Indonesia.go.id - Asal Usul Candi Cangkuang, Kampung Pulo dan Islam di Garut

Asal Usul Candi Cangkuang, Kampung Pulo dan Islam di Garut

  • Administrator
  • Sabtu, 28 September 2019 | 20:48 WIB
BUDAYA
  Candi Cangkuang. Foto: Wikimedia

Tidak hanya terkenal dengan makanan Dodol Garut nya, ternyata di Garut, Jawa Barat ada salah satu candi peninggalan bersejarah agama Hindu dari abad ke-17 yang letaknya ada di Desa Cangkuang, Kecamatan Leles, Kabupaten Garut, Jawa Barat.

Namanya Candi Cangkuang, yang di dalamnya terdapat patung Siwa Hindu. Candi ini berdiri di sebuah pulau kecil yang berada di tengah-tengah Situ Cangkuang.

‘Cangkuang’ sendiri berasal dari nama tanaman sejenis pandan (Pandanus furcatus), yang banyak terdapat di sekitar candi. Daun cangkuang umumnya dimanfaatkan untuk membuat tudung, tikar atau pembungkus gula aren.

Asal muasal Candi Cangkuang pertama kali sudah terdengar oleh Vorderman,salah atau warga Belanda yang kala itu menetap di Garut. Ia menuliskan penelitiannya di dalam buku Notulen Bataviaasch Genotschap terbitan tahun 1893, yang menyatakan bahwa di Desa Cangkuang terdapat peninggalan patung Dewa Siwa dan makam Embah Dalem Arif Muhammad, tokoh penyebaran agama Islam di daerah ini.

Namun candi ini baru ditemukan kembali pada tanggal 9 Desember 1966 oleh Tim Sejarah Leles. dengan peneliti Harsoyo dan Uka Tjandrasasmita. Setelah ditemukan kembali, candi ini mulai dilakukan penelitian pada tahun 1966 dan pemugaran Candi Cangkuang sendiri dilakukan pada tahun 1974.

"Disini ada Cangkuang sama arca Siwa didalamnya dan disebelahnya persis sekira 3 meter dari candi ada makam Arif Muhammad. Lalu pada tahun 1966 mulai melakukan penelitian berdasarkan laporan tadi, karena  kalau ada nama Muhammad sudah jelas nama tokoh Muslim, sedangkan Siwa nama dewa dalam agama Hindu," ujar Munawar Anzar, juru pelihara Candi Cangkuang.

Munawar bercerita, saat itu para peniliti kemudian melakukan penggalian dan menemukan pondasi candi berukuran 4,5×4,5 meter. Selain itu juga terdapat puing-puing candi yang berserakan. Tidak ada keterangan jelas siapa atau kerajaan apa yang membangun candi. Tapi, jika dilihat dari batuan dan kesederhanaan bentuk, Candi Cangkuang merupakan bangunan peninggalan masa Hindu-Budha yang diperkirakan berasal dari abad VII-VIII M.

Menurut Munawar dugaan dari pakar tersebut didasarkan pada bentuk bangunan candi yang masih polos pada dindingnya (tidak terdapat gambar relief), yang memiliki kemiripan dengan bangunan candi di Gedong Songo di dataran tinggi Dieng di Jawa Tengah. Selain itu, juga ditemukan arca Siwa di reruntuhan candi Cangkuang.

Nyatanya hanya 40% puing candi yang terkumpul. Akhirnya, candi tetap dipugar dengan 60% puing yang ada ditambah batu yang dicetak agar mirip dengan perkiraan bentuk aslinya.

"Ya sampai akhirnya dengan berbagai pertimbangan, Candi Cangkuang dipugar tahun 1974-1976 tapi yang aslinya 40%. Yang 60% menggunakan cetakan batu yang dibauat semiripmungkin dengan yang asli,” terang Munawar.

Setelah selesai dipugar, Candi Cangkuang miliki ukuran 4x18x8 meter. Arca Siwa yang sebelumnya telah ditemukan di simpan di dalam candi. Nama candi juga diambil sesuai nama daerah setempat.

Candi Cangkuang dan penyebaran Islam di Garut

Selain candi, di pulau itu juga terdapat pemukiman adat Kampung Pulo, yang juga menjadi bagian dari kawasan cagar budaya. Letaknya berada di kompleks Candi Cangkuang, persis sebelum pintu masuk candi tersebut.

Kampung Pulo sebagai penyebar agama Islam pertama di wilayah Cangkuang maupun Garut. Serta Eyang Embah Dalem Arief Muhammad juga turut andil mendirikan peradaban di sekitarnya.

Munawar menceritaka konon Embah Dalem Arief Muhammad merupakan panglima perang Kerajaan Mataram yang ditugaskan oleh Sultan Agung untuk menyerang VOC di Batavia. Namun, karena kalah dan takut mendapatkan sanksi apabila pulang ke Mataram, Embah Dalem Arief Muhammad memutuskan untuk bersembunyi di Cangkuang.

"Masyarakat sekitar saat itu masih banyak yang menganut agama Hindu serta animisme dan dinamisme. Namun perlahan oleh beliu masyarakat sekitar kemudian diislamkan,” ujar Munawar.

Penduduk Kampung Pulo kini merupakan keturunan asli dari almarhum Eyang Embah Dalem Arif Muhammad. Beliau memiliki tujuh anak, enam diantaranya perempuan dan satu laki-laki.

Warga adat yang mendiami Kampung Pulo saat ini berjumlah 23 orang yang terdiri atas 10 perempuan dan 13 laki-laki. Mereka merupakan generasi ke-8, ke-9, dan ke-10 dari Embah Dalem Arief Muhammad.

Ia menjelaskan, sejak abad ke-17, kompleks Kampung Pulo terdiri dari dari enam rumah dan satu musala. Rumah-rumah tersebut diperuntukan bagi anak perempuannya. Sementara musala untuk satu-satunya anak laki-laki.

“Sampai sekarang bagunannya hanya ada tujuh, dan nggak boleh ditambah bangunan dan kepala keluarga. Itu simbol putra-putri Embah, memiliki tujuh anak. Harus tetap tujuh pokok bangunan,” kata dia.

Warga adat Kampung Pulo tidak boleh menambah kepala keluarga sehingga apabila ada warga adat yang menikah, harus membangun keluarga ke luar kampung.

“Karena di komplek Kampung Pulo tidak boleh menambah kepala keluarga, misal anaknya menikah. Paling lama dua minggu mereka di sana, lalu harus keluar. Namun apabila ayah atau ibunya sudah meninggal, bisa masuk lagi ke kampung adat untuk mengisi kekosongan,” jelas Munawar.

“Namun, yang mendapatkan hak waris adalah anak perempuan karena yang melanjutkan keturunan Embah Dalem Arief Muhammad adalah anak perempuan. Laki-laki satu-satunya meninggal saat mau disunat yang disimbolkan dengan musala," sambungnya.

Munawar lanjut bercerita, ketika anak laki-laki tersebut disunat, diadakan pesta besar.Acara tersebut dilengkapi dengan arak-arak sisingaan yang diiringi musik gamelan menggunakan gong besar.

Namun, saat itu tiba-tiba ada angin badai yang menima anak tersebut. Lalu terjatuh dari tandu, sehingga menyebabkan anak laki-laki itu meninggal dunia.

Anak laki satu-satunya dari almarhum Eyang Embah Dalem Arif Muhammad, menjadi pembelajaran dan membuat adanya tradisi serta aturan di kampung adat tersebut. Beberapa aturan adat pun dijalankan sejak saat itu, seperti tidak boleh menabuh gong besar, dan tidak diperkenankan beternak binatang besar berkaki empat.

Lalu, tidak boleh datang ke makam keramat pada hari Rabu dan malam Rabu. Kemudian, tidak boleh menambah bangunan pokok, menambah kepala keluarga, dan mencari nafkah di luar wilayah desa.

Disatu sisi Munawar menjelaskan, masyarakat adat tetep boleh memakan atau menyebelih hewan besar berkaki empat seperti kambing, kerbau, dan sapi. Namun tidak diperkenankan untuk beternak.

Alasannya karena masyarakat Kampung Pulo mencari nafkah dengan bertani dan berkebun, sehingga takut hewan tersebut merusak sawah juga kebun mereka. Selain itu juga, di daerah desa tersebut banyak terdapat makam keramat, sehingga ditakutkan hewan-hewan mengotori makam.

Sementara soal larangan ziarah pada hari Rabu dan malam Rabu, kata Munawar, pada masa agama Hindu, hari terbaik menyembah patung pada hari Rabu dan malam Rabu, pada hari itu pula banyak orang yang tinggal disekitar candi melakukan ibadah.

Meski sudah memeluk agama Islam, penduduk Kampung Pulo tidak meninggalkan tradisi Hindu. Beberapa kegiatan pun masih dilakukan seperti halnya memandikan benda pusaka, syukuran, maupun memperingati maulid Nabi.

Kini bukti penyebaran dan pengajaran agama Islam oleh Embah Dalem Arief Muhammad dipamerkan di museum kecil yang ada di dekat makam keramat. Di museum tersebut terdapat naskah Alquran dari abad XVII dari daluang atau kertas tradisional dari batang pohon saeh.

Selain itu, juga terdapat naskah kotbah Idulfitri dari abad yang sama sepanjang 167 sentimeter yang berisi keutamaan puasa dan zakat fitrah.Serta dipamerkan juga beberapa benda antik ,dan lukisan berukuran besar yang digambarkan sebagai sosok Embah Dalem Arief Muhammad. (K-YN)