Orang Eropa menyebutnya sebagai “buah roti”. Buah ini tidak berbiji dan memiliki bagian bertepung yang jika dimasak menyerupai roti. Orang jawa menyebutnya sebagai Sukun. Orang Aceh juga menyebutnya Sukun. Orang Batak menyebunya sebagai Hatopul. Sedangkan orang Nias menyebutnya sebagai Suku tanpa “n”. Orang Minang menyebutnya dengan istilah Kalawi.
Orang Sasak menyebutnya sebagai Pulur, orang Kaili menyebutnya Kuhuku atau Kulur. Orang Makassar menyebutnya sebagai Bakara, sedangkan Bugis menyebutnya sebagai Baka. Orang Maluku menyebutnya sebagai Hukun atau Suune, Amo, atau Sokon. Sedangkan orang Papua menyebutnya sebagai Kamandi atau Beitu. Nama ilmiahnya adalah Artocarpus Altilis (Lies Suprapti, 2002).
Konon buah Sukun inilah yang mampu membawa moyang-moyang pelaut kepulauan Nusantara bisa mencapai kepulauan pasifik hingga pasifik selatan. Di Hawai dia dikenal dengan nama Ulu, Uru, atau Kuru. Sukun adalah makanan pokok orang-orang Samoa, Fiji, Tonga, dan Micronesia.
Konon leluhur buah Sukun ini asalnya dari Kepulauan Nusantara, tepatnya di Kepulauan Filipina, Kepulauan Maluku, dan Papua. Migrasi suku-suku Austronesia di sekitar 2.000 tahun sebelum Masehi membuatnya berkembang jauh hingga kepulauan Pasifik. Sampainya Sukun ke Pulau Jawa diperkirakan pada masa Kerajaan Majapahit, yang didatangkan dari Maluku sebagai komoditas perdagangan.
Makanan Budak
Buah inilah yang dicari orang Inggris sampai ke Tahiti dalam pelayaran legendaris HMS Bounty pada 1987, pimpinan Captain William Bligh, saat memburu para pembangkang. Sedianya bibit Sukun inilah yang ingin dikembangkan oleh Kerajaan Inggris untuk menjadi makanan pokok bagi budak-budak yang mereka punya di Hindia Barat.
Pelaut sebelumnya Captain James Cook, penemu New Zealand, adalah orang yang pertama kali mencatat adanya buah yang menjadi makanan pokok penghuni kepulauan Pasifik Selatan. Pembudidayaan buah itu diperkirakan akan sangat berguna bagi koloni Inggris di Karibia.
Tahun 1789, ribuan bibit Sukun yang didapat dari Tahiti berhasil dipaketkan ke Hindia Barat (Karibia) dalam kapal HMS Bounty. Walaupun misi utama Bligh adalah memburu pembangkang, pada 1793 dia kembali membawa bibit-bibit Sukun berikutnya yang sukses dikembangkan di kawasan kepulauan Amerika Tengah.
Sukun tidak serta-merta diterima sebagai pengganti makanan pokok seperti kentang yang biasa dimakan. Seiring berjalannya waktu Sukun dengan berbagai cara pengolahan yang berkembang menjadi makanan konsumsi yang pada saat ini telah menjadi komoditas ekspor unggulan ke berbagai belahan dunia.
Sukun masih berkeluarga dekat dengan Keluwih dan Nangka. Mereka disebut sebagai keluarga buah tropis jenis Mulberry. Jika dibuat urutan dari yang paling tua hingga yang paling muda, urutan itu tinggal di balik. Sukun adalah hasil dari seleksi buah-buahan Mulberry yang tidak berbiji. Manusialah yang menjadi faktor suksesnya jenis Keluwih tak berbiji yang mudah diolah dan dikembangkan.
Sukun dapat dimasak utuh atau dipotong-potong terlebih dahulu. Dia bisa direbus, digoreng, disangrai, atau dibakar. Buah yang telah dimasak dapat diiris-iris dan dikeringkan di bawah matahari atau dalam tungku. Itu membuatnya awet dan tahan lama.
Orang-orang di Pasifik Selatan membuat fermentasi kelebihan panen sukun dengan memendamnya ke dalam tanah. Hasil fermentasinya berubah menjadi pasta mirip keju yang awet, bergizi, dan dapat dibuat menjadi kue-kue panggang. Mirip dengan fermentasi tape singkong yang populer di Jawa.
Buah Ekonomis
Secara ekonomis Sukun dapat menghasilkan buah hingga 200 buah per pohon per tahun. Beratnya bisa mencapai setengah hingga satu setengah kilo. Nilai energinya 470-670 KJ per gram. Hanya sedikit di bawah kentang. Nilai ekonomis ini yang membuatnya menjadi makanan murah bagi para Budak di Karibia. Kapasitas produksinya berbeda-beda jika dikembangkan di daerah basah atau kering. Penelitian di kepulauan Barbados memperlihatkan potensi per-hektarnya mencapai 7 hingga 13 ton.
Kandungan buah Sukun meliputi 71% air, 27 % karbohidrat, dan 1% protein. Sangat khas buah tropis. Berenergi tinggi dan sangat mengandung air walaupun rendah protein membuatnya cocok untuk bekal perjalanan jauh.
Di kepulauan Hawai pohon Sukun dikenal sebagai “kayu perahu’. Daging kayunya yang ringan, tidak disukai rayap dan cacing laut membuatnya sangat cocok menjadi tulang-tulang perahu. Bubur kayunya juga bisa dibuat menjadi kertas. Sementara itu getahnya sangat populer sebagai pulut untuk berburu burung dan hewan-hewan kecil lain. Pengolahan lebih jauh bisa dikembangkan menjadi salah satu varian latex atau bahan dasar karet.
Salah satu kandungan kimia dalam bunga sukun atau biasa terlihat di buah Kluwih leluhurnya adalah kemampuannya sebagai antiserangga atau antinyamuk. Di berbagai wilayah Nusantara, daun Sukun dikembangkan sebagai ramuan pengobatan untuk berbagai penyakit dalam, walaupun penelitian tentang ini perlu dikembangkan lebih jauh. (Y-1)