Rabu 10 April 2019 adalah hari yang akan terus dikenang dalam sejarah kemajuan manusia. Pertama kalinya dalam sejarah, manusa mampu memotret lubang hitam. Memotret objek yang berjarak puluhan juta tahun cahaya adalah pekerjaan yang luar biasa. Kolaborasi para ilmuwan dalam projek yang bernama Event Horison Telescope (EHT) telah menjadi berita utama seluruh dunia.
Yang berhasil dipotret sebenarnya bukan lubang hitam. Gelombang radio yang berhasil ditangkap berasal dari sebuah jarak melingkar yang berputar di sekeliling sebuah objek yang memiliki massa atau kepadatan yang luar biasa. Saking padatnya, jika lewat jarak itu, tidak ada lagi hukum ruang dan waktu seperti semula. Dan tidak ada satu benda pun yang kuasa melawan gravitasinya, tidak kecuali cahaya.
Jarak melingkar itu dinamakan Event Horizon atau Horison Peristiwa. Di dalam lingkar horison peristiwa itulah terdapat objek luar biasa padat yang dinamakan Lubang Hitam. Tri Laksamana Astraatmadja, Doktor Astrofisika dari Leiden, yang kini menjadi peneliti di Carnegie Institution for Science, Washington DC, menggambarkan kepadatan itu bagaikan memampatkan matahari menjadi bola berdiameter 3 kilometer.
Seratus tahun yang lalu, Einstein telah membayangkan sebuah objek dengan kepadatan luar biasa yang mampu mengubah formasi ruang dan waktu. Kondisi itu memunculkan lubang hitam yang menghisap semua yang ada di sekitarnya, tidak terkecuali cahaya. Tetapi dalam jarak tertentu cahaya bisa melengkung melewatinya. Dia menulis dalam sebuah persamaan matematika.
Sejak abad pertengahan, manusia telah mengembangkan kemampuan menangkap cahaya bagi penglihatan manusia. Sebuah manual menangkap cahaya pertama kali ditulis oleh Alhazen dalam catatan yang berjudul “Camera Obscura”. Abu Ali Al Hasan Ibnu Al-Haitsam alias Alhazen adalah ilmuwan yang hidup di Basrah, pada masa Dinasti Abbasiyah di abad 10 M. Roger Bacon, filsuf Inggris, di abad 13 M, menulis De Scientia Perspectiva setelah menerjemahkan manual Alhazen yang didapat dari naskah Cordoba.
Manual itu juga yang mengilhami Cardano Geronimo di abad 16 M mengembangkan teknologi lensa. Selanjutnya muncul Giovanni Batista della Porta, Galileo Galilei, dan Joseph Kepler di abad 17 M mengembangkan lensa yang lebih besar meneropong angkasa.
Pengamatan tekun terhadap benda-benda angkasa berhasil ditulis oleh pendeta John Michell di abad 18 M. Salah satu pengamatannya menggambarkan sebuah benda angkasa yang padat luar biasa dan menyedot segalanya. Pengamatan itu dia dapatkan setelah mengamati fenomena bintang ganda. Tak kurang dari William Herschel asal Jerman dan Perre Simon Laplace dari Prancis juga mengemukakan ide yang sama.
Sampai menjelang perang dunia kedua prinsip-prinsip “Camera Obscura” masih menjadi dasar pembuatan teleskop yang dipasang di berbagai observatorium. Penemuan teknologi radar dan penyempurnaan prinsip bidang lengkung penangkap partikel cahaya adalah pembeda zaman berikutnya.
Teropong Sebesar Dunia
Pada prinsipnya, untuk melihat sebuah objek yang sangat-sangat jauh, sejauh jutaan tahun cahaya, tentu memerlukan teleskop atau teropong raksasa. Hal itulah yang dilakukan oleh projek Event Horizon Telescope. Dengan menggabungkan teknologi teleskop paling mutakhir yang ada di delapan lokasi dunia, mereka menciptakan teropong sebesar dunia.
Kedelapan teropong itu tersebar di berbagai negara. ALMA dan APEX di Gurun Atacama, Chile, IRAM di Spanyol, James Clerk Maxwell Telescope dan Submillimeter Array di Hawai, Large Millimeter Telescope Alfonso Serrano di Meksiko, Submillimeter Telescope di Arizona, dan South Pole Telescope di Antartika.
Gabungan kerja delapan teropong hanya bisa dilakukan dengan kolanborasi alias gotong-royong. Melalui teknik Very Long Baseline Interferometry (VLBI), sinyal-sinyal gelombang radio dengan panjang gelombang 1,3 mm yang berasal dari pusaran semburat cahaya (jet) di sekitar horison peristiwa (Event Horizon) bisa diselaraskan. Daya teropongnya sangat tinggi, 20 mikro detik busur. Kemampuan ini mengibaratkan seseorang dari bumi bisa melihat bendera yang ditancapkan astronom di bulan.
Lubang Hitam yang diteropong berjarak 55 juta tahun cahaya. Namanya Messier 87, disingkat M87. Letaknya berada di gugus Virgo. Objek ini adalah lubang hitam super raksasa yang sinyal-sinyal gelombang radionya lebih mudah ditangkap oleh EHT.
Sebenarnya ada satu lagi yang diteropong yang berada di tengah galaksi Bimasakti atau Milky Way. Jaraknya 25 ribu tahun cahaya dengan nama Sagitarius A. Walaupun relatif dekat, lubang hitam "tetangga" bumi ini ternyata ribuan kali lebih kecil, dan ribuan kali lebih cepat geraknya. Hal ini yang menyebabkan penangkapan wujudnya masih memerlukan proses lebih lama.
Gotong-Royong Multistakeholder
Projek besar ini melibatkan 13 (tiga belas) lembaga pengusung (stakeholder) dan 62 (enam puluh dua) lembaga yang terafiliasi. Dalam publikasi “The Astrophysical Journal Letters”, Volume 875, Number 1, tercatat 218 (dua ratus delapan belas) ilmuwan dan peneliti yang berkolaborasi dalam kerja besar ini.
Katie Bouman, 29 tahun, adalah salah seorang peneliti yang beruntung bisa mewakili tim untuk menyampaikan capaian bersejarah ini kepada publik. Sarjana komputer dari MIT ini, dua tahun sebelumnya telah berbicara di depan forum TEDX dengan tema bagaimana cara mengambil gambar sebuah Lubang Hitam. Dalam paparan yang ditonton hampir 3 juta penonton itu, Katie tidak kuasa menyembunyikan suka citanya dalam pekerjaan besar ini.
Dalam kerja besar itu, Katie adalah seorang Imaging Data Scientist. Secara sederhana yang dilakukan oleh Katie adalah mengembangkan algoritma yang mampu memunculkan gambar dari sinyal-sinyal digital yang ditangkap teleskop raksasa. Dia mengembangkan teknik pengujian berbagai asumsi yang dia tuangkan di dalam algoritma tersebut. Pengujian itu juga menggunakan pendekatan machine learning untuk "membersihkan" berbagai distorsi yang muncul dari begitu besarnya data yang harus diproses.
Hasil pengujian tersebut kemudian dianalisis kembali oleh empat tim yang berbeda untuk memastikan bahwa gambar yang dihasilkan benar-benar tidak diragukan lagi. Dalam wawancara dengan BBC, Katie Bouman menegaskan bahwa tim ini adalah tempat meleburnya ahli astronomi, ahli matematika, ahli fisika, dan ahli teknik yang memungkinkan tercapainya hal yang sebelumnya seperti mustahil.
Avivah Yamani, penulis astronomi yang pernah bekerja di Planetary Science Institute, dalam situs http://langitselatan.com, menjelaskan bahwa projek EHT ini telah dirintis sejak sepuluh tahun yang lalu. Kurang lebih 40 negara terlibat dalam pekerjaan ini. Setelah melalui berbagai tahap mulai dari persiapan hingga pemenuhan segala kelengkapan infrastruktur kerja besar ini mulai mengarahkan pengamatan pada objek M87, sejak 5 April 2017.
Lima Hari Pengintaian
Berapa besar data yang diperlukan untuk menghasilkan sebuah gambar lubang hitam? Chris Mellor dalam tulisannya di http://theregister.co.uk menjelaskan setidak-tidaknya perlu lebih dari 1.000 hard disk untuk merekam data pengamatan. Hard disk yang digunakan juga tidak sembarangan karena lokasi perekaman adalah daerah ekstrim yang memerlukan perangkat yang tahan cuaca.
Proses perekaman data dilakukan selama lima malam, antara 5 sampai 11 April 2017. Observasi dilakukan saat cuaca benar-benar kondusif dan menghasilkan pengamatan yang maksimal. Dari delapan teleskop raksasa yang dipergunakan, tiap teleskop menghasilkan 350 Terabytes per hari. Tiap teleskop membutuhkan setidak-tidaknya 128 hard disk. Jadi keseluruhan yang dipergunakan adalah 128 x 8 sama dengan 1.024 hard disk. Jika ditotal ke delapan teleskop raksasa menghasilkan 5.000 terabytes atau 5 petabytes.
Proses pengolahan data, penghitungan, dan penyelarasan dengan tingkat presisi yang tinggi ternyata merupakan pekerjaan yang paling menghabiskan waktu. Kurang lebih dua tahun sejak perekaman data digital proses pemerian data akhirnya menghasilkan citra yang monumental.
Dengan segala upaya yang begitu rupa apa sebenarnya arti penting dari pengamatan lubang hitam? Menurut Avivah Yamani, keberhasilan memotret lubang hitam ini adalah bukti bahwa konsep matematika (Einsten) berhasil ditransformasikan ke dalam pengamatan sebuah objek fisika. Keberhasilan ini memungkinkan dilakukannya pengujian, pengukuran, dan pengamatan yang berulangkali untuk memunculkan berbagai pengetahuan baru. Inilah dasar yang paling penting dari sains. (Y-1)