Indonesia.go.id - Istilah Radikal Harus Diganti?

Istilah Radikal Harus Diganti?

  • Administrator
  • Kamis, 7 November 2019 | 21:52 WIB
ETIMOLOGI
  Presiden Joko Widodo (kedua kiri) didampingi Wakil Presiden Maruf Amin (kedua kanan) memimpin rapat terbatas tentang program dan kegiatan bidang politik, hukum dan keamanan di Kantor Presiden, Jakarta, Kamis (31/10/2019). Foto: ANTARA FOTO/Puspa Perwitasari

Istilah radikal sebenarnya bermakna netral. Bisa bermakna positif atau negatif. Meskipun terdapat potensi kerancuan atau bias pemaknaan terkait pemakaian istilah ini, saripati pesan pemerintah sebenarnya masih cukup jelas.

Saat membuka rapat terbatas di Kantor Presiden, Kompleks Istana Kepresidenan, Jakarta, Kamis (31/10/2019), Presiden Joko ‘Jokowi’ Widodo memerintahkan Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan Mahfud MD untuk menangani paham-paham radikalisme. Presiden Jokowi ingin Mahfud mengkoordinasikan para menteri terkait demi mencegah penyebaran radikalisme di Indonesia.

“Saya serahkan kepada pak Menko Polhukam untuk mengkoordinasikan masalah ini,” katanya.

Menarik dicatat, dalam kesempatan itu Presiden Jokowi sempat melontarkan wacana menggunakan istilah lain untuk menggantikan kata radikalisme. “Enggak tahu. Apakah ada istilah lain yang bisa kita gunakan, misalnya manipulator agama,” ujarnya.

Ya, politik radikalisme menjadi salah satu isu yang disorot oleh Presiden Jokowi. Ia telah memberi pesan khusus terkait isu ini saat memanggil para calon menteri satu per satu beberapa waktu lalu.

Menarik disimak, pesan Presiden Jokowi terkait penggantian terminologi “radikalisme” tentu menarik didiskusikan. Pasalnya, penggunaan istilah radikalisme ini sering dikritik sebagai kurang tepat. Makna positif dan progresif dari istilah radikal menjadi terdeformasi dan bahkan terancam hilang. Benarkah, penggunaan istilah ini tidak tepat? Sejauh mana ketidaktepatan itu? Marilah disimak bersama.

Khazanah Ilmu

Secara etimologis, kata radikal sesungguhnya netral. Radikalis, kata sifat ini berasal dari bahasa Latin, radix atau radici. Menurut The Concise Oxford Dictionary (1987), istilah radikal berarti ‘akar’, ‘sumber’, atau ‘asal-mula’. Dimaknai lebih luas, istilah radikal mengacu pada hal-hal mendasar, prinsip-prinsip fundamental, pokok soal, dan esensial atas bermacam gejala, atau juga bisa bermakna “tidak biasanya” (unconventional).

Selama berabad-abad, makna istilah radikal selalu terkait-mait dengan asal-usulnya, yaitu akar. Karena memiliki konotasi yang luas, kata itu tak sedikit mendapatkan makna teknis dalam berbagai ranah keilmuan: kedokteran, botani, filsafat, psikologi, bahkan filologi, matematika, kimia, dan musik.

Sebutlah ilmu kedokteran, misalnya. Bidang ini mengenal pembedahan radikal sebagai pembedahan untuk menghilangkan penyakit hingga ke sumber utamanya. Dalam ilmu filsafat, berpikir radikal yang bermakna upaya menggali kenyataan atau ide hingga ke akar-akarnya, jelas merupakan syarat mutlak untuk membangun diskursus rasionalisme dan kritisisme. Bahkan dalam ilmu kimia, tak kecuali, ternyata juga dikenal istilah radikal bebas.

Kronik Sejarah Dunia

Merujuk Encyclopedia Britannica pada awal narasi menggarisbawahi, makna ‘radikal’ dalam politik sebagai orang yang menginginkan perubahan secara ekstrem, baik itu untuk sebagian maupun keseluruhan tatanan sosial.

Bicara penggunaan istilah radikal yang pertama kali dalam jagat politik, sejarah menyematkan kepada sosok Charles James Fox di tahun 1797. Seturut Encyclopedia Britannica, James Fox diceritakan menyerukan pembaharuan radikal (reform radical) di Inggris terkait sistem pemilihan bagi siapa saja yang telah dewasa. Sejak itulah, istilah radikal mulai digunakan sebagai istilah umum bagi semua gerakan yang mendukung gerakan reformasi parlemen.

Tak jauh berbeda dari itu. Merriam-Webster juga menyebut definisi radikal filosofis pada awalnya lekat dengan posisi dan aspirasi kaum liberal di Inggris. Menariknya, ciri utama mereka ditandai oleh kepercayaan atas nilai-nilai utilitarianisme dan perdagangan bebas, membawa agenda reformasi hukum, ekonomi, dan sosial, termasuk di dalamnya ialah reformasi parlemen dan sistem peradilan.

Namum memasuki abad ke-19, angin pemaknaan berubah. Dipengaruhi kuat oleh ide-ide filsosofis antroposentrisme, bahwa manusia sejatinya bisa sepenuhnya mengontrol lingkungan sosial mereka sendiri melalui aksi dan kerja kolektif. Keyakinan buah dari rahim Abad Pencerahan ini jelas merupakan saripati keyakinan di dalam ideologi Marxisme.

Tak pelak, istilah radikal kemudian lekat pada kaum Marxis atau kelompok ideologi lain, yang notabene mendukung agenda perubahan sosial politik secara mendasar dan keras melalui revolusi. Akibatnya, istilah radikal akhirnya menjadi tidak berlaku bagi para reformis yang mendukung agenda perubahan sosial secara bertahap.

Masih dari Inggris, Universitas Cambridge melalui laman resmi juga mendefinisikan ‘radikalisme’ sebagai keyakinan bahwa harus ada perubahan sosial atau politik yang besar atau ekstrem. Oxford Dictionary juga memahami ‘radikal’ sebagai orang yang mendukung suatu perubahan politik atau perubahan sosial secara menyeluruh.

Encyclopedia Britannica juga mencatat penggunaannya di Prancis. Sebelum 1848, istilah radikal merujuk pada kaum republiken atau pendukung hak pilih universal bagi pria dewasa. Para republiken yang militan dan membawa spirit ‘Jakobinisme’, selain mengklaim mewarisi roh Revolusi Prancis 1789, juga sering mengaku sebagai radikalis.

Dari sumber lain, konon, kata ‘radikal’ mulai popular sejak Revolusi Prancis (1787-1789). Para penentang Raja waktu itu menyebut dirinya sebagai ‘kaum radikal’. Salah satunya adalah gerakan Jacobin atau Klub Jacobin itu, yang pada momen tersebut sohor disebut dengan nama Rezim Teror.

Maximilien Robespierre, salah satu eksponen Klub Jakobin yang sangat penting itu, pada suatu ketika pernah mengatakan, “Kebajikan tanpa teror adalah fatal dan teror tanpa kebajikan ialah impoten. Menghukum para penindas kemanusiaan (dengan cara kekerasan) adalah hal yang bisa diampuni, sementara memaafkan mereka adalah barbar.”

Sedangkan dari Amerika Serikat, kembali merujuk Encyclopedia Britannica, istilah radikalisme ialah identik dengan ekstremisme politik, baik kiri ataupun kanan. Komunisme di ujung posisi kiri, fasisme di kanan. Meski istilah radikalisme lebih lazim untuk menyebut kelompok kiri, ungkapan ‘kanan radikal’ juga mulai dikenakan dengan asosiasi tertuju pada gerakan keagamaan dan fasisme di masa perang.

Awalnya di sepanjang abad ke-19, para aktivis antiperbudakan kerap dijuluki ‘radikal’ oleh lawan-lawan politik mereka. John Brown, seorang kulit putih yang mengangkat senjata untuk membebaskan budak-budak kulit hitam, juga disebut-sebut sebagai ‘teroris pertama Amerika’.

Namun pasca-Perang Dunia ke-2 di Amerika Serikat kurun 1950-an, sebutan ‘kanan radikal’ tertuju kepada sayap konservatif Partai Republik yang sangat antikiri. Pelbagai gerakan kaum muda yang menolak nilai-nilai sosial dan politik tradisional yang terhimpun dalam spektrum luas Kiri Baru, tak luput pun secara umum dikecam sebagai radikal.

Dari negeri Paman Sam, kamus Merriam Webster mengartikan radikal sebagai opini atau perilaku orang yang menyukai perubahan ekstrem, khususnya dalam pemerintahan atau politik.

Dengan latar belakang itulah, pascatragedi 11 September 2001 atau sohor disebut 9/11, mudah dipahami bagaimana pemaknaan atas istilah radikalisme turut berubah drastis. “Perang global melawan terorisme” adalah frasa yang digunakan media barat untuk melegitimasi tindakan politik militer Amerika Serikat dan negara-negara sekutunya di beberapa negara Islam. Sejak itulah Dunia Islam menjadi bidikan Barat dalam diskursus bertema ‘’perang global melawan terorisme.’’

Walhasil, jika dahulu istilah ini nisbi lekat dengan aktivis politik kiri, maka kini praktis istilah radikal atau radikalisme lantas memiliki konotasi berupa praktik kekerasan terorisme dan agama tertentu.

Kasus Indonesia

Sementara di Indonesia, makna istilah radikal tentu juga tidak jauh berbeda dengan makna di kamus-kamus di atas. Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) versi online menyebutkan ‘radikalisme’ memiliki tiga arti, yaitu pertama, paham atau aliran yang radikal dalam politik, kedua, paham atau aliran yang menginginkan perubahan atau pembaharuan sosial dan politik dengan cara kekerasan atau drastis, dan ketiga, sikap ekstrem dalam aliran politik.

Menariknya, merujuk KBBI keluaran tahun 1990, istilah radikal diartikan sebagai “secara menyeluruh,” “habis-habisan,” dan “maju dalam berpikir atau bertindak. Artinya, di sini mudah diduga telah terjadi proses perubahan makna dari istilah ini. Ada aspek diakronis bekerja dalam kata, yang memperlihatkan bahwa sejarah telah bekerja mengubah makna atau arti. Jika awalnya setidaknya bermakna “netral” atau bahkan cenderung “positif,” maka kini makna istilah radikal cenderung berubah menjadi sepenuhnya “negatif.”

Selain pada khasanah ilmu seperti telah disebutkan di atas, makna netral atau bahkan cenderung positif dari penggunaan istilah radikal juga terlihat pada tulisan Mitsuo Nakamura. Dalam sebuah artikel yang dipublikasikan di Asian Southeast Asian Studie Vol. 19, No. 2 th. 1981, Nakamura menyebutkan bahwa Nahdlatul Ulama adalah organisasi yang berwatak “tradisionalisme radikal”. Istilah tradisionalisme radikal ini sengaja dipilih Nakamura untuk menggambarkan karakteristik NU sebagai organisasi otonom dan independen.

Pada titik inilah, mudah dipahami istilah radikal sebenarnya bermakna netral. Istilah radikal bisa bermakna positif atau negatif tergantung pada konteks ruang dan waktu sebagai latar belakang penggunaan istilah tersebut.

Dari sini penting diingat dua hal. Pertama, sepanjang propaganda oleh Amerika atau Barat selama hampir dua dekade—yakni pasca-9/11 di tahun 2001, plus munculnya ISIS di tahun 2014 hingga kematian Abu Bakr Al-Baghdadi belum lama berselang—terlihat jelas diskursus perang global melawan terorisme cenderung mereduksi istilah radikal atau radikalisme sekadar ditujukan pada kelompok agama tertentu.

Kedua, populasi Muslim di Indonesia adalah notabene terbesar di dunia. Tapi praktik keagamaan Islam di Indonesia secara arus utama cenderung bersifat moderat dan toleran. Imbauan Presiden Jokowi pada Menkopolhukam supaya mencari istilah pengganti atas istilah radikal jelas berpijak pada konteks sosiologis itu. Oleh karenanya, istilah pengganti ini penting dirumuskan definisinya secara jelas dan lugas (clear and distinct) untuk mengantisipasi potensi kerancuan atau bias pemaknaan dari penggunaan istilah radikal.

Sejauh ini, meskipun masih menyimpan potensi kerancuan atau bias pemaknaan politik terkait istilah radikal, saripati pesan pemerintah selama ini sesungguhnya masih nisbi cukup jelas. Tujuan dan target pemerintah terkait penggunaan istilah radikal ini, antara lain, ialah Pertama, ditujukan pada kelompok tertentu yang notabene bermaksud mengganti Pancasila dan UUD 1945 dengan sistem lain, yaitu Sistem Khilafah.

Kedua, istilah ini digunakan untuk menyebut aktivitas politik kelompok tertentu yang bersifat ekstrem, yang bukan saja tak segan menggunakan cara-cara kekerasan, memaksakan kehendak, melainkan lebih jauh bahkan tak jarang juga melakukan praktik terorisme.

Dan terakhir atau ketiga, istilah ini merujuk pada kelompok yang sebenarnya justru memiliki sikap dan nilai-nilai antidemokrasi. (W-1)