Indonesia.go.id - Penerapan Berkeadilan dan Mengutamakan Keterjangkauan

Penerapan Berkeadilan dan Mengutamakan Keterjangkauan

  • Administrator
  • Kamis, 28 Oktober 2021 | 12:48 WIB
PAJAK KARBON
  Ilustrasi. Mulai 2022, pajak karbon akan diterapkan pada sektor PLTU batu bara dengan menggunakan mekanisme pajak yang mendasarkan pada batas emisi (cap and tax). ANTARANEWS
Hingga 2025, disiapkan dua skema dalam peta jalan pajak karbon. Yakni, skema perdagangan karbon (cap and trade) dan skema pajak karbon (cap and tax).

Tuntutan dunia untuk memerangi perubahan iklim (climate change) terus disuarakan dan tidak bisa dielakkan. Indonesia pun terlibat aktif dalam ikrar bersama melalui Perjanjian Paris 2015.  

Implementasi perjanjian ini tidak dibiarkan berjalan sendiri. Namun, perjanjian itu dikolaborasikan oleh Badan Dunia United Nations Framework Convention on Climate Change (UNFCCC) yang bernaung di bawah PBB.

Di sektor energi, dalam konteks Paris Agreement, Indonesia berkomitmen untuk dapat menurunkan emisi gas rumah kaca (GRK) sesuai dengan Nationally Determined Contribution/NDC pada 2030.

Pada tataran implementasi NDC tersebut, Indonesia sudah menetapkan penurunan emisi GRK melalui skema business as usual (BaU) dengan kemampuan sendiri sebesar 29 persen, dan 41 persen dengan dukungan internasional.

Tuntutan soal lingkungan hijau, termasuk pengurangan emisi juga terdapat di UU Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP) yang baru disahkan DPR dan pemerintah pada Kamis (7/10/2021). Dalam UU soal perpajakan itu, diatur juga soal pajak karbon.

Pengenaan pajak karbon sebagai bagian komitmen Indonesia terhadap green economy mulai berlaku per 1 April 2022. Menurut rencana, pemerintah akan mengenakan pajak karbon sebesar Rp30 per kilogram (kg) karbon dioksida ekuivalen (CO2e) atau satuan yang setara.

Apa sebenarnya pajak karbon itu? Tentu ada sebagian pembaca yang awan dengan istilah tersebut. Pajak karbon merupakan pajak yang dikenakan terhadap emisi karbon yang memberikan dampak negatif bagi lingkungan hidup.

Namun dalam menerapkan pajak karbon, pemerintah tidak berlaku semena-mena. Pemerintah memiliki penahapan dalam pengenaan pajak karbon itu, yakni memperhatikan peta jalan pajak karbon, dan/atau peta jalan pasar karbon.

Peta jalan karbon yang dimaksud yakni memuat strategi penurunan emisi karbon, sasaran sektor prioritas, keselarasan dengan pembangunan energi baru dan terbarukan, dan/atau keselarasan antarberbagai kebijakan lainnya.

Siapa saja yang bisa dikenakan pajak karbon tersebut? Subjek pajak karbon yaitu orang pribadi atau badan yang membeli barang yang mengandung karbon dan/atau melakukan aktivitas yang menghasilkan emisi karbon.

Pajak karbon terutang atas pembelian barang yang mengandung karbon atau aktivitas yang menghasilkan emisi karbon dalam jumlah tertentu pada periode tertentu.

Adapun yang dikategorikan dalam saat terutang pajak karbon, yakni pada saat pembelian barang yang mengandung karbon, pada akhir periode tahun kalender dari aktivitas menghasilkan emisi karbon dalam jumlah tertentu, atau saat lain yang diatur lebih lanjut berdasarkan peraturan pemerintah.

Pengenaan pajak karbon dilaksanakan sebagai berikut:

  • Pada 2021, dilakukan pengembangan mekanisme perdagangan karbon,
  • Lalu tahun 2022 sampai dengan 2024 diterapkan mekanisme pajak yang mendasarkan pada batas emisi (cap and tax) untuk sektor pembangkit listrik terbatas pada pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) batubara, di tahun 2025 dan seterusnya mulai implementasi perdagangan karbon secara penuh dan perluasan sektor pemajakan pajak karbon dengan penahapan sesuai kesiapan sektor terkait dengan memperhatikan, antara lain, kondisi ekonomi, kesiapan pelaku, dampak, dan/atau skala.

Sebagaimana disebutkan di atas, pemberlakuan dan pengenaan pajak karbon berlaku per 1 April 2022. Tentu yang paling banyak terkena dampak dari penerapan pajak karbon adalah sektor kelistrikan, terutama pembangkitan listrik bertenaga batu bara.

Kenapa pajak itu menyasar pada PLTU berbasis batu bara? Seperti disampaikan Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati, Indonesia telah berkomitmen untuk melakukan transisi energi. Salah satunya dengan mengakhiri penggunaan energi batu bara, khusus pada PLTU.

Berdasarkan bahan paparan Menteri Sri Mulyani dalam paripurna pengesahan RUU HPP beberapa waktu lalu diatur, penerapan pajak karbon akan mengedepankan prinsip keadilan (just) dan keterjangkauan (affordable) dengan memperhatikan iklim berusaha dan masyarakat kecil.

 

Siapkan Peta Jalan

Pemerintah juga menyiapkan peta jalan pajak karbon hingga 2025, yang nantinya berlaku dua skema. Yakni, skema perdagangan karbon (cap and trade) dan skema pajak karbon (cap and tax).

Pada skema perdagangan karbon, entitas yang menghasilkan emisi lebih dari cap diharuskan membeli sertifikat izin emisi (SIE) entitas lain yang emisinya di bawah cap.

Selain itu, entitas juga dapat membeli sertifikat penurunan emisi (SPE). Namun jika entitas tersebut tidak dapat membeli SIE atau SPE secara penuh atas kelebihan emisi yang dihasilkan, maka akan berlaku skema cap and tax, yakni sisa emisi yang melebihi cap akan dikenakan pajak karbon.

Adapun peta jalan pajak karbon sudah dimulai tahun ini, yang mencakup penetapan UU HPP, finalisasi Perpres Nilai Ekonomi Karbon (NEK), serta pengembangan mekanisme teknis pajak karbon dan bursa karbon.

Besaran tarif pajak karbon yang ditetapkan yakni Rp30 per kilogram karbon dioksida ekuivalen (CO2e), lebih rendah dari usulan awal yang sebesar Rp75 per kilogram CO2e.

Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia (HAM) Yasonna Laoly pun berjanji, pengenaan pajak karbon akan dilakukan secara bertahap, serta diselaraskan dengan carbon trading sebagai bagian dari roadmap green economy. Hal itu untuk meminimalisasi dampak pengenaan pajak karbon terhadap dunia usaha.

"Untuk tahap awal, mulai 2022, pajak karbon akan diterapkan pada sektor PLTU batu bara dengan menggunakan mekanisme pajak yang mendasarkan pada batas emisi (cap and tax)," ujar Yasonna.

Menurut dia, pengenaan pajak karbon merupakan sinyal kuat yang akan mendorong perkembangan pasar karbon, inovasi teknologi, serta investasi yang lebih efisien, rendah karbon, dan ramah lingkungan.  Dari paparan di atas, tuntutan terhadap memerangi perubahan iklim sudah menjadi tuntutan dunia, Indonesia sebagai bagiannya juga harus memiliki komitmen yang sama.

Instrumen dari komitmen itu adalah dengan pengenaan pajak karbon sehingga target NDC pun bisa terpenuhi.

 

 

Penulis: Firman Hidranto
Redaktur: Ratna Nuraini/Elvira Inda Sari