Indonesia.go.id - Membangun Teologi Inklusif

Membangun Teologi Inklusif

  • Administrator
  • Selasa, 24 Desember 2019 | 23:24 WIB
PLURALISME
  Sejumlah anggota komunitas lintas agama bergandengan tangan saat berfoto bersama disela-sela ibadah Misa Natal di Gereja Katedral, Jakarta, Rabu (25/12/2019). Foto: ANTARA FOTO/M Risyal Hidayat

Terlepas apakah kajian tentang agama-agama itu bersifat bebas-nilai atau tidak, penting dicatat di sini, disiplin ini di Indonesia telah menunjukkan keberhasilannya untuk mempermudah jalannya dialog antariman.

Bangsa Indonesia sering menyebut dirinya sebagai masyarakat majemuk atau plural. Multietnis, multibudaya, dan multiagama. Hampir semua agama besar, yaitu Islam, Kristen, Katholik, Hindu, Budha, dan Konghucu, serta pelbagai kepercayaan lokal, hidup berdampingan di negeri ini. Bersamaan dengan itu, sering juga disebutkan kadar toleransi keagamaan yang tinggi disematkan pada citra bangsa Indonesia.

Sebagai bangsa besar yang memiliki beragam etnis, budaya, dan agama, Indonesia memang harus menerima konsekuensi dari munculnya pelbagai persoalan yang dilatarbelakangi oleh aspek keberagaman tersebut. Ya, keberagaman ini memang berpotensi memantik konflik sosial bernuansa etnis atau ras dan agama, apabila satu kelompok dan kelompok lainnya belum terbangun sikap saling memahami, menghargai, dan menghormati adanya warna perbedaan.

Pada titik ini, menemukan kembali formula pengelolaan terhadap kehidupan keagamaan dalam situasi dan kompleksitas Indonesia kontemporer tentu saja sangatlah penting. Bagaimanapun, Pancasila adalah common platform dan sekaligus integrating force dari keragaman yang dimiliki Indonesia.

Namun aspek legal formal saja tentu tidak mencukupi. Upaya membangun relasi antarumat beriman secara harmonis, yang bukan saja sanggup mengembangkan apresiasi yang simpatik. Namun, juga sikap toleransi terhadap adanya perbedaan keyakinan agama. Pertama-tama, itu haruslah bersumber pada dorongan tiap-tiap individu dari dalam (inner force) terkait bagaimana mereka menghayati dan memaknai agamanya sendiri.

Bicara upaya penting menghadirkan pluralisme dan toleransi keagamaan ialah berarti bicara pengembangan ilmu perbandingan agama atau studi agama-agama. Diyakini, bahwa ilmu perbandingan agama atau studi agama-agama bakal sanggup menghilangkan prasangka subjektif masing-masing pemeluk agama sehingga berdampak memudahkan terbangunnya dialog lintas iman dan budaya secara rasional.

Sementara itu, dialog iman dan budaya yang rasional sudah tentu juga bakalan memudahkan terbangunnya hubungan antaragama yang harmonis dan tumbuh suburnya sikap toleransi di tengah masyarakat.

Sejarah Ilmu

Merujuk Media Zainul Bahri (2015) dalam Wajah Studi Agama-Agama, Dari Era Teosofi Indonesia (1901 – 1940) Hingga Masa Reformasi disebutkan, studi ilmiah agama secara resmi dibuka di Perguruan Tinggi Agama Islam Negeri di Yogyakarta pada 1961. Jurusan yang disebut dengan nama “Ilmu Perbandingan Agama” ini diinisiasi oleh Abdul Mukti Ali, jauh sebelum beliau nantinya menjadi menteri agama di masa Orde Baru.

Sekalipun dikatakan baru muncul resmi di tahun 1960-an, atmosfer pemikiran yang menempatkan agama-agama sebagai subjek penelitian sebenarnya telah dimulai jauh hari di awal abad ke-20. Bahri setidaknya menyebut, ada empat fase.

Fase pertama ditandai dengan munculnya Nederlandsch Indische Theosofiche Vereeniging (NITV). Menurut Bahri, paguyuban atau asosiasi nonpemerintah yang muncul di awal abad ke-20 ini sering disebut oleh para sejarawan dengan nama “Gerakan Teosofi Indonesia”. Bahri sendiri memilih menyebut dengan istilah “Masyarakat Teosofi Indonesia” atau MTI.

Eksistensi organisasi ini merupakan cabang dari Teosofi Internasional. Berpusat di Adyar, India, organisasi teosofi ini didirikan, salah satu eksponennya, oleh Helena Petrovna Blavatsky pada 1875. Tujuan pokok organisasi teosofi ini ialah memajukan pelajaran membanding-bandingkan agama, filsafat, dan ilmu pengetahuan. Studi mereka ini dilakukan berbasis pada pendekatan “dari dalam” (from within) dan menekankan aspek titik-temu agama-agama.

Istilah theosofi berasal dari bahasa Yunani, theos, yang berarti Tuhan, dan sophia, yang berarti ilmu atau kebijaksanaan. Jadi boleh disebut secara harafiah Theosofi bermakna “kebijaksanaan Ilahi”. Blatvatsky sendiri memaknai teosofi sebagai ilmu hikmah yang sangat kuno, yang tujuannya ialah membentuk persaudaraan universal kemanusiaan antarumat manusia, tanpa membedakan etnis, agama, dan kasta.

Menarik disimak, komunitas anggota MTI didominasi oleh para priayi Jawa, kaum santri nonpriayi, orang-orang Belanda dan orang Eropa secara umum. Menarik digarisbawahi, bukan tak mungkin kecenderungan sinkretisme priayi Jawa, sedikit banyak telah mengalami afirmasi melalui keterlibatan priayi Jawa dalam forum ini. Ya, memang pada fase awal perkembangan ketika itu banyak anggota Budi Utomo tercatat aktif di forum tersebut.

Fase kedua, yakni studi perbandingan agama yang dilakukan oleh para sarjana muslim Indonesia. Antara akhir 1930-an hingga awal 1960-an tercatat dua nama menonjol: Mahmud Yunus dan Zainal Arifin Abbas. Materi yang ditulis keduanya ini saat itu diajarkan di sekolah-sekolah Islam seperti madrasah atau bahkan di pesantren. Pendekatan historis dan teologis mendominasi warna uraian Yunus dan Abbas tentang agama-agama di dunia.

Merujuk tesis Aprilia (2010), Pluralisme Agama Dalam Pandangan Nurcholish Madjid, disebutkan pada fase kedua tersebut sebagai ilmu ia belum mengenal metode yang sistematis. Paparan keduanya masih sekadar menjadi alat dakwah yang bersifat apologis. Baik Yunus maupun Abbas saat itu menulis dengan spirit memperlihatkan segi-segi kelemahan agama-agama lain.

Fase ketiga, sebutlah periode Abdul Mukti Ali. Seperti telah disinggung di muka, kajian agama-agama muncul secara formal dan akademik melalui inisiasi Mukti Ali di tahun 1961. Berdirinya Jurusan Perbandingan Agama di Fakultas Ushuluddin tercatat satu tahun setelah berdirinya PTAIN (Perguruan Tinggi Agama Islam Negeri) atau dulu sohor disebut IAIN Sunan Kalijaga di Yogyakarta dan ADIA (Akademi Dinas Ilmu Agama) atau UIN Jakarta sekarang.

Periode ini dipandang sebagai periode berkembangnya ilmu perbandingan agama di Indonesia. Sebagai lulusan spesialisasi Ilmu Perbandingan Agama dari Universitas Mc Gill di Kanada, juga meraih gelar doktor di Universitas Karachi di Pakistan, pada 1965 Mukti Ali menulis buku Ilmu Perbandingan Agama: Sebuah pembahasan tentang Metodos dan Sistema.

Sejak itu, kajian ilmu ini telah membahas tentang metode, sistematika, dan sejarah, serta pelbagai pendekatan lain seperti filsafat, sosiologis, psikologi, dan lain-lain untuk mempelajari dan memperbandingkan agama-agama. Diterapkannya sejumlah pendekatan ini jelas berimplikasi positif.

Mempelajari ilmu perbandingan agama tidak lagi dimaksudkan untuk saling salah menyalahkan, atau sekadar membangun uraian apologis agamanya masing-masing. Melampaui kecenderungan itu, ilmu perbandingan agama berhasil membangun dan mengembangkan suatu kesadaran “untuk bersetuju dalam perbedaan” agama-agama.

Sohor dengan ide “agree in disagreement”, bagi Mukti Ali, ilmu perbandingan agama jelas tidak semata hadir untuk meminimalisir kontras yang disebabkan adanya perbedaan. Melainkan juga, membawa arah menunjukkan pada “kebersamaan” agama-agama. Singkat kata, Mukti Ali menawarkan konsep “kerukunan agama” yang perannya sangat sentral dalam ilmu perbandingan agama.

Mukti Ali, bukan saja tercatat tak kenal lelah mempopulerkan ilmu perbandingan agama, di sepanjang pertengahan 1967 hingga akhir tahun 1971-an ia juga terlibat aktif dalam forum diskusi informal, Lingkaran Diskusi Limited Group.

Ya, setiap Jumat sore di rumah Mukti Ali di kompleks IAIN Sunan Kalijaga di Yogyakarta, secara intens dilakukan serangkaian diskusi terkait topik agama. Dawam Rahardjo, Djohan Effendi, Ahmad Wahib, dan lain sebagainya, saat itu ialah para kolega junior dari sosok Mukti Ali. Wajar saja mengingat kontribusinya, ia pun diatributi gelar “Bapak Ilmu Perbandingan Agama di Indonesia.”

Konsisten memajukan ilmu perbandingan agama sebagai instrumen mendorong hubungan harmonis dan toleransi antaragama, Mukti Ali saat jadi Menteri Agama (1971 – 1978), dia juga menjadikan tema dialog antarumat beragama sebagai kebijakan di Departemen Agama.

Fase keempat ialah fase reformasi. Fase ini ditandai perubahan paradigma dari perbandingan agama menjadi studi agama-agama. Masih merujuk pada Bahri, perubahan paradigma ini jelas membawa konsekuensi serius. Misalnya, jika pada ilmu perbandingan agama maka aspek perbandingan menjadi disiplin ilmu di mana pendekatan itu mendominasi kajian.

Sementara itu, pada studi agama-agama maka pendekatan perbandingan hanyalah satu pendekatan saja dari beragam pendekatan yang ada. Visinya ialah mengembangkan pendekatan multi dan atau interdisipliner secara kritis untuk mendekati realitas masyarakat kompleks. Selain itu, visi studi ini mengakui realitas yang sesungguhnya selalu lebih kompleks dari “realitas” yang dibuat teratur dan sederhana oleh penelitian.

Problem Epistemologi

Terlepas hendak disebut dengan istilah ilmu perbandingan agama atau studi agama-agama, kajian yang menempatkan agama sebagai subjek penelitian selalu terbentur pada problem epistemologis yang nisbi sama. Sebagai suatu ilmu, di satu sisi ia harus bersifat objektif, sedangkan di sisi lain ia juga dituntut meyakini agama yang dipeluknya adalah paling benar.

Pertanyaannya ialah: sanggupkan seseorang bersifat objektif dalam memahami agama orang lain, atau apakah seseorang harus menjadi anggota komunitas agama lain ketika ingin mempelajari agama tersebut?

Kembali merujuk tesis Aprilia. Dikatakan oleh Aprilia, merujuk pada pemikiran Cak Nur, seseorang peneliti tidak perlu mengosongkan dirinya dari keyakinan agama yang dipeluknya, bahkan ia dituntut untuk tetap berpegang teguh kepada keyakinan agamanya.

Harus diakui, bahwa setiap agama selalu memiliki sifat apologis yang tak terhindarkan. Namun demikian ketika ia melakukan kajian terhadap agama lain sudah tentu prasangka subjektif agama yang dianut beserta sikap apologis-nya tidaklah boleh over dosis mewarnai penelitian.

Menyikapi problem epistemologi ini, Cak Nur mengatakan, “Saya tidak menyetujui pendapat ilmu untuk ilmu, sebagaimana saya juga tidak menyetujui pendapat seni untuk seni. Tetapi saya setuju dengan pendapat bahwa ilmu, juga seni, untuk ibadah—karena keyakinan bahwa kehidupan seorang itu adalah untuk ibadah kepada Allah Swt.”

Aprilia mengakui dan menyimpulkan, jika mencermati karya-karya Nurcholis Madjid, terlihat jelas bahwa untuk memahami atau mempelajari agama orang lain ternyata bisa dilakukan secara objektif.

Penting juga dicatat di sini. Masih merujuk Aprilia, terlepas apakah kajian tentang agama-agama ini bersifat “bebas-nilai” ataukah tidak, yang penting digarisbawahi di sini ialah bahwa disiplin ilmu ini tercatat sejarah telah menujukkan keberhasilannya untuk mempermudah jalannya dialog antariman.

Lebih dari itu, seturut Aprilia, dampak dari lahirnya ilmu ini ialah munculnya kebijakan dibangunnya sebuah “Badan Konsultasi Antar Umat Beragama.” Dalam perjalanannya nanti di tahun 1980, badan ini kemudian muncul dengan nama “Wadah Musyawarah Antar Umat Beragama,” sebagaimana kita kenal hingga sekarang ini. (W-1)