Indonesia.go.id - Perekonomian Indonesia Tetap Ekspansif Akseleratif

Perekonomian Indonesia Tetap Ekspansif Akseleratif

  • Administrator
  • Minggu, 30 Juli 2023 | 21:02 WIB
APBN
  Kondisi keuangan negara atau Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) Juni 2023 membukukan kinerja positif dengan surplus Rp152,3 triliun. Salah satunya berasal dari pajak. ANTARA FOTO/ Dhemas Reviyanto
Sri Mulyani pun mewanti-wanti soal perlambatan ekonomi global terus berlanjut dan telah memberikan efek ke ekonomi Indonesia.

Kondisi perekonomian global masih tetap mengalami pelemahan. Indikator itu terlihat dari perekonomian sejumlah negara yang memiliki pengaruh besar, seperti Amerika, Eropa, Jerman, Prancis, Inggris, Jepang, dan Korea yang mengalami kontraksi.

Harus diakui, kondisi negara-negara tersebut memberikan pengaruh bagi perekonomian dan perdagangan dunia. Di tengah kondisi ekonomi dunia yang seperti itu, Indonesia bersama Turki, dan Meksiko masih dapat terus bertahan pada posisi ekspansi akselerasi.

Sinyalemen di atas juga tergambarkan dari pernyataan Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati dalam konferensi pers APBN Kita, Senin (24/7/2023).  Menurut Menkeu, kinerja keuangan negara atau Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) Juni 2023 membukukan kinerja positif dengan surplus Rp152,3 triliun. 

Posisi surplus tersebut, lanjutnya, merupakan realisasi sepanjang Januari--Juni 2023 atau semester I-2023.  “Posisi APBN hingga semester I-2023 posisi surplus Rp152,3 triliun atau (deficit) 0,71 persen dari PDB. Jangan lupa bahwa APBN 2023 tetap didesain dengan posisi postur defisit,” tambahnya.

Adapun dia mencatat, tren posisi surplus APBN Juni 2023 tersebut terpantau menurun jika dibandingkan capaian Mei 2023 yang senilai Rp204,3 triliun dan April sebesar Rp234,7 triliun.  Lebih lanjut, Sri Mulyani menjelaskan bahwa kinerja APBN semester I-2023 tersebut tetap solid dan baik dengan pendapatan negara yang mencapai Rp1.407,9 triliun, tumbuh 5,4 persen secara tahunan (year on year/yoy). 

“Ini sudah relatif lebih normal karena sebelumnnya kita selalu melihat pendapatan negara pertumbuhannya tinggi, double digit,” tambahnya. 

Pada kesempatan itu, dia juga menjelaskan belanja negara tercatat mencapai Rp1.255,7 triliun atau 41 persen dari target APBN tahun ini, naik tipis 0,9 persen (yoy). Di sisi keseimbangan primer tercatat berada pada posisi Rp368,2 triliun. 

Sri Mulyani optimistis, dengan kondisi keuangan negara tersebut defisit dapat terjaga, bahkan dapat diturunkan.  “Hingga pertengahan tahun, posisi positif ini memberikan keyakinan bahwa defisit tahun ini masih bisa kita jaga bahkan kita turunkan,” ujarnya.

Di tengah-tengah masih tumbuhnya optimisme soal kinerja keuangan negara, Menteri Keuangan Sri Mulyani pun mewanti-wanti soal perlambatan ekonomi global yang terus berlanjut dan telah memberikan efek ke ekonomi Indonesia.  Hal itu tergambarkan dari indikator Purchasing Manager Index (PMI) manufaktur.

Dari sejumlah negara yang dimonitor, sebanyak 61,9 persen mengalami kontraksi atau level PMI di bawah 50 poin. Bahkan negara-negara yang memiliki peran besar terhadap ekonomi dunia, seperti Amerika Serikat (AS), Eropa, Jerman, Prancis, Inggris, Jepang, hingga Korea menunjukkan PMI yang terkontraksi. 

 “Sehingga pelemahan PMI ini perlu diwaspadai, apakah kecenderungan akan terus melemah dan mempengaruhi kinerja perekonomian global,” ujarnya.

Dari dalam negeri, Indonesia sendiri masih mencatatkan kinerja yang ekspansif bahkan akseleratif pada Juni 2023 dengan PMI manufaktur di posisi 52,5. 

Dia menyebutkan bahwa Indonesia bahkan telah mempertahankan level ekspansif selama 22 bulan berturut-turut.  Sri Mulyani menyampaikan bahwa kondisi tersebut menjadi bukti bahwa Indonesia terus bertahan pada posisi ekspansi bahkan ekspansi akselerasi.

 

Patut Waspada

Di sisi lain, sebagian besar negara-negara yang merupakan pelaku ekonomi dunia mengalami kontraksi. “Ini yang kita perlu waspadai,” ujarnya. 

Tren dunia itu tergambarkan di kondisi ekspor impor Indonesia yang terkontraksi pada Juni 2023. Seperti halnya kinerja impor yang turun tajam sebesar 18,3 persen dibandingkan Mei 2023. Hal tersebut menjadi cerminan penurunan permintaan di tingkat global.

Dalam konteks yang lebih makro, Indonesia juga perlu memantau hasil rapat Federal Open Market Committee (FOMC) The Fed yang berlangsung pada 25-26 Juli 2023. Pasalnya, apa pun kebijakan The Fed yang akan keluar, bisa dpastikan akan mempengaruhi berbagai sentimen termasuk sektor keuangan dalam negeri. 

Meski The Fed terus mengerek suku bunga, Sri Mulyani menilai kondisi sektor keuangan Indonesia cukup resilient, tercermin dari imbal balik atau yield dari surat berharga negara (SBN) Indonesia terus mengalami perbaikan. “Indonesia tetap resilient dengan berbagai kebijakan yang terjadi di level global terutama negara maju yang pengaruhnya sangat besar terhadap ekonomi global,” katanya.

Menurutnya, hal yang harus diperhatikan adalah kebijakan moneter The Fed yang akan merespons penurunan inflasi headline AS meski telah turun ke posisi 3 persen.  Sementara itu, inflasi inti di Negeri Paman Sam tersebut masih dianggap cukup tinggi pada level 4,7 persen. 

Sri Mulyani menilai hal tersebut akan menjadi pertimbangan dalam The Federal Open Market Committee (FOMC) Juli yang dikabarkan akan menaikkan suku bunga sebesar 25 bps.  Sebagaimana diberitakan sebelumnya, FOMC diperkirakan akan menaikkan suku bunga seperempat poin ke kisaran 5,25 persen hingga 5,5 persen. Kenaikan tersebut menjadi yang ke-11 kalinya dalam 16 bulan terakhir.  

Berkaitan dengan kinerja pajak, Menkeu Sri Mulyani Indrawati mengumumkan penerimaan negara dari pajak masih menunjukkan kinerja yang menggembirakan di tengah situasi perekonomian global yang redup. Penerimaan pajak hingga akhir Juni 2023 tercatat mencapai Rp970,2 triliun.

Jumlah itu setara dengan 56,47 persen dari target APBN 2023. Capaian penerimaan ini pun tumbuh sebesar 9,9 persen secara tahunan. Menkeu mengungkapkan, kinerja penerimaan dari pajak di paruh pertama 2023 masih tumbuh positif, meski laju pertumbuhannya mengalami normalisasi.

“Kalau kita lihat kinerja penerimaan pajak semester 1 masih terjaga tumbuh positif, tapi rate of growth-nya terus mengalami normalisasi atau penurunan,” ujar Sri Mulyani.

Jika dirinci, capaian Pajak Penghasilan (PPh) nonmigas tercatat Rp565,01 triliun atau 64,67 persen dari target. Pajak ini tumbuh 7,85 persen jika dibandingkan dengan periode yang sama di tahun sebelumnya. Selanjutnya, penerimaan pajak Pertambahan Nilai (PPN) dan Pajak Penjualan Barang Mewah (PPnBM) hingga akhir Juni 2023 tercatat sebesar Rp356,77 triliun atau 48,02 persen dari target. Angka capaian ini juga tumbuh 14,63 persen.

Sedangkan, Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) dan pajak lainnya yang berhasil dikumpulkan mencapai Rp7,50 triliun atau 18,74 persen dari target. Capaian ini juga mengalami pertumbuhan sebesar 54,41 persen.

Sementara itu, PPh Migas tercatat Rp40,93 triliun atau 66,62 persen dari target. PPh Migas mengalami kontraksi 3,86 persen. "Kalau kita lihat dari sisi komposisinya, kita lihat sebagian yang mengalami penurunan yang disumbang dari sejumlah komoditas,” jelas Menkeu.

 

Penulis: Firman Hidranto
Redaktur: Ratna Nuraini/Elvira Inda Sari