Indonesia.go.id - Keumamah, Si Ikan Kayu Masakan Khas Aceh

Keumamah, Si Ikan Kayu Masakan Khas Aceh

  • Administrator
  • Kamis, 3 September 2020 | 19:52 WIB
KULINER
  Ikan Kayu. FOTO: Pidiekab.go.id

Masakan ikan kayu telah menjadi menu favorit para pejuang kemerdekaan di Bumi Rencong. Selain gurih dan pedas, juga mampu bertahan lama.

Indonesia dikenal dengan ragam kuliner tradisionalnya, termasuk sajian kaya bumbu rempah dan tak sedikit yang bercita rasa pedas. Salah satunya adalah masakan khas Aceh berbahan dasar ikan laut. Namanya eungkot keumamah atau lebih dikenal dengan keumamah. Bahan dasarnya adalah ikan tongkol atau cakalang.

Masakan ini banyak disajikan sebagai menu wajib pada acara kenduri atau hajatan masyarakat setempat. Tak sulit untuk mendapati menu ini di kedai-kedai makan di Bumi Rencong karena bahan baku dan bumbunya mudah didapat. Di Kota Banda Aceh, menu keumamah ini dapat ditemui di pusat kuliner kawasan Blang Padang. Keumamah adalah teman lauk paling enak jika sedang bersantap siang bersama nasi putih yang masih hangat.

Ikan tongkol yang dijadikan bahan masakan berasal dari ikan yang telah dikeringkan selama beberapa hari sehingga nyaris tidak ada lagi kandungan airnya. Sepintas teksturnya yang kering ini membuat ikan lebih mirip seperti kayu. Karena itu ikan kering ini acap disebut sebagai ikan kayu.

Menurut Tengku Rusli, pemilik kedai makan di Pango Raya, Banda Aceh, ikan yang dipilih sebagai bahan keumamah harus ikan yang masih segar. Kemudian ikan tadi dibersihkan isi dalam perutnya dan dibuang bagian kepalanya. Lalu ikan direbus didalam air yang sudah ditaburi garam hingga setengah masak.

Kemudian ikan diangkat dari tempat perebusan memakai wadah kayu serta dikeringkan di terik matahari. Setelah kering, ikan kemudian dibelah menjadi dua bagian untuk dibuang bagian tulangnya. Tak jarang pula yang membelah ikan menjadi 3-4 bagian agar lebih mudah dalam pengerjaan pencabutan tulangnya. Kemudian dijemur kembali dengan cara diikatkan menggantung pada seutas kawat yang dibentangkan seperti tali jemuran. Ini berguna agar kandungan air semakin menetes keluar dari tubuh ikan. Proses seperti ini dilakukan sekitar tiga hari dalam kondisi terik matahari.

Hasilnya, membuat bobot ikan bisa berkurang hingga 70 persen dari berat ketika baru ditangkap. Tetapi jangan khawatir, cita rasa asli dari ikan tongkol yang gurih dan berlemak tetap dapat dirasakan. Ikan kayu ini diyakini mampu bertahan hingga dua tahun untuk bisa dijadikan bahan utama keumamah karena sudah direbus dalam air garam dan melalui proses pengeringan yang lama.

Namun, pasokan ikan tongkol sebagai bahan utama keumamah sangat bergantung kepada ketersediaannya di laut. Ketika sedang musim, maka tak sulit untuk mendapatkan pasokan ikan tongkol. Begitu pula sebaliknya. Hal ini yang dirasakan Tengku Rusli sebagai kendala. Karena itu ia memilih untuk membuat stok ikan kayu guna menghindari kelangkaan bahan baku ikan untuk masakan keumamah.

Untuk dimasak sebagai keumamah, umumnya masyarakat Aceh memakai teknik memasak ditumis kering basah. Bahan ikan kayu tadi diiris tipis-tipis kemudian direndam air panas beberapa menit sebelum dimasak dengan bumbu yang dicampur rempah. Bumbu dasar keumamah adalah cabai rawit, cabai merah, bawang merah, bawang putih, kunyit, ketumbar, jahe, batang serai, dan air secukupnya. Bahan lainnya adalah asam sunti, belimbing wuluh yang sudah dikeringkan kemudian diasinkan. Keumamah bisa juga dicampurkan dengan kentang untuk variasi isinya.

 

Favorit Pejuang Kemerdekaan

Namun siapa sangka, di balik nikmatnya menyantap menu masakan ikan olahan tersebut tersimpan perjalanan sejarah panjang. Yakni, sengitnya perjuangan para tokoh Aceh melawan penjajah di masa lalu. Para pejuang harus bergerilya di hutan-hutan dalam waktu lama, sehingga logistik perang harus selalu ada, termasuk makanan.

Para pejuang Aceh pada masa lalu mengolah ikan kayu. Ikan kayu dijadikan bahan lauk-pauk yang bisa tahan lama, bahkan hingga berbulan-bulan, guna mencukupi kebutuhan gizi pejuang. Inilah cikal bakal munculnya keumamah.

Karena beratnya perjuangan yang dilakukan serta pasukan yang harus berpindah-pindah di hutan, maka para pejuang Aceh menjadikan keumamah tersebut sebagai salah satu cadangan logistik yang praktis dan mudah dibawa ke mana saja. "Ini adalah cara terbaik para pejuang untuk dapat bertahan di dalam hutan," demikian dikatakan Wali Kota Banda Aceh Aminullah Usman.

Tak hanya disantap oleh para pejuang kemerdekaan, di masa lalu para jemaah haji asal Bumi Rencong juga membekali diri dengan masakan si ikan kayu ini. Maklum, ketika itu perjalanan ibadah ke Mekkah memakan waktu hingga 1,5 bulan via laut. Alhasil, para jemaah haji memerlukan makanan praktis dan mudah disantap. Keumamah merupakan salah satu jawabannya.

 

 

 

Penulis: Anton Setiawan
Redaktur: Eri Sutrisno/ Elvira Inda Sari
Redaktur Bahasa: Ratna Nuraini