Indonesia.go.id - Sensasi Nasi Tutug Oncom Khas Tasikmalaya

Sensasi Nasi Tutug Oncom Khas Tasikmalaya

  • Administrator
  • Senin, 21 September 2020 | 07:06 WIB
KULINER TRADISIONAL
  Nasi Tutug Oncom. Foto: Cookpad.com

Awalnya nasi tutug oncom adalah menu makanan harian bagi masyarakat kelas bawah di tanah Sunda pada era 1940-an. Rasanya yang enak membuat lambat laun makanan ini naik kelas.

Nasi merupakan makanan pokok bagi sebagian besar masyarakat di nusantara. Setiap daerah memiliki olahan nasi dengan keunikannya masing-masing. Salah satunya adalah nasi tutug oncom dari Tasikmalaya. Kuliner tradisional khas asal kampung halaman legenda bulutangkis Susy Susanti itu berupa hidangan nasi hangat dicampur dengan oncom bakar.

Dalam bahasa setempat tutug artinya ‘ditumbuk’. Karena itu nasi tutug oncom adalah nasi yang dicampur oncom tumbuk. Nasi TO, demikian makanan ini biasa disebut, harus disajikan dalam kondisi hangat. Perpaduan rasa gurih, asin, dan pulen, terasa saat nasi ini dikunyah di mulut. Jangan lupa berikan sambal goang, yaitu sambal cabai rawit hijau dicampur sedikit garam dan bumbu penyedap pada nasi TO. Pecahan butiran oncom rasa asin seakan meledak di lidah, bersamaan dengan rasa gurih nasi bertabur bawang goreng dipadukan sambal goang. 

Tak hanya sambal goang yang menemani gurihnya nasi TO. Bisa juga ditambahkan lauk pelengkap, seperti telur dadar, ikan asin, ayam goreng, serta lalapan berupa mentimun. Taburan bawang goreng wajib dihadirkan supaya lebih menggugah selera dan membuat nasi lebih wangi. Tak sedikit pula yang menambahkannya dengan cipe, singkatan dari aci tempe atau tempe goreng. Aci adalah sebutan ‘tepung kanji’ dalam bahasa Sunda. 

Untuk menghadirkan nasi TO yang gurih dan nikmat memerlukan proses sedikit rumit. Pemerhati masakan Sunda Andang Firdaus menjelaskan, sebelum dicampur dengan nasi, oncom yang semula dibentuk seperti balok layaknya tempe harus ditumbuk menjadi butiran sedikit kasar serta dijemur di sinar matahari selama sehari. Setelah itu, oncom yang telah kering ditaburi bumbu penyedap seperti kencur, bawang merah, bawang putih, sedikit gula, dan garam secukupnya lalu dijemur kembali. Kemudian oncom dimasak tanpa minyak atau digarang sampai matang.

Pola penyajian nasi TO dilakukan secara langsung dalam kondisi hangat. Oncom olahan yang telah digarang tadi harus langsung dipadukan dengan nasi. Itu karena tutug oncom tak bisa dikonsumsi lebih dari satu hari, apalagi disimpan di kulkas atau freezer. Pasalnya, faktor fermentasi yang berlebih dan bakal berefek samping keracunan bagi yang mengonsumsi.

 

Naik Kelas

Awalnya nasi TO adalah menu makanan harian bagi masyarakat kelas bawah di tanah Sunda. Oncom merupakan makanan asli masyarakat Sunda dengan bahan baku kedelai dan dijual dengan harga sangat terjangkau. Karena itu, oncom pun dijadikan salah satu lauk pendamping nasi oleh masyarakat kelas bawah pada era 1940-an.

Terlebih pada era itu, harga komoditas pokok masyarakat termasuk beras nyaris tak terjangkau masyarakat kelas bawah. Mereka pun mengakalinya dengan mencampurkan oncom dan nasi agar terlihat lebih padat serta banyak.

Rasanya yang enak membuat lambat laun makanan ini naik kelas dan disukai oleh berbagai kalangan masyarakat. TO tidak lagi dikonsumsi secara terbatas oleh kalangan tertentu saja.  Itulah sebabnya, nasi TO kini tak hanya dijual di kios-kios sederhana atau kedai semipermanen.

Sejumlah pengusaha jasa kuliner di Tasik makin bersemangat membangun restoran khusus nasi TO. Tak sedikit dari pengunjung datang bersama keluarga mengendarai kendaraan roda empat. Ini bisa dilihat di kawasan mulai dari Jl Dadaha, tak jauh dari Gelanggang Olahraga (GOR) Susy Susanti, Jl Cikalang Girang, dan juga di Jl Ampera, Kota Tasikmalaya.

Bila sudah disuguhkan dengan menu pelengkap seperti ayam goreng, tahu goreng, tempe goreng, tahu atau tempe bacem, telur dadar, ikan asin ditambah sambal goang dan lalapan, maka sudah tidak layak lagi disebut sebagai makanan masyarakat kelas bawah. Per porsi bisa dihargai antara Rp20.000 hingga Rp35.000. Kendati demikian, kuliner tradisional ini masih bisa dinikmati dengan harga tak lebih dari Rp10.000 sampai Rp15.000 dengan pilihan lauk lebih sederhana.

 

 

 

Penulis: Anton Setiawan
Editor: Eri Sutrisno/Elvira Inda Sari
Redaktur Bahasa: Ratna Nuraini