Rabu pekan lalu atau tepatnya, (22/4/2020), Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan secara resmi mengumumkan perpanjangan pemberlakuan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB). Pengumuman itu dilakukan sehari menjelang akhir pemberlakuan fase I PSBB, yang dimulai 10 hingga 23 April 2020 PSBB di Jakarta.
Fase II PSBB DKI Jakarta akan diperpanjang selama 28 hari atau dari 23 April sampai 22 Mei 2020. Perpanjangan dilakukan karena tren penularan Covid-19 masih meningkat.
Dari data corona.jakarta.go.id terlihat, pada hari keenam atau (15/4/2020) jumlah kasus harian mencapai 98 kasus positif dan pada (22/4/2020) kasus harian mencapai 120 kasus positif.
Selain tren kasus positif masih tinggi, pada pemberlakuan PSBB fase I juga ditemukan masih banyaknya warga yang melanggar aturan, masih banyak terjadi kerumuman, dan masih banyak perusahaan yang meminta karyawannya bekerja di kantor. Oleh karenanya, pada pemberlakuan fase II ini, Anies menegaskan, "Agar kita bisa disiplin lagi."
Menurut catatan Kepala Gugus Tugas Percepatan Penanganan Corona Doni Monardo, selama fase I PSBB di Jakarta terdapat 543 perusahaan yang melanggar aturan. Dari jumlah itu, 76 perusahaan telah disegel.
Langkah perpanjangan PSBB Jakarta diikuti Jawa Barat. Pada Senin (27/4/2020), Gubernur Jawa Barat Ridwan Kamil memastikan PSBB di lima wilayah Jawa Barat, yakni Kota Depok, Kota Bekasi, Kabupaten Bekasi, Kota Bogor, dan Kabupaten Bogor.
Perpanjangan dilakukan selama 14 hari terhitung Rabu (29 /4/2020). Ini merupakan fase kedua bagi kelima wilayah itu memberlakukan PSBB. Fase I pemberlakuan PSBB di kelima wilayah itu dilakukan pada 15 April dan berakhir pada 29 April 2020.
Menurut Emil--sapaan Ridwan Kamil--saat diberlakukan PSBB fase I telah terjadi penurunan tren persebaran penularan Covid-19, terutama untuk Kota Bogor, Kabupaten Bogor, dan Kota Depok.
Sedangkan di Kota dan Kabupaten Bekasi, menurut Emil, masih terjadi kenaikan. Adanya kenaikan di dua wilayah ini membuat Emil memutuskan untuk memperpanjang masa pemberlakuan PSBB di Bodebek.
Emil mengklaim, pemberlakuan PSBB mampu menurunkan kasus Covid-19 hingga 38,5 persen di wilayah Jabodetabek. "Artinya PSBB dianggap baik dan berhasil menekan persebaran Covid-19," ujarnya.
Pertanyaannya, kapan aturan pembatasan sosial itu bisa dicabut? Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 9 Tahun 2020 tentang Pedoman Pembatasan Sosial Berskala Besar dalam Rangka Percepatan Penanganan Corona Virus Disease 2019 (Covid-19) pada Pasal 10 menyebutkan, "Dalam hal kondisi suatu daerah tidak memenuhi kriteria sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2, menteri dapat mencabut penetapan PSBB.”
Sedangkan pada Pasal 2 Permenkes itu disebutkan, “Untuk dapat ditetapkan PSBB, suatu wilayah provinsi/kabupaten/kota harus memenuhi kriteria sebagai berikut:
a. jumlah kasus dan/atau jumlah kematian akibat penyakit meningkat dan menyebar secara signifikan dan cepat ke beberapa wilayah; dan
b. terdapat kaitan epidemologis dengan kejadian serupa di wilayah atau negara lain.”
Pedoman lebih rinci dikeluarkan Badan Kesehatan Dunia (WHO). Pedoman itu dikeluarkan sebagai panduan pencabutan aturan lockdown.
Walau istilahnya berbeda, lockdown dan PSBB punya semangat sama, yakni membatasi pergerakan manusia. Sebab, menurut ilmuwan, penularan virus corona terjadi dari manusia ke manusia. Oleh karena itu, pembatasan terhadap pergerakan massa menjadi kunci dalam pengendalian pandemi.
Enam Syarat Mencabut Lockdown:
1. Kemampuan untuk mengendalikan transmisi.
Sebelum melonggarkan karantina, negara perlu memastikan penyebaran virus corona telah terbendung. Atau setidaknya penyebarannya turun ke level rendah dengan penurunan jumlah kasus baru. Wilayah telah terdeteksi, dengan tingkat keparahan yang mampu ditangani oleh layanan medis setempat.
2. Kapasitas sistem kesehatan untuk mendeteksi, menguji, mengisolasi, dan menangani setiap kasus, serta melacak setiap kontak.
Sebelum memutuskan membuka isolasi, harus dipastikan sistem kesehatan di wilayah terdampak mampu mendeteksi, menguji, mengkarantina, dan menangani kasus Covid-19. Layanan kesehatan juga harus sudah tersedia untuk semua orang, bukan hanya bagi kasus yang parah.
3. Meminimalisasi risiko wabah khususnya di fasilitas kesehatan dan panti jompo.
Menurut WHO, orang tua dengan penyakit penyerta menjadi kelompok yang paling rentan. Maka, lokasi-lokasi rawan penularan infeksi, seperti panti jompo harus terlindungi dengan baik.
4. Melakukan langkah-langkah pencegahan di tempat kerja, sekolah, dan lokasi-lokasi lain yang dikunjungi masyarakat.
Semua fasilitas umum, sekolah dan tempat kerja harus mematuhi aturan mengenai jaga jarak. Selain itu, harus dipastikan fasilitas untuk mencuci tangan, dan pengecekan temperatur tubuh untuk menghindari penularan sekunder tersedia.
5. Kemampuan untuk mengelola kasus impor
Otoritas perhubungan harus mengantisipasi penularan dari luar negeri atau imported case. Terminal, stasiun, bandara, dan pelabuhan dapat menjadi ‘zona merah’ karena virus itu bisa saja dibawa oleh pendatang. Deteksi dan karantina harus dilakukan dengan cepat.
6. Masyarakat sepenuhnya dididik, dilibatkan dan diberdayakan untuk menyesuaikan diri dengan 'norma baru'.
Ini bagian tersulit. Menumbuhkan kesadaran individu untuk berdiam diri di rumah. Untuk penerapan yang komprehensif, pemerintah harus menjalankan sosialisasi dengan jelas kepada warga negara untuk memastikan setiap aturan dipahami dan dipatuhi. Adanya sanksi bisa menjadi salah satu jalan efektif untuk menegakkan aturan.
Syarat Pencabutan PSBB Versi Epidemiolog Dicky Budiman:
1. Cakupan tes Covid-19 sudah meningkat dan proporsional.
Misalnya 10 ribu tes sehari di Jakarta selama sebulan. Kemudian, pelacakan kasus kontak dengan pasien positif sudah mencapai 90 persen.
2. Isolasi hasil pelacakan kontak.
Misalnya, orang yang kontak dengan kasus positif diisolasi pada satu wilayah untuk menjamin mendapatkan dukungan dari pemerintah.
3. Pemerintah harus mengukur kepatuhan masyarakat dalam menjaga jarak fisik dan sosial.
4. Fasilitas kesehatan sudah memadai
Penulis: Fajar WH
Editor: Firman Hidranto/Elvira Inda Sari
Redaktur Bahasa: Ratna Nuraini