Sepanjang 2000--2019 diperkirakan pangan yang hilang dan terbuang dapat digunakan memberi makan 61--125 juta orang. Kerugian ekonomi bisa mencapai Rp213 triliun--Rp551 triliun/tahun atau setara dengan 4 --5 persen dari PDB Indonesia.
Garda Pangan merupakan inisiatif kelompok masyarakat yang fokus mengelola sampah makanan di seantero Surabaya, Jawa Timur. Mereka bergerak dan menyelamatkan kelebihan makanan di warung, hotel, restoran, katering perkawinan, hingga hasil petani yang tak laku terjual.
Gerakan itu digagas Dedhy Trunoyudho, seorang pengusaha katering, dalam mengelola makanan yang bersisa atau susut pangan laiknya bank makanan (food bank). Makanan yang berlebih dari mitra-mitra Garda Pangan dari industri kuliner dan perhotelan akan diperiksa kembali kualitasnya, dikemas ulang, lalu dibagikan kepada masyarakat prasejahtera di Surabaya.
Untuk menjamin keamanan dan kesehatan dari makanan tersebut, Garda Pangan menerapkan SOP yang ketat untuk memastikan makanan ditangani secara higienis dan disalurkan secara bermartabat. Pun demikian, di Jakarta gerakan menyelamatkan kelebihan makanan dilakukan perusahaan swasta bekerja sama dengan komunitas penyelamat sampah makanan.
Sejak 2020, Bank DBS Indonesia meluncurkan kampanye #MakanTanpaSisa untuk mendukung visi Towards Zero Food Waste. Kampanye ini telah berhasil menyelamatkan makanan dari tempat pembuangan akhir (TPA) sebanyak 554.882 kilogram pada 2023.
Pada 2024, Bank DBS Indonesia dan DBS Foundation berkolaborasi untuk meluncurkan program Food Rescue Warrior. Mereka menggandeng FoodCycle Indonesia, lembaga swadaya masyarakat (LSM) yang berfokus pada penyelamatan makanan dan manajemen sampah makanan, serta Jangjo, startup manajemen sampah makanan.
Tumbuhnya kesadaran masyarakat mengelola makanan berlebih tersebut merupakan upaya penting dalam agenda pengelolaan pangan berkelanjutan. Sesuai Peta Jalan Pengelolaan Susut dan Sisa Pangan dalam Mendukung Pencapaian Ketahanan Pangan Menuju Indonesia Emas 2045 yang disusun Bappenas, gerakan itu menjadi kunci untuk menghadapi tantangan global. Khususnya, yang terkait ketahanan pangan, perubahan iklim, dan pembangunan ekonomi.
Indonesia, sebagai negara berpenduduk lebih dari 270 juta jiwa, dengan populasi yang terus bertambah dan urbanisasi yang meningkat, kebutuhan untuk memastikan ketersediaan pangan yang aman, bergizi, dan terjangkau semakin mendesak. Pengelolaan pangan berkelanjutan merujuk pada target tujuan pembangunan berkelanjutan (Sustainable Development Goals/SDGs) pada 2030, nomor dua, "Tanpa Kelaparan" dan nomor 12, "Konsumsi dan Produksi yang Bertanggung jawab".
Berdasarkan laporan studi Bappenas (2021), jumlah susut dan sisa pangan (SSP) di Indonesia selama kurun waktu 2000--2019 diperkirakan sebesar 20,5 juta ton untuk susut dan 20 juta ton untuk sisa pangan. Sedangkan data Kementerian Hidup dan Kehutanan (KLHK) menunjukkan sampah makanan berkisar antara 22--23 juta ton per tahun selama periode 2019-2023, mencakup sekitar 48 --49 persen dari estimasi total susut dan sisa pangan nasional.
Susut dan sisa pangan terbesar di Indonesia pada 2000--2019 adalah padi/beras, diikuti oleh sayur dan buah-buahan. Diperkirakan pangan yang hilang dan terbuang dari komoditas tersebut dapat digunakan memberi makan 61--125 juta orang (29--47 persen penduduk Indonesia) dengan kerugian ekonomi mencapai Rp213 triliun--Rp551 triliun/tahun atau setara dengan 4 --5 persen dari PDB Indonesia.
Untuk itu, pemerintah membentuk Badan Pangan Nasional (Bapanas) sebagai lembaga yang mengoordinasikan soal penyelamatan sisa pangan tersebut. Kepala Bapanas Arief Prasetyo Adi menegaskan komitmen bersama dengan para pemangku kepentingan pangan untuk menurunkan angka susut dan sisa pangan. Ini merupakan bagian dari komitmen Indonesia kepada dunia dan meningkatkan kesadaran akan pentingnya pengurangan susut dan sisa pangan.
Metode Perhitungan
Salah upayanya adalah dengan membuat Metode Baku Perhitungan Susut Pangan pada Petani dan Metode Baku Perhitungan Sisa Pangan pada Ritel. “Hari ini fokusnya mengenai (metode baku) perhitungan susut pangan, itu di hulu, dan sisa pangan di hilir, tapi ini bukan tujuan utama, perhitungan dengan metode ini mengantarkan kita agar susut dan sisa pangan betul-betul terukur dan dapat terus diturunkan atau dikurangi. Jadi jangan sampai produksi yang sudah diupayakan itu banyak yang terbuang, dan juga nanti sampai di meja makan juga terbuang karena tidak dikonsumsi,” ungkap Kepala Bapanas Arief, dalam peluncuran Metode Baku Perhitungan Susut Pangan pada Petani dan Metode Baku Perhitungan Sisa Pangan pada Ritel di Jakarta (24/9/2024).
Turut hadir perwakilan Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional (PPN)/Bappenas, bersama tiga mitra Koalisi Sistem Pangan Lestari (KSPL) yakni Garda Pangan, Parongpong RAW Lab, dan World Resources Institute (WRI) Indonesia. Susut pangan sendiri merupakan penurunan kuantitas pangan yang terjadi pada proses menghasilkan, menyiapkan, mengolah, membuat, mengawetkan, mengemas, mengemas kembali dan/atau mengubah bentuk pangan.
Sementara itu, sisa pangan merupakan pangan layak dan aman untuk dikonsumsi manusia yang berpotensi terbuang menjadi sampah makanan pada tahap distribusi dan konsumsi. Dengan adanya metode baku ini, pemerintah pusat dan daerah, pelaku usaha pangan, penyedia pangan, dan pemangku kepentingan lainnya dapat melakukan analisis yang lebih tepat dan akurat.
“Sehingga kebijakan yang disusun dapat diarahkan lebih efektif, menangani titik-titik kritis di sepanjang rantai pasok pangan, dan memberikan solusi yang lebih strategis,” tambah Kepala Bapanas.
Deputi Kerawanan Pangan dan Gizi Bapanas Nyoto Suwignyo menjelaskan, metode ini telah diujicobakan kepada pemerintah daerah yang melibatkan instansi yang menangani pangan dan Bappeda di 15 provinsi pelaksana kegiatan Gerakan Selamatkan Pangan. Kepala Sekretariat KSPL Gina Karina mengatakan bahwa kedua metode baku yang diluncurkan hari ini disusun berdasarkan dokumen Food Loss and Waste Protocol yang diluncurkan oleh 7 organisasi nonprofit terkemuka dunia pada 2013 lalu. Dokumen tersebut berisi metode perhitungan yang didasarkan pada kondisi di tingkat global. Pihak KSPL pun berharap hal ini dapat menjadi langkah awal untuk mencapai target utama dari susut dan sisa pangan sebesar 50 persen di 2030 dan 75 persen pada 2024.
Penulis: Kristantyo Wisnubroto
Redaktur: Ratna Nuraini/TR