Transisi energi harus berkeadilan. Transisi energi tidak boleh mengganggu kestabilan sosial dan ekonomi masyarakat.
Transisi energi menjadi salah satu pilar penting dalam tema Presidensi G20 Indonesia tahun 2022. Bukan hanya untuk Indonesia, melainkan bagi negara-negara anggota G20, komunitas global, korporasi, hingga lembaga keuangan. Makanya tak heran, peserta diskusi dalam G20 untuk isu energi ini diikuti oleh ratusan peserta task force dari pemerintahan maupun korporasi dan dari generasi berbeda.
Perlu diketahui, transisi energi adalah masa peralihan penggunaan sumber energi fosil (yang polutif) ke energi baru dan terbarukan yang ramah lingkungan. Untuk berpindah dari penggunaan energi fosil ke energi bersih dinilai perlu adanya anggaran yang besar.
Transisi energi adalah upaya untuk menekan risiko pemanasan global yang dapat mengancam kehidupan di masa depan. Transisi energi juga bisa diartikan sebagai sebuah jalan ke arah transformasi energi global menjadi nol karbon.
Peluncuran Transisi Energi G20 pada Kamis, (10/2/2022), dihadiri Menteri Koordinator Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan mewakili Presiden Joko Widodo. Forum ini diharapkan bisa menjembatani fokus Indonesia mendorong negara maju dan berkembang pada keanggotaan G20 untuk mempercepat proses transisi energi serta memperkuat sistem energi global yang berkelanjutan.
Pada acara peluncuran, Presiden Joko Widodo meminta agar transisi energi dilakukan secara berkeadilan terutama dari segi pendanaan. "Perubahan paradigma pasti akan berdampak pada perubahan pekerjaan, skenario pembangunan, orientasi bisnis, dan lainnya. Jadi, kita ingin yang berkeadilan, yang bebannya berat harus dibantu, yang sudah siap silakan jalan sendiri, selagi membantu yang belum mampu. Ini harus didukung penuh oleh kerja sama global yang kuat. Ini yang akan kita bangun di G20 Indonesia. Inilah yang kita maksud dengan global deal," ujar Presiden Jokowi, dalam sambutannya yang disampaikan Menko Luhut.
Dikatakan pula, transisi energi ini juga tidak boleh mengganggu kestabilan sosial dan ekonomi masyarakat. Perubahan paradigma akan berdampak pada perubahaan pekerjaan, skenario pembangunan, orientasi bisnis, dan lainnya. "Jadi kita ingin yang berkeadilan, yang bebannya berat harus bantu, yang siap silakan jalan sendiri. Kita harus didukung penuh oleh kerja sama yang kuat. Ini yang akan kita bangun di G20," katanya.
Oleh karenanya, tiga isu krusial dibawa dalam pembahasan transisi energi dalam forum itu yaitu akses, teknologi, dan pendanaan. Indonesia sendiri sudah mendorong industri yang lebih hijau. Contohnya, dengan memulai pembangunan Kawasan Industri Hijau di Kalimantan Utara.
"Di sini kita perlu peran investasi dan kontribusi sektor swasta, filantropi, dan bentuk pendanaan inovatif yang bisa mengafirmasi komitmen pendanaan USD100 miliar dari negara maju kepada negara berkembang," katanya.
Transisi Energi G20 diluncurkan sebagai bagian Presidensi G20 Indonesia yang dimulai 1 Desember 2021 hingga KTT G20 di November 2022. Presidensi ini menjadi sangat penting bagi Indonesia sebagai warga global yang mempunyai peran penting mendukung energi bersih dan iklim dunia.
"Forum Transisi Energi diharapkan akan memberikan hasil yang lebih konkret guna memperkuat sistem energi global yang berkelanjutan, serta transisi energi yang berkeadilan dalam konteks pemulihan berkelanjutan," kata Arifin, dalam sambutannya.
Forum juga diharapkan mampu menghimpun komitmen global yang lebih kuat dalam rangka mencapai target global pada akses energi yang ditargetkan Agenda 2030 sebagai Tujuan Pembangunan Berkelanjutan.
"Hasil Utama atau Lighthouse Deliverable inilah yang diharapkan oleh Presidensi Indonesia sebagai tindak lanjut aksi-aksi pasca-COP26 dan Presidensi G20 sebelumnya. Dalam rangka mencapai karbon netral, yang Indonesia telah targetkan pada 2060, atau lebih cepat lagi dengan dukungan riil dari komunitas internasional," jelas Arifin.
Menteri ESDM pun mengajak semua pihak untuk turut serta berkolaborasi aktif menyukseskan Presidensi G20 Indonesia yang mengusung tema utama, yaitu “Recover Together, Recover Stronger”. "Menjadi Presidensi G20 merupakan kesempatan yang sangat langka bagi Indonesia. Marilah kita semua bersama-sama menyukseskan Forum Transisi Energi G20 2022 yang terdiri dari rangkaian pertemuan Energy Transitions Working Group (ETWG) dan Energy Transition Ministerial Meeting (ETMM), serta rangkaian webinar, investment forum, dan event-event paralel lainnya," katanya.
Sementara itu Direktur Eksekutif International Energy Agency (IEA) Fatih Birol mengatakan, sebagai negara berkembang pertama yang memegang Presidensi G20, Indonesia punya pengaruh kuat di kawasan Asia Tenggara atas isu-isu energi global.
"Sebuah kehormatan bagi saya dan IEA untuk mendukung agenda Indonesia. Apalagi saya beserta Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral tengah menjalankan kolaborasi Indonesia-IEA. IEA dipercaya sebagai (salah satu) strategic advisor bagi pemerintah Indonesia dalam Presidensi G20 pada agenda transisi energi," kata Fatih, melalui keterangan yang ditayangkan dalam peluncuran Transisi Energi G20 itu.
Fatih bahkan mengapresiasi secara khusus kebijakan-kebijakan Presiden Joko Widodo dalam mengatasi permasalahan pandemi Covid-19, dan secara spesifik memilih isu transisi energi sebagai agenda utama pada G20. Bagi Fatih, kepemimpinan Presiden Jokowi menghadapi pandemi sungguh menjadi inspirasi bagi para pemimpin dunia. “Saya senang Presidensi G20 Indonesia kali ini mengangkat isu transisi energi ke high level meeting G20,” katanya.
Dukungan terhadap Presiden G20 Indonesia dalam mengusung isu transisi energi juga disampaikan United Nations The Economic and Social Commission for Asia and the Pacific (UN ESCAP). "ESCAP sangat mendukung upaya aspirasi Indonesia sebagai anggota ESCAP, dalam mendorong energi berkelanjutan. Kami akan membantu secara teknis rencana aksi terhadap implementasi energi bersih di negara berkembang, yang difokuskan pada negara-negara kepulauan. Dukungan terhadap Indonesia itu, akan diberikan secara maksimal," ujar Sekretaris Eksekutif ESCAP Arsmida S Alisjahbana.
Sedangkan anggota Komisi VII DPR RI Dyah Roro Esti sebagai salah satu pembicara dalam forum itu mendorong optimalisasi pengembangan teknologi di Indonesia untuk mendukung upaya menekan emisi karbon. Pengembangan teknologi dinilai merupakan suatu hal mutlak untuk mendorong percepatan transisi energi.
Perlu diketahui, 30 persen emisi karbon di Indonesia datang dari sektor energi. Selama ini, sektor itulah yang menghidupi jutaan orang. Oleh karena itu, DPR sebagai fungsi legislator tengah merancang undang-undang tentang energi baru dan terbarukan (EBT) yang lebih berkeadilan.
Penulis: Eri Sutrisno
Redaktur: Ratna Nuraini/Elvira Inda Sari