Perairan Indonesia yang beriklim tropis dan hangat kerap disinggahi hiu paus dan membentuk koloni. Seperti di Sumbawa, Probolinggo, dan Bone Bolango.
Ikan hiu paus atau whale shark adalah salah satu spesies terbesar dalam keluarga hiu (Rhincodontidae). Ciri khas ikan bernama latin Rhincodon typus tersebut memiliki ukuran tubuh yang besar, pejantan dewasa umumnya antara 7--10 meter atau setara panjang bus pariwisata kapasitas 45 penumpang, kira-kira 5--6 kali ukuran tubuh manusia normal. Hiu paus betina bahkan ukuran tubuhnya jauh lebih besar bisa mencapai 12 meter.
Plankton menjadi makanan favorit cucut geger lintang, julukan masyarakat Jawa untuk ikan yang memiliki banyak bintik putih mirip taburan bintang di langit pada sekujur tubuhnya. Sebagai pemakan plankton, hiu paus yang memiliki lima pasang insang ukuran besar itu menyaring air laut melewati mulutnya yang superbesar, nyaris selebar 1,5 meter.
Tak seperti hiu putih dengan gigi yang besar dan tajam laksana pisau, gigi hiu paus justru terlihat sangat kecil dan berjumlah 300--350 buah. Selain plankton, hiu paus juga senang mengonsumsi ikan-ikan kecil, seperti teri dan nike, serta sangat jinak.
Mamalia ini hidup berkelompok mengembara di samudra tropis dan lautan beriklim hangat serta mampu berumur panjang, sampai usia 70 tahun. Makhluk yang dipercaya berasal dari era 60 juta tahun lampau tersebut juga mudah ditemui di seluruh perairan Indonesia, Filipina, hingga ke Taiwan.
Tidak ada angka pasti berapa banyak populasi hewan ini di Indonesia. Hanya saja, perairan Nusantara yang subur dengan ekosistem ikan-ikan kecil dapat dipastikan menjadi lokasi paling sering disinggahi raksasa pengembara samudra ini. Misalnya di Kalimantan Timur, Teluk Cenderawasih Papua, dan Teluk Saleh Sumbawa (Nusa Tenggara Barat), Probolinggo (Jawa Timur), dan Teluk Tomini di Gorontalo.
Bagi para pecinta olahraga menyelam, hiu paus adalah sahabat ketika di dalam laut karena tidak pernah mengganggu bahkan menyerang. Sayangnya, dengan tubuh tambunnya itu hiu paus tak mampu berenang cepat dan acap tersangkut jaring nelayan atau tubuhnya terluka akibat terkena baling-baling (propeller) perahu.
Di masa lalu, nelayan acap merasa jengkel oleh ulah hiu paus tersebut. Hewan bertubuh besar itu bahkan pernah dianggap hama lantaran kerap memakan hasil tangkapan nelayan, yaitu ikan-ikan kecil, yang juga menjadi santapan si cucut geger lintang. Apalagi ikan ini lambat dalam bereproduksi dan hanya menghasilkan anakan yang sedikit dan pertumbuhannya pun lambat.
Baru sejak terbitnya Peraturan Menteri Perikanan dan Kelautan nomor 18 tahun 2013 tentang Perlindungan Penuh Hiu Paus, setiap bentuk eksploitasi terhadap ikan ini dilarang. Pengamat perikanan dan kelautan Universitas Mataram Mahardika Himawan Rizki seperti dikutip dari Mongabay menjelaskan, pemerintah telah mengedukasi beberapa daerah yang menjadi tempat kemunculan hiu paus sebagai objek wisata khusus seperti di Teluk Saleh dan Teluk Tomini.
Kedatangan wisatawan untuk melihat ikan besar ini secara tak langsung telah mengangkat kesejahteraan masyarakat dan para nelayan di sekitar objek kemunculannya. Jasa penyewaan perahu dan alat menyelam tumbuh subur. Para pemilik bagan juga turut kecipratan uang dari kehadiran wisatawan yang ingin melihat dari dekat kehadiran hiu paus atau menyelam di sekitar bagan. Tentu saja mereka harus membayar sejumlah rupiah kepada pemilik bagan, seperti yang terjadi di sekitar Teluk Saleh.
Hal itu turut ditunjang oleh semakin baiknya kesadaran para nelayan dalam memperlakukan hiu paus terutama saat terjerat jaring mereka. "Kesadaran nelayan yang daerahnya menjadi lokasi kemunculan hiu paus saat ini memang sudah bagus. Sesekali hiu paus mengejar makanan mereka dan terjerat jaring nelayan yang kemudian melepaskannya kembali," ujar Mahardika.
Upaya Konservasi
Kondisi serupa juga terjadi di kawasan Teluk Tomini, tepatnya di perairan yang berada di Desa Botubarani, Kecamatan Kabila Bone, Kabupaten Bone Bolango, Gorontalo. Jika di Teluk Saleh, para wisatawan harus berjuang dengan menyeberangi perairan selama sekitar dua jam untuk sampai ke lokasi kemunculan hiu paus, maka tidak demikian di Botubarani.
Soalnya, di tempat ini pengunjung hanya cukup menaiki perahu nelayan dan berlayar sekitar 100 meter saja dari bibir pantai sudah dapat berjumpa dengan makhluk raksasa yang disapa munggiango hulalo oleh masyarakat setempat ini. Semua berawal dari peristiwa yang terjadi pada pertengahan Mei 2016 ketika para nelayan dikejutkan oleh kemunculan setiap hari dari hiu paus.
Kendati makhluk laut ini sudah sering muncul di Botubarani sejak dua tahun sebelumnya, kehadiran hampir setiap hari dalam jumlah cukup banyak, mencapai 10 ekor dan berenang hingga ke tepi pantai, menjadi pemandangan tersendiri bagi warga terutama dari luar desa. Terlebih setelah beberapa dari mereka merekam dan menyebarkannya ke berbagai media sosial hingga viral.
Maka, kian hari makin banyak orang datang untuk menyaksikan fenomena menarik ini. Kemunculan hiu paus setiap hari turut ditunjang oleh kehadiran pabrik pengolahan udang di pesisir Botubarani. Apalagi pabrik kerap membuang potongan udang ke laut dan menjadi santapan hiu paus. Satu sisi, kemunculan hiu paus hampir setiap hari dan kedatangan masyarakat untuk berwisata menyaksikan hewan jinak itu memberi berkah bagi nelayan dan penduduk sekitar.
Tetapi di sisi lain, membludaknya wisatawan bahkan sampai 10.000 orang per bulan hanya untuk menonton dari atas perahu atau nekat berenang mendekati ikan hiu paus menimbulkan kecemasan dari para nelayan. Mereka khawatir jika hal itu dibiarkan, bukan tidak mungkin hiu paus akan pergi dari Kawasan Konservasi Perairan Daerah (KKPD) seluas 35 hektare tersebut dan bakal berdampak kepada periuk nasi keluarga.
Gonzalo Araujo, guru besar bidang kelautan asal Argentina dan telah 10 tahun meneliti makhluk besar lautan seperti hiu paus di seluruh dunia, bahkan sampai terjun langsung ke Botubarani untuk meneliti dan mengedukasi masyarakat sekitar. Seperti dia sampaikan di dalam jurnal kelautan milik Marine Research and Corservation Foundation, hiu paus di Teluk Tomini telah membantu pariwisata berkelanjutan di daerah tersebut. Ia juga meminta agar mempertahankan sisi liar dari hiu paus sebagai makhluk laut yang mencari mangsa sendiri dan tidak disediakan secara sengaja oleh manusia.
Bersama sejumlah peneliti Indonesia, mereka pun mendokumentasi dan menandai jelajah ikan hiu paus lewat pemasangan transmiter bernama accelerometer di sirip punggung si raksasa lautan tersebut. Mereka juga mengusulkan adanya perlindungan penuh kepada hiu paus Teluk Tomini supaya tidak punah. Karena menurut Dewan Konservasi Alam Internasional (IUCN), hewan laut raksasa ini telah masuk ke dalam Daftar Merah (Red List) kategori Rentan (Vulnerable) dari kepunahan.
Gayung pun bersambut. Dinas Pariwisata Gorontalo menjadikan tanggal 30 Agustus 2020 sebagai dimulainya perayaan Hari Hiu Paus Internasional (Whale Shark International Day) yang dipusatkan di Botubarani. Peristiwa itu dijadikan awal dari deklarasi dukungan terhadap pengelolaan destinasi wisata hiu paus di Pantai Botubarani secara mendunia dan berkelanjutan. Termasuk menetapkan tata ruang kelautan dan zonasi konservasi laut bersama Kementerian Kelautan dan Perikanan serta Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan.
Seperti dikutip dari Infopublik, Hari Hiu Paus Internasional di Botubarani kembali diadakan pada 2023 ini. Kepala Dinas Pariwisata Aryanto Husain menjelaskan, event ini diharapkan dapat memberi dampak sosial dan ekonomi bagi masyarakat sekitar serta para pelaku usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM). Kegiatan susur pantai dan memungut sampah plastik yang melibatkan unsur pelajar, masyarakat umum, hingga TNI/Polri menjadi bagian penting dari Hari Hiu Paus Internasional.
Sampah plastik yang tertelan hiu paus menjadi salah satu penyebab kematiannya selain tersangkut jaring nelayan atau terdampar ke pantai. Oleh sebab itu konservasi hiu paus harus dilakukan berkelanjutan dibarengi menjaga kebersihan ekosistemnya dari pencemaran agar populasinya tetap ada dan bertambah.
Penulis: Anton Setiawan
Redaktur: Ratna Nuraini/Elvira Inda Sari