Lopis mengandung suatu nilai filosofis tentang persatuan dan kesatuan seperti tertuang dalam sila ketiga Pancasila.
Biasanya sepekan setelah Hari Raya Idulfitri sebagian besar masyarakat menggelar tradisi syawalan. Hajatan syawalan menjadi bagian dari tradisi khas masyarakat Indonesia sebagai wadah untuk menyambung tali silaturahmi usai menunaikan ibadah di bulan suci Ramadan.
Tak terkecuali bagi masyarakat di sepanjang pantai utara (pantura) Jawa Tengah. Tradisi syawalan ini sempat ditiadakan saat pandemi Covid-19 merebak pada 2020 dan 2021. Seperti di daerah Pekalongan, mereka juga memiliki tradisi unik yang diselenggarakan tiap sepekan setelah Idulfitri, yakni memotong kue lopis raksasa.
Kabar baik, Pemerintah Kota Pekalongan telah mengizinkan tradisi potong lopis raksasa untuk digelar kembali pada lebaran tahun ini. Tradisi syawalan tersebut digelar pada Sabtu 29 April 2023, seminggu setelah perayaan Idulfitri 1444 H.
Bagi masyarakat Pekalongan, tentu tradisi potong lopis raksasa menjadi hal yang paling ditunggu di bulan Syawal karena mampu mempererat tali silaturahmi.
Lopis atau lupis, makanan berbahan dasar ketan khas Krapyak, Pekalongan, memang memiliki daya tarik dan filosofi budaya tersendiri. Lopis mengandung suatu nilai filosofis tentang persatuan dan kesatuan seperti tertuang dalam sila ketiga Pancasila.
Di Kota Pekalongan, lopis hanya dibuat dan dijumpai pada bulan Syawal usai Ramadan. Untuk menemukan pedagang lopis, tidak terlalu sulit. Anda dapat menjumpai para pedagang lopis menjajakan dagangannya di sepanjang jalan Truntum, Jlamprang, dan Jatayu.
“Festival lopis raksasa ini perlu dijaga dan dipelihara bersama sebagai tradisi dan budaya turun-temurun yang dimaksudkan untuk mempererat tali silaturahmi antara warga Krapyak dan dengan masyarakat daerah sekitarnya,” ujar Wali Kota Pekalongan Afzan Arslan Djunaid.
Lopis raksasa untuk tahun ini dibuat setinggi sekitar 2 meter, berat hampir 2 ton, serta lebar 250 cm. Makanan versi jumbo ini diletakkan di Taman Lopis dekat Sungai Krapyak.
Syawalan merupakan kearifan lokal masyarakat Pekalongan sebagai hasil persinggungan Islam dan kultur Jawa. Menurut sejarah asal-muasal tradisi lopis raksasa ada sejumlah pendapat.
Konon, tradisi lopis raksasa dipelopori oleh KH Abdullah Sirodj, ulama asal Krapyak, Putra Martoloyo II. Ia merupakan keturunan Tumenggung Bahurekso, salah satu senopati kerajaan Mataram di Pekalongan yang merupakan tokoh legendaris Babad Pekalongan.
KH Abdullah menjalankan puasa syawal, yakni sehari setelah lebaran pada tanggal 2 hingga 7 Syawal. Tradisi puasa tersebut kemudian diikuti oleh masyarakat Krapyak dan sekitarnya, sehingga mereka tidak saling berkunjung atau melakukan silaturahmi.
Oleh karena itu, masyarakat setempat baru melakukan silaturahmi setelah selesai berpuasa Syawal selama tujuh hari. Mereka kemudian melakukan tradisi potong lopis di daerah tersebut. Kue lopis dipilih untuk menjamu para tamu karena tahan lama dan tidak mudah basi.
Sementara itu, pendapat kedua dikemukakan Dirhamsyah, tokoh pemerhati sejarah budaya Pekalongan. Menurutnya, tradisi potong lopis muncul pada tahun 1950 yang terinspirasi dari pidato Presiden pertama RI Ir Sukarno. Ketika menghadiri rapat akbar di Lapangan Kebon Redjo, 1950, Bung Karno berpesan agar rakyat Pekalongan bersatu seperti lopis. Alasan itu yang membuat masyarakat Pekalongan selalu memotong lopis setiap syawalan.
Sedekah
Lain lagi tradisi syawalan di Demak. Setiap lebaran hari ketujuh Desa Bungo, Kecamatan Wedung, Kabupaten Demak, menggelar tradisi syawalan berupa serangkaian kegiatan berupa larung sesaji atau dikenal dengan sedekah laut.
Hajatan ini merupakan ungkapan rasa syukur masyarakat setempat kepada Allah SWT atas rezeki yang dilimpahkan Allah dari hasil laut yang diperoleh setiap hari. “Untuk serangkaian acara syawalan di Desa Bungo, Kecamatan Wedung ini akan dimulai pada malam 29 April 2023, dilakukan pengajian, selamatan, tahlilan di balai desa. Kemudian di pagi harinya dilaksanakan larungan. Yang dilarung ini biasanya kepala kerbau dan hasil bumi di Tempat Pelelangan Ikan Bungo,” kata Mahmud Riyadh, Kasie Kesra Kecamatan Wedung, seperti dikutip dari laman Pemkab Demak, Kamis (27/4/2023).
Tradisi syawalan masyarakat nelayan di Demak tersebut juga dimeriahkan oleh pentas kesenian ketoprak dan wisata kuliner dari siang hingga malam. Adapun, tradisi syawalan di Kaliwungu, Kabupaten Kendal, diselenggarakan pada hari ke-8 bulan Syawal atau Sabtu, 29 April 2023.
Pada saat itu, masyarakat Kaliwungu dan sekitarnya secara turun-menurun berziarah ke makam wali, ulama, dan kiai.
Awalnya, tradisi syawalan merupakan kebiasaan yang sangat luhur yang diwariskan dari para santri dan kiai terdahulu. Tradisi ini sebagai bentuk penghormatan terhadap guru, yaitu Haul Kiai Asyari yang dikenal dengan Kiai Guru.
Penulis: Kristantyo Wisnubroto
Redaktur: Ratna Nuraini/Elvira Inda Sari