“Saya tertarik dengan kue khas Batavia atau Betawi ini. Dulu, sering dikasih dan dikirimi asisten rumah tangga saya. Namun sudah lima tahun ini tak lagi makan kue geplak, karena si bibi meninggal dunia. Semasa hidup si bibi sering berbagi kiriman kue geplak buatan kerabatnya dari Condet,” cerita Ria Putri, pegawai di Bursa Efek Jakarta.
Pada akhir Juli lalu Ria bersama suami dan putranya datang ke Monas menyaksikan Festival Lebaran Betawi. Di sana, hatinya girang mendapati kue yang pernah menjadi favoritnya semasa si bibinya masih hidup.
Kue geplak tercatat sebagai salah satu kue khas Betawi yang terbilang langka atau sudah jarang ditemui. Beberapa kawasan atau daerah yang memiliki penduduk mayoritas Betawi seperti Condet, Kemayoran, Rawa Belong, Kelapa Dua, Marunda, Bintaro, Setu Babakan dan sebagainya tentu mengenal dengan baik kue geplak.
Kue geplak menjadi panganan kondang sederetan dengan kue khas atau kuliner asal Betawi lainnya seperti Dodol Betawi, Roti Buaya, Kue Kembang Goyang, Kerak Telor, dan Bir Pletok.
Dalam keseharian kehidupan masa sekarang, kue ini termasuk kue sangat jarang ditemukan bahkan di tempat-tempat penjual kue khas Betawi yang ada di Jakarta. Kue gaplak memiliki citarasa manis, bertekstur lembut dan berselimut atau bertabur tepung. Dalam acara adat masyarakat Betawi seperti hajatan lamaran dan pesta pernikahan, khitanan atau sunatan, dan acara lain biasanya disajikan kue ini.
Menurut penuturan Ibu Lili, warga Batu Ampar Condet yang pernah membuat kue geplak, proses pembuatan kue ini terbilang repot. Apalagi waktu mengaduknya dengan tangan. Setelah diaduk kue dicetak di tenong atau wadah lalu diratakan dengan setengah dipukul.
Konon proses pemukulan ini disebut geplak. Dia menjelaskan pada kue geplak memiliki warna dominan putih kecoklatan. Kue ini terbuat dari beras yang agak pera, kelapa parut, gula merah, gula pasir, daun pandan, dan garam secukupnya.
Cara pembuatan kue geplak; beras pera digiling hingga menjadi tepung lalu disangrai bersama daun pandan hingga berwarna kuning, yang menandakan tepung sudah matang. Lalu sangrai kelapa parut hingga garing berwarna keemasan.
Selanjutnya masak air gula merah dan gula pasir juga daun pandan sampai larut dan disaring. Sebaiknya sisihkan sedikit tepung untuk taburan di atas kue. Kemudian masukan tepung beras dan kelapa sangrai menjadi satu dan beri garam secukupnya.
Kemudian semua bahan yang sudah tercampur diaduk hingga merata. Tahap selanjutnya, masukan larutan gula sedikit demi sedikit sambil terus diuleni diukur supaya tidak lembek dan adonan yang sudah menyatu dan mengental ini bisa dibentuk ke dalam cetakan. Masyarajat Betawi biasanya menggunakan wadah bulat terbuat dari bambu. Kemudian keluarkan dari cetakan lalu taburi sisa tepung yang disisihkan tadi.
Nah, pada proses pengadukannya memakai wadah besar atau baskom besar. Sepintas proses pembuatannya mirip pembuatan dodol. Yang membedakan kalau pembuatan dodol dilakukan di atas tungku api panas, maka kue geplak pengadukannya di wadah atau baskom besar dalam keadaan panas.
Kata Ibu Lili, untuk kekuatan atau daya tahan kue agar bisa bertahan tiga hingga tujuh hari, letakanlah di lemari pendingin. Kue geplak semakin lama membuat rasanya kuat dan renyah atau garing. “Untuk mendapatkan kue geplak bertekstur garing sebaiknya beras digiling sendiri hingga hasilnya kue geplak yang garing,” ujat dia.
Harga untuk kue geplak berkisar mulai Rp 50 ribu ke atas, tergantung ukurannya. Secara umum kue ini berbentuk lingkaran atau seperti lempengan bulat yang bisa diletakan di piring dalam keadan utuh atau dipotong seperti halnya dodol. (K-HP)