Ada romantika kasih tak sampai di Sungai Citarum. Seorang anak jatuh cinta pada ibu kandungnya sendiri. Sangkuriang, nama sang anak itu. Ibunya bernama Dayang Sumbi.
Alkisah, diceritakan Sangkuriang telah membunuh si Tumang, anjing peliharaan keluarga. Konon, anjing ini sebenarnya titisan dewa dan sekaligus bapaknya sendiri. Ibunya marah besar. Maka Dayang Sumbi pun memukulkan centhong ke kepala Sangkuriang. Kepalanya pun terluka dan bekas lukanya tak hilang. Sangkuriang kecewa, marah, dan lantas pergi meninggalkan ibunya. Mengembara nan jauh, entah ke mana.
Setelah berpisah dan mengembara bertahun-tahun, suatu ketika tebersit keinginan Sangkuriang menengok kampung halamannya. Saat memasuki kampungnya dulu dia melihat seorang perempuan yang cantik jelita. Pucuk dicinta ulam tiba, Sangkuriang merasa menemukan belahan jiwanya.
Sangkuriang tak mengetahui bahwa sebenarnya wanita cantik itu adalah ibunya. Pun demikian, sang ibu pun tak mengetahui bahwa pemuda gagah tampan rupawan itu ialah anaknya. Sangkuriang melamar, Dayang Sumbi pun menerima. Laksana menerima berkah dewa-dewi cinta, Kamajaya-Kamaratih, mereka pun berikrar hendak menikah, mengarungi hidup bersama.
Hingga suatu ketika, Dayang Sumbi merapikan ikat kepala Sangkuriang. Saat menyibak rambut kekasihnya, alangkah terkejutnya saat melihat bekas luka di kepala Sangkuriang. Bekas luka itu sangat mirip dengan bekas luka di kepala anaknya. Dayang Sumbi pun bertanya perihal penyebab bekas lukas itu pada kekasihnya. Dayang Sumbi bertambah tekejut karena ternyata dugaannya benar. Bahwa calon suaminya itu ialah Sangkuriang, anaknya sendiri.
Dayang Sumbi sangat bingung. Jelas tidak mungkin menikah dengan anaknya sendiri. Dayang Sumbi berbicara pada Sangkuriang agar membatalkan rencana pernikahan mereka. Tapi, Sangkuriang bersikukuh tak perduli dan cenderung tidak percaya Dayang Sumbi ialah ibu kandungnya.
Akal pun dicari demi membatalkan rencana pernikahan itu. Dayang Sumbi pun mengajukan dua syarat. Syarat pertama, Sangkuriang harus membendung Sungai Citarum. Syarat kedua, Sangkuriang harus membuat perahu yang sangat besar untuk menyeberangi Sungai Citarum. Kedua permintaan itu harus diselesaikan hanya dalam waktu semalam, sebelum fajar tiba.
Apabila Sangkuriang dapat memenuhi kedua syarat itu, Dayang Sumbi mau jadi istrinya. Tetapi sebaliknya, jika gagal, pernikahan itu pun harus dibatalkan.
Sangkuriang mengerahkan kesaktiannya untuk menyelesaikan tantangan itu. Diam-diam, Dayang Sumbi mengintip kerja keras buah hatinya. Betapa terkejutnya dia, ternyata Sangkuriang hampir menyelesaikan permintaanya itu jauh sebelum fajar menjelang.
Lantas dibuatlah siasat. Dayang Sumbi menggelar kain sutera putih hasil tenunannya. Kain itu memancarkan cahaya putih di sebelah timur. Langit pun lantas memerah, seolah-olah menjadi pertanda terbitnya fajar. Melihat itu, Sangkuriang mengira hari telah menjelang pagi. Sangkuriang menghentikan pekerjaannya. Dia menyadari dirinya telah gagal.
Sangkuriang kecewa. Dengan rasa penuh amarah dia menjebol bendungan buatannya. Dengan jebolnya bendungan terjadilah banjir. Bekas bendungan itu diyakini masyarakat sekitar hulu sungai sebagai berada di lokasi yang disebut “Sanghyang Tikoro”. Dekat pembangkit listrik Saguling. Sementara itu, bekas sumbatan aliran sungai dilemparkannya ke arah timur menjadi sebuah gunung, bernama Gunung Manglayang.
Pokok kayu (tunggul) bekas membuat kapal Sangkuriang berubah menjadi gunung di sebelah timur. Dinamai Gunung Bukit Tunggul. Sedangkan rantingnya berubah menjadi Gunung Burangrang di sebelah barat. Tak hanya itu, Sangkuriang juga menendang perahu besar yang telah selesai dibuatnya. Melayang dan jatuh tertelungkup. Juga berubah menjadi gunung. Kini dikenal sebagai Gunung Tangkuban Perahu.
Demikianlah kisah romantika tabu inces antara Sangkuriang dan Dayang Sumbi. Kisah ini sering dimaknai sebagai legenda asal-usul Gunung Tangkuban Perahu. T Bachtiar dalam tulisannya “Danau Bandung Purba--Kedahsyatan Cinta Sang Kuriang dan Letusan Gunung Sunda” (2011) menyimpulkan: Legenda yang telah populer sebagai folklore masyarakat Sunda di abad ke 15-16 itu merupakan catatan kronologis sejarah geologis tatar Pasundan.
Bahwa legenda Sangkuriang berkorelasi pada sejarah geologis terbukti cukup kuat. Sebutlah, temuan batuan lava basal di tepi aliran Ci Kapundung di Taman Hutan Raya Ir H Djuanda, Dago Pakar, misalnya. Dinamai “Batu Karembong”, tipe batuan beku ini berbentuk menyerupai tali yang dipilin atau pita. Batu ini merupakan lava bekas letusan Gunung Tangkuban Perahu 50 ribu tahun lalu. Batuan lava basal ini secara legenda diyakini sebagai bekas selendang Dayang Sumbi.
https://indonesia.go.id/assets/img/assets/1551803541_Selendang_Dayang_Sumbi_Batu_Karembong.png" style="height:558px; width:535px" />
Batu Karembong: Diyakini sebagai Selendang Dayang Sumbi. Sumber: Geomagz.geologi Kementerian ESDM
Ya, legenda Sangkuriang dan Dayang Sumbi ialah catatan perihal letusan Gunung Sunda Purba, pembentukan Danau Bandung Purba, dan lahirnya Gunung Tangkuban Perahu. Dan dalam perjalanannya nanti kemudian juga membentuk Sungai Citarum, sebuah sungai purba.
Kronik Catatan Sejarah
Sungai Citarum adalah salah satu sungai purba. Berhulu di Gunung Wayang 1.700 m dpl, di Kabupaten Bandung. Melewati dasar cekungan Bandung, aliran sungai purba ini berkelok-kelok sepanjang 297 kilometer. Setidaknya ada 19 sungai lain bergabung menjadi Sungai Citarum. Mengalir membelah 13 kabupaten dan kota di Provinsi Jawa Barat menuju muaranya di pantai utara Pulau Jawa atau tepatnya di Muara Gembong, Kabupaten Bekasi. Berdasarkan Keputusan Presiden 12 Tahun 2012 tentang Penetapan Wilayah Sungai, wilayah Sungai Citarum terdiri dari 19 DAS.
Legenda Sangkuriang dan Dayang Sumbi yang menempatkan Sungai Citarum sebagai latar jelas memperlihatkan arti penting sungai ini bagi masyarakat Sunda di masa lalu. Menyimak kembali folklore ini terdapat dua kata kunci penting “bendungan” dan “banjir.” Baik itu dalam arti metafora maupun dalam arti leksikon. Ya, dua topik ini naga-naganya menjadi penentu kisah perjalanan sejarah peradaban Sungai Citarum. Dulu, kini dan juga nanti.
Ya, sejarah memang mencatat, luapan banjir di sepanjang DAS (daerah aliran sungai) Sungai Citarum naga-naganya jamak terjadi. Sekalipun banjir ini tidak selalu terjadi setiap musim hujan di setiap tahunnya. Bukan hanya terjadi di era Kolonial Belanda maupun era Indonesia merdeka, fenomena banjir tampaknya bahkan telah terjadi jauh di kisaran abad ke-4.
Tak hanya itu. Mengingat arti pentingnya sungai sebagai jalur moda transportasi di masa lalu, sejarah juga mencatat Sungai Citarum adalah bagian yang tak terpisahkan dari sejarah Kerajaan Tarumanegara, Kerajaan Sunda, Kerajaan Galuh, Kerajaan Padjajaran, hingga Kerajaan Sumedang Larang maupun Kerajaan Cirebon juga Kerajaan Banten. Oleh karenanya, sungai ini bisa dikata turut menjadi saksi sejarah peradaban manusia di Jawa Barat.
Secara etimologi, kata Citarum, berasal dari bahasa Sunda. Terdiri dari dua kata, Ci dan Tarum. Ci artinya air, Tarum ialah nama tanaman yang biasa jadi pewarna tradisional, menghasilkan warna ungu atau nila, biasa tumbuh di sekitar sungai. Ada pendapat mengatakan, nama Citarum itu berasal dari nama kerajaan Hindu tertua di Jawa Barat. Kerajaan Tarumanegara.
Menurut catatan sejarah, di sekitar abad ke-4 Jayashingawarman membuka hutan dan membangun sebuah dusun kecil di daerah pinggiran Sungai Citarum. Lambat laun dusun itu tumbuh dan berkembang menjadi sebuah kerajaan besar. Itulah kerajaan Hindu tertua dan sekaligus terbesar di Jawa Barat. Orang mengenalnya sebagai Kerajaan Tarumanegara. Tercatat berkuasa di Pulau Jawa dari abad ke-4 hingga ke-7.
Menurut Naskah Wangsakerta, di masa kuasa Sri Maharaja Purnawarman, kerajaan ini mencatatkan kebesarannya. Lebih jauh, raja ketiga dari dinasti Tarumanegara ini tercatat dari tanggal 3 bulan Jesta (Mei/Juni) hingga tanggal 12 bulan Asada (Juni/Juli) tahun 419 tengah mengerjakan megaproyek di Sungai Citarum. Sungai terbesar dan terpanjang di tatar Pasundan ini sengaja dikeruk dan diperdalam. Selain untuk irigasi, proyek pengerukan sungai ini dilakukan sebagai upaya meminimalisir potensi banjir.
Pun sejarah pembangunan kota Bandung sebagai episentrum baru di Jawa Barat. Salah satunya juga didasarkan pada upaya menghindari luapan banjir Sungai Citarum. Pada 1810, RA Wiranatakusuma II memindahkan pusat lamanya dari daerah Krapyak (Dayeuhkolot) ke daerah Bandung tengah, dan posisi ini bertahan hingga saat ini. Kini jadi ibu kota di Propinsi Jawa Barat. Sedangkan Daerah Dayeuhkolot dan sekitarnya yang adalah daerah DAS hingga saat ini pun masih lazim terendam banjir ketika memasuki musim penghujan.
Sayangnya sebenarnya nisbi tidak banyak potret rekaman peristiwa sejarah peradaban di sepanjang daerah Sungai Citarum. Ada perkiraan, ibu kota Kerajaan Tarumanegara berada di hilir sungai, yaitu di sekitar Kerawang-Bekasi. Benar, cukup banyak prasasti ditemukan, dan secara historis membuktikan keberadaan Tarumanegara. Namun dari sisa-sisa peradaban Tarumanegara itu nisbi jarang ditemukan artefak berupa bangunan atau candi dan temuan artefak lainnya.
Barulah setelah 1957, sejalan ditemukannya beberapa arca Dewa Wisnu dan Lingga di reruntuhan bangunan purbakala yang mulanya dianggap sebagai sisa benteng Belanda di Kerawang, maka mulailah terkuak sedikit potret peradaban di sekitar hilir sungai. Candi Cibuaya demikian dinamai situs candi Hindu tersebut.
Menariknya, sekitar 15 km ke arah timur laut dari Candi Cibuana, pada 1984 ditemukan kembali sebuah kompleks situs percandian. Candi Batujaya demikian sohor disebut. Situs Candi Batujaya ialah candi Budha. Dibangun dengan menggunakan batu bata merah di abad ke-4 atau bahkan lebih tua daripada itu.
Di kompleks Candi Batujaya telah ditemukan 24 lokasi candi. Namun baru 10 lokasi candi telah digali dan diteliti secara intensif. Namun temua di kompleks situs percandian bukan hanya itu saja. Juga ditemukan banyak artefak lainnya sebagai bukti capaian tingginya peradaban Citarum masa lalu.
https://indonesia.go.id/assets/img/assets/1551803061_votive_tablet.jpeg" />
Votive Tablet. Sumber: Kemenpar
Sebutlah saat itu telah dikenal apa yang namanya votive tablet. Yaitu, benda yang memuat simbol atau ikon tertentu berukuran kecil, terbuat dari tanah liat yang dicetak dengan teknik tekan dan proses pembakaran. Juga ditemukan banyak artefak pecahan tembikar dengan beragam motif; perhiasan manik-manik; beragam produk terakota; pecahan prasasti; dan banyak kerangka manusia. Menariknya, usia kerangka manusia ini diduga berasal dari abad ke 1-2 sebelum masehi.
Berbagai temuan ini ke depan sedikit-banyak tentu bakal memberi warna baru pada tafsiran sejarah di seputar kehidupan di daerah Sungai Citarum secara umum. Juga memberi warna baru pada tafsiran sejarah di masa Kerajaan Tarumanegara secara khusus.
https://indonesia.go.id/assets/img/assets/1551804026_Manik_manik.jpeg" />
Manik-manik, ditemukan di Situs Candi Batujaya. Sumber: Kemenpar
Misalnya, bisa jadi usia peradaban masyarakat di daerah di sepanjang Sungai Citarum jauh lebih tua daripada dugaan sementara ini. Jikalau sejauh ini ini usianya ditafsirkan seiring sejalan dengan sejarah kemunculan Kerajaan Tarumangeara di abad ke-4, bukan tak mungkin usia peradaban Citarum sebenarnya sudah eksis sejak era sebelum masehi.
Atau tafsiran lain juga dapat dibuat. Jikalau telah fix disimpulkan, Candi Batujaya sebagai kompleks candi Budha itu dibangun di abad ke-4, maka Kerajaan Tarumanegara sebagai kerajaan Hindu arah kebijakan kekuasaannya jauh dari praktik diskriminasi terhadap agama lain. Pun bisa ditafsirkan, mengingat jarak antara Candi Cibuaya yang Hindu dan Candi Batujaya yang Budha nisbi tidak jauh, maka ditengarai pada zaman Kerajaan Tarumanegara telah dipraktikan nilai-nilai toleransi keagamaan secara baik.
Fragmen sejarah lainnya pun patut dicatat. Dahulu kala Sungai Citarum juga pernah menjadi garis pembatas wilayah dua kerajaan. Kerajaan Galuh dan Kerajaan Sunda. Ini terjadi di sekitar abad ke-7, pasca-Kerajaan Tarumanegara surut dan berganti nama menjadi Kerajaan Sunda. Fungsi sebagai batas administrasi ini terulang kembali di sekitar abad 15. Sungai Citarum menjadi pembatas antara Kesultanan Cirebon dan Kesultanan Banten.
Sedangkan di zaman Belanda, Sungai Citarum berperan sebagai sarana penghubung transportasi. Sungai ini berfungsi menghubungkan antara daerah pedalaman dan daerah pesisir di pantai utara Jawa, untuk membawa hasil pertanian dan perdagangan.
Sungai Citarum, sungai purba itu, hingga kini masih berperan penting dalam kehidupan manusia. Potensi sumber daya air dari sungai itu diperkirakan mencapai debit 13 milyar meter kubik per tahun. Sedangkan bicara pemanfaatannya baru sekitar 7,5 milyar meter kubik per tahun atau separuhnya.
Mengingat besarnya potensi inilah, di masa Presiden Soekarno dibuatlah bendungan terbesar di Indonesia. Megaproyek bendungan ini seolah mengingatkan pada kisah legenda Sangkuriang membendung Sungai Citarum. Dibangun pada 1957, diberi nama Waduk Ir H Juanda. Awalnya, Jatiluhur ialah satu–satunya bendungan di Sungai Citarum.
Dari sumber “Balai Besar Wilayah Sungai Citarum, Dinas PSDA Provinsi Jawa Barat 2008”, bendungan ini memiliki panorama danau seluas 8.300 ha. Selain itu, diketahui danau buatan ini berfungsi sebagai rigasi pertanian untuk sawah seluas 242.000 ha, penyedia air baku untuk DKI Jakarta, pembangkit listrik 187,5 MW, perikanan darat, pengembangan pariwisata dan olah raga air.
Lalu selanjutnya dibangunlah dua bendungan lainnya di masa Presiden Soeharto. Bendungan Saguling di tahun 1985 dan Bendungan Cirata di tahun 1988.
https://indonesia.go.id/assets/img/assets/1551804573_169_waduk_saguling.jpg" />
Waduk Saguling. Sumber: Jabarprov.go.id
Merujuk sumber yang sama, Waduk Saguling berfungsi sebagai irigasi pertanian dan pembangkit listrik berkapasitas 700 MW. Lebih besar dari danau sebelumnya, Waduk Cirata juga berfungsi sebagai irigasi pertanian, penggunaan air baku, dan pembangkit listrik berkapasitas 1.008 MW.
Menyadari arti pentingnya Sungai Citarum bagi peradaban manusia, Presiden Joko Widodo pun tak tinggal diam. Pada 14 Maret 2018 Presiden Joko Widodo mengeluarkan Perpres 15 Tahun 2018 tentang Percepatan Pengendalian Pencemaran dan Kerusakan Daerah Aliran Sungai Citarum. Tak tanggung-tanggung, pekerjaan besar agenda revitalisasi Sungai Citarum, hulu ke hilir, ditargetkan akan diselesaikan dalam hitungan tujuh tahun.
Memulai langkah itu, Presiden Joko Widodo mengawali pembangunan infrastruktur di Sungai Citarum. Proyek ini berupa pembangunan kolam retensi dan pembangunan terowongan air (tunnel). Tujuannya ialah sebagai pengendali banjir, mengatasi dan menampung serta menyalurkan milyaran kubik debet air. Ada sembilan proyek. Keseluruhan proyek itu akan selesai di 2019 ini.
Mari ditunggu bersama hingga tujuh tahun ke depan. Apakah Presiden Joko Widodo mampu mewujudkan upaya revitalisasi Sungai Citarum, dari hulu ke hilir? Apakah agenda kerja raksasa ini akan menuai kesuksesan laksana langkah Sri Maharaja Purnawarman di masa lalu dan bukan menapaki alur kisah kegagalan Sangkuriang? Wait and see. (W-1)