir dalam satu musim.
Belum lagi aksi si pencuri alami seperti babi hutan dan biawak. Maleo memang tidak mengerami telurnya. Hal itu karena setelah bertelur ia akan mengubur telurnya dengan menggali lubang, sampai anak burung itu menetas sendiri. Agar dapat bertahan dan menetas, telur harus dikubur di tempat hangat bersuhu 32-35 derajat Celcius seperti di pasir pantai atau kawasan yang dekat sumber air panas.
Dalam buku Konservasi Maleo di Sulawesi dijelaskan bahwa asal usul burung khas kawasan Wallacea ini masih belum jelas. Ada dua teori menyebutkan bahwa pertama nenek moyang maleo berasal dari Australia. Kemudian kedua disebutkan bahwa moyang maleo berasal dari Asia Tenggara sebelum tiba di Australia. Namun persamaan kedua teori itu adalah moyang maleo telah terisolasi di Australia untuk waktu yang lama dan telah berevolusi sebagai burung yang tidak lagi mengerami sendiri telur-telurnya. Maleo kemudian menyebar ke Papua Nugini dan pulau-pulau di sekitar Indonesia timur, termasuk di Sulawesi Tengah (Sulteng).
Maleo berukuran sedang dengan panjang sekitar 55 sentimeter (cm) dan memiliki bulu warna hitam. Kulit di sekitar mata berwarna kuning dengan iris mata merah kecokelatan dan kaki abu-abu. Maleo mempunyai paruh jingga dan bulu sisi bawah merah muda keputihan. Di atas kepala terdapat semacam tanduk atau jambul keras berwarna hitam. Ukuran betina lebih kecil dari jantan dengan warna lebih gelap.
Maleo hidup dan berkembang biak di alam liar termasuk beberapa hutan di kawasan Taman Nasional Lore Lindu (TNLL), termasuk Desa Tuva dan Saluki, Kecamatan Gumbasa, Kabupaten Sigi, Sulteng. Maleo juga dapat dijumpai di Desa Kadidia dan Kamarora, Kecamatan Nokilalaki, Kabupaten Sigi. Di antara beberapa titik keberadaan maleo, baru di Desa Saluki-lah yang sudah dibangun sistem penangkaran alamiah oleh Balai Besar Taman Nasional Lore Lindu (BBTNLL). TNLL merupakan salah satu warisan dunia yang ditetapkan UNESCO menjadi Cagar Biosfer Dunia pada 1977. Taman Nasional ini kerap dikunjungi turis domestik dan mancanegara.
Kini salah satu peran penting TNLL adalah terus berupaya melestarikannya dengan membangun sistem penangkaran sebagai solusi meningkatkan populasi meleo dari kepunahan. Lokasi penangkaran terletak di hutan dalam kawasan TNLL dan hanya bisa dicapai dengan berjalan kaki atau naik sepeda motor menyusuri kebun kakao dan sungai. Kondisi jalan sangat sulit untuk kendaraan bermotor sehingga perjalanan berkendara harus berakhir di salah satu kebun milik masyarakat. Selanjutnya harus berjalan kaki sekitar dua kilometer (km) melintasi jalan setapak di pinggiran sungai.
Terselamatkan Penangkaran
Dari Saluki, sebuah desa pada poros jalan provinsi menghubungkan Palu, ibu kota Sulteng, dengan sejumlah desa di Kecamatan Kulawi, lokasi ke penangkaran maleo masih berjarak sekitar tujuh kilometer. Di lokasi penangkaran, terdapat beberapa mata air dengan uap mengepul sepanjang hari. Uap tersebut berasal dari air panas di bawah permukaan tanah. Di sekelilingnya terdapat berbagai jenis pepohonan yang tumbuh rapat.
Penangkaran meleo dibangun untuk menyelamatkan dan melindungi satwa endemik itu dari ambang kepunahan akibat perburuan liar. Maleo termasuk dalam daftar satwa dilindungi seperti tertuang di dalam Peraturan Pemerintah nomor 7 tahun 1999 tentang Pengawetan Jenis Tumbuhan dan Satwa. Satwa ini juga termasuk dalam daftar burung dengan kategori langka dan dilindungi secara internasional oleh lembaga konservasi dunia.
Badan konservasi International Union for Conservation of Nature (IUCN) memasukkan maleo dalam kategori Endagered atau hampir punah. Hal sama juga dilakukan oleh lembaga perlindungan satwa langka, Convention on International Trade in Endangered Species of Wild Fauna and Flora atau CITES dengan memasukkan maleo dalam kategori Appendix 1 atau tidak boleh ditangkap dan diperdagangkan karena statusnya di alam bebas hampir punah.
Langkah-langkah penangkaran burung maleo dimulai dengan mencari telurnya. Ukuran telur maleo sekitar 11 cm dengan berat rata-rata 240-290 gram per butirnya atau 5-8 kali lebih besar dari telur ayam. Setiap hari petugas mencari telur di alam bebas untuk dibawa ke sistem penangkaran semi alami yang dibuat oleh Balai Besar TNLL sejak 1998. Lokasi tempat bertelur maleo di sekitar hutan Saluki terdapat pada sembilan titik. Tempat penangkaran yang ada bisa menampung 100-150 butir telur maleo. Telur-telur maleo dari alam bebas ini setelah dibawa ke penangkaran, langsung ditanam di dalam lubang ukuran tertentu dengan kondisi dibuat mirip seperti di alam bebas.
Cara meletakkan telur juga harus benar karena jika tidak, maka dipastikan telur maleo tidak menetas sampai waktunya. Masa penangkaran telur maleo berlangsung 65-95 hari. Setelah menetas, anak maleo berumur dua bulan sudah bisa dilepas ke alam bebas. Selanjutnya, satwa itu akan hidup dan berkembang biak di dalam hutan terutama di dekat sumber air panas.
Untuk menghindari pencurian maleo dan telur-telurnya, pihak Balai Besar TNLL pun menggandeng sejumlah pihak termasuk tokoh-tokoh masyarakat setempat agar ikut membantu konservasi maleo. Sebuah kelompok peduli maleo pun terbentuk di Desa Tuva dan Saluki pada 2005. Terbentuk sejak 2005, kelompok bernama Cagar Maleo ini menjadi mitra Balai Besar TNLL dalam melakukan berbagai kegiatan konservasi.
Mereka selalu dilibatkan dalam kegiatan pelestarian flora dan fauna di kawasan TNLL termasuk menjaga populasi maleo. Upaya konservasi maleo dengan membangun penangkaran telah membuahkan hasil. Data TNLL pada Desember 2019 menyebutkan, populasi burung maleo di alam bebas dalam wilayah tersebut sudah lebih dari 1.000 ekor. Setiap bulannya ada 10-15 ekor anak maleo hasil penangkaran dilepaskan ke alam bebas.
Penulis: Anton Setiawan
Editor: Eri Sutrisno/Elvira Inda Sari
Redaktur Bahasa: Ratna Nuraini