Indonesia.go.id - Yang Terempas dan Kandas

Yang Terempas dan Kandas

  • Administrator
  • Rabu, 13 Mei 2020 | 21:42 WIB
ANAK BUAH KAPAL
  Orang tua dari Ari (24), salah satu Anak Buah Kapal (ABK) Long Xing 629 menunjukkan foto anaknya di Desa Serdang Menang, Sirah Pulau Padang, Kabupaten Ogan Komering Ilir, Sumatera Selatan, Sabtu (9/5/2020). Foto: ANTARA FOTO/Triyan Wahyudi

Menteri Luar Negeri Retno Marsudi mengutuk perlakuan tak manusiawi atas anak buah kapal (ABK) Indonesia di kapal ikan Tiongkok. Jam kerja mereka bisa 18 jam per hari. Gaji dipotong pula. Pemerintah diminta meratifikasi Konvensi Work in Fishing.

Ribuan pemuda Indonesia bertarung melawan nasib, menantang ombak, di tengah samudra. Di atas geladak kapal penangkap ikan berbendara asing itu mereka melewati hari-harinya yang keras dan sepi. Sebagian mereka terjebak dalam praktek buruk pengiriman pekerja migran, yang membuat mereka hidup seperti dalam dunia perbudakan.

Dunia buram itulah yang menyekap Ari dan Sefri, dua orang pemuda umur 24 tahun asal Desa Serdang Menang, Kecamatan Sirah Pulau Padang, Kabupaten Ogan Komering Ilir (OKI), Sumatra Selatan. Lewat jasa sebuah agensi yang berkantor di Pemalang, Jawa Tengah, keduanya bergabung dalam rombongan 48 pekerja migran Indonesia (PMI) yang direkrut perusahaan Dalian Fishing Co Ltd, awal 2019.

Mereka disebar di empat kapal berbendera Tiongkok itu. Rinciannya, 15 orang di Kapal Long Xin 629, 20 orang di Long Xin 606, 8 orang di Long Xin 605, dan tiga lainnya di Tian Yu 8. Ari dan Sefri ditempatkan di Long Xin 629, bersama antara lain Effendi Pasaribu, 21 tahun, pemuda asal Desa Pahieme II, Kecamatan Sorkam Barat, Tapanuli Tengah, Sumatra Utara. Di situ mereka harus menjalani kehidupan yang pahit selama 14 bulan terakhir.

Rupanya, Kapal Long Xin 629 menjadi perangkap maut bagi Ari dan tiga ABK lain asal Indonesia. Sefri dan Fatah jatuh sakit, dengan keluhan meriang, sesak nafas, dan batuk darah. Kedua buruh migran itu meninggal Desember 2019. Niatan mereka membantu ekonomi ayah-bundanya kandas. Jenazah mereka  dilarung ke laut (burial at sea) di tengah Samudra Pasifik.

Beberapa waktu kemudian, Ari dan Effendi pun menunjukkan gejala sakit serupa. Kapten Long Xin 629 berinisiatif memindahkan mereka ke Kapal Tian Yu 8 yang dijadwalkan akan berlabuh lebih awal, yakni ke Pelabuhan Busan, Korea Selatan. Namun, Tian Yu 8 tak menyelamatkan nyawa Ari. Satu hari di kapal tersebut, ia meninggal. Jenazahnya juga dilarung di kedalaman Samudra Pasifik.

Penyakit Effendi semakin menjadi-jadi. Tian Yu 8 pun lego jangkar di Busan, menjelang akhir April 2020. Otoritas Pelabuhan Busan membawa Effendi ke rumah sakit, dan segera dirawat atas jaminan dari Kantor Kedutaan RI di Seoul. ABK Tian Yu 8, dan sejumlah ABK lain asal Indonesia, yang bekerja di kapal China, memilih kabur melapor polisi, dan akhirnya diurus oleh KBRI untuk dipulangkan ke Indonesia.

Maut tak bisa ditolak. Effendi meninggal di rumah sakit. Seperti disampaikan dokter RS Busan ke KBRI di Seoul, ia dinyatakan menderita penyakit paru, pneumonia yang akut. Difasilitasi KBRI Seoul, jenazah Effendi diterbangkan ke Medan, dan dibawa ke kampungnya di Tapanuli Tengah. Pekerja belia itu telah dimakamkan pada Senin (11/5/2020).

Kisah tragis buruh migran Indonesia ini sempat menarik perhatian pers Korea Selatan. Rekaman video pelarungan jenazah salah satu ABK asal Indonesia itu sempat ditayangkan stasiun MBC News. Video itu kemudian menyebar ke tanah air dan mengundang perhatian banyak pihak. Ditambah pula cerita pilu soal perlakuan tidak manusiawi yang dialami para pekerja migran Indonesia (PMI) muda usia itu. Yaitu, mereka bekerja tanpa istirahat, kekerasan fisik dan verbal, upah kecil dan tak sesuai perjanjian, serta diskriminasi di atas geladak.

 

Menlu Retno Mengutuk

Menteri Luar Negeri (Menlu) RI Retno Marsudi sempat menemui langsung 14 ABK yang baru dipulangkan dari Korea Selatan itu akhir pekan lalu di Jakarta. Dari hasil pertemuannya dengan ABK dan pengecekan ke sejumlah pihak, Menteri Retno Marsudi menyatakan bahwa pihaknya memastikan akan menempuh jalur hukum atas persoalan tersebut.

“Kita mengutuk perlakuan yang tidak manusiawi kepada ABK kita oleh perusahan perkapalan RRT (Republik Rakyat Tiongkok, red) itu,” ujarnya, dalam virtual press briefing, Minggu (9/5/2020). Apa yang dilakukan atas ABK itu disebutnya sebagai pelanggaran atas hak-hak asasi manusia (HAM).

Retno Marsudi pun menyoroti soal jam kerja yang rata-rata di atas 18 jam per hari itu. Sebagian pekerja tidak mendapat upah, dan sebagian lainnya menerima upah tapi jauh di bawah angka yang disepakati. Menlu Retno Marsudi bertekad membawa persoalan ini ke pengadilan, seraya meminta Pemerintah Tiongkok menempuh hal yang sama.

Salah satu targetnya agar hak-hak para pekerja itu dapat dipenuhi, baik yang meninggal, yang putus di tengah jalan, atau yang masih bekerja. Berikutnya, tindak kejahatan terhadap pekerja migran ini bisa diadili secara pararel, baik di Indonesia maupun di Tiongkok. Ia mengatakan bahwa di Indonesia aksi hukum sudah dimulai. Polri sudah menyelidiki kasus itu.

Salah satu pihak yang akan dimintai tanggung jawabnya ialah para perusahaan pengirim ship manning agency, yang merekrut para tenaga migran bagi kapal ikan Tiongkok itu. Sejumlah ABK mengatakan, upah USD300 yang disepakati dalam kontrak, nyatanya hanya dibayarkan USD50 setiap kapal lego jangkar, dan belum tentu sekali sebulan. Yang USD150 dikatakan disimpan perusahaan kapal, untuk diberikan pada akhir kontrak, bersama USD100 lain yang disisihkan per bulan dan disimpan agensi. Ada potongan biaya administrasi USD600.

Realisasinya tak selalu jelas. Keluarga Ari dan Sefri harus menjemput uang duka yang Rp10 juta itu ke Pemalang, dari OKI di Sumatra Selatan, seraya diminta meneken surat persetujuan prosesi burial at sea. Tidak ada pembicaraan tentang asuransi atau hak yang lain. Sementara itu, bagi banyak kalangan di Indonesia, burial at sea adalah prosesi pilu yang tak sesuai kepatutan tradisi. Tak ada pasal ini dalam perjanjian kerja.

 

Kasta Kedua

Ketua Umum Serikat Pekerja Perikanan Indonesia (SPPI) Ilyas Pangestu mengatakan, ada ribuan pekerja migran Indonesia yang terjun di kapal-kapal asing. Ilyas mengklaim, anggota SPPI saja ada 11 ribu yang bekerja sebagai buruh migran. Ada ribuan lainnya yang tak terafiliasi oleh serikat apapun. “Jadi, jumlah persisnya kita tak bisa tahu, tapi pastinya puluhan ribu,” kata Ilyas Pengestu.

Ari, Sefri, Fatah, dan Effendi belum menjadi anggota serikatnya, tapi Ilyas siap membantu advokasi bila diperlukan. Yang pasti, SPPI akan memberikan perlindungan bagi anggotanya dalam setiap kontrak biar mereka tak menjadi korban kontrak berlapis-lapis. Para pekerja yang direkrut oleh Dalian Fishing Co itu misalnya, meneken kontrak ke sub-agency, sementara manning agency utamanya berada di Fiji. “Kalau ada apa-apa jadi lebih sulit,” Ilyas menambahkan.

Pasar tenaga kerja di kapal-kapal ikan asing cukup terbuka. Kapal-kapal ikan Korea Selatan, kata Ilyas, bisa menampung sekitar 8-10 ribu pekerja migran Indonesia. Ada pula permintaan dari Taiwan, Tiongkok, Fiji, dan di Eropa, ada demand dari Spanyol.

Pekerja Indonesia dan Vietnam banyak mengisi lowongan di Asia Timur. Para agensi memasang tarif antara USD1.700-USD4.200 untuk biaya tiket mereka, ditambah sejumlah ongkos lainnya, yang pada akhirnya dibebankan ke pekerja pula. Alhasil, gaji mereka terpotong, umumnya tak bisa lebih dari USD500 per orang per bulan. Yang untung banyak agensi.

Sebagian pekerja hanya berbekal paspor dan dukungan agensi (sering disebut sponsor) untuk jadi ABK.  Sertifikat dan surat pengalaman bisa disediakan agensi. Mereka juga tidak dipersiapkan menghadapi tuntutan kerja yang keras. Banyak yang tidak siap, terempas menjadi korban eksploitasi.  “Tata kelola pengiriman ABK ini perlu diperbaiki,” kata Ilyas Pangestu.

Ilyas mengusulkan ada pembekalan latihan teknis bagi calon pekerja, pelajaran bahasa, dan urusan sosial di atas kapal agar mereka nantinya memberi kontribusi yang tinggi dan dihargai. Pemerintah RI diimbaunya untuk meratifikasi Konvensi International Labour Organization C-188 tentang Work in Fishing. ‘’Dengan begitu, kita lebih punya posisi tawar untuk meminta kontrak yang mengacu ke konvensi itu,’’ Ilyas menambahkan.

Salah satu norma yang diatur dalam konvensi itu, antara lain, ialah jam kerja. Untuk satu hari, bisa saja ABK harus bekerja 17 jam, dan istirahat hanya 7 jam. Namun, dalam satu minggu seorang ABK berhak atas jam istirahat setidaknya 77 jam. Diskriminasi juga dilarang di situ.

Dibandingkan ABK di kapal pesiar, kargo, dan tanker, pekerja kapal fishing sering dianggap berada di kasta terendah. Bukan saja soal gajinya, kompetensi juga jadi ukurannya. Kemahiran berbahasa asing jadi syarat yang nyaris tak bisa ditawar di kapal kargo, kapal pesiar, dan tanker. Tapi di kapal ikan, itu bisa diabaikan.

Untuk kapal pesiar di seputar Singapura-HongKong, gaji ABK masih bisa antara USD800-1.500. Tapi, rate-nya menjadi USD1.000-2.000 untuk Mediterania, bahkan lebih dari USD2.000 di Amerika. Untuk kargo dan tanker rate ABK-nya USD1.500 bisa lebih tinggi, sekitar USD2.000-2.500 untuk pelayaran Asia. Mereka yang punya kualifikasi mualim (perwira) baik bidang nautika maupun mesin-elektrik  dapat  memasang harga USD3.000-5.000 per bulan.

Untuk kapal kargo, kapal pesiar, dan tanker, ada pula agensi sebagai perantara. Namun, mereka tidak mau bekerja sama dengan agensi abal-abal yang ujungnya bisa mengancam kepentingan mereka. Ada bisnis besar dan brand besar yang dipertaruhkan.

Tak berarti fishing ship boleh dipandang sebelah mata. Ilyas Pangestu menekankan, kompetensi  akan selalu mendapat tempat di mana pun, termasuk di kapal ikan. ‘’Kalau kompeten, punya kontribusi yang besar, kita akan mendapat perhargaan yang lebih dan tak tergantung ada agensi,’’ katanya.

 

 

 

Penulis: Putut Trihusodo
Editor: Elvira Inda Sari
Redaktur Bahasa: Ratna Nuraini