Gambaran tentang Santa Claus, atau Sinterklas menurut lidah orang Indonesia, kini bisa jadi sudah sangat seragam. Seperti terlihat dalam gambar-gambar komik atau film-film animasi Hollywood. Sinterklas adalah sosok kakek gemuk dengan wajah jenaka, berkumis dan berjanggut putih. Cirinya, mengenakan topi merah bergulung putih penahan dingin, lengkap dengan mantel tebal bergaya sama. Tak lupa dia memakai sarung tangan dan sepatu bot. Saat dia muncul, biasanya memanggul karung berisi hadiah yang akan diberikan pada anak-anak saat Natal tiba. Gambaran ini benar-benar telah mengglobal. Ibarat kata dari San Fransisco hingga Timbuktu (Mali, Afrika) semuanya serupa.
Padahal, di bumi Indonesia yang cukup lama menjadi negara jajahan Belanda, Sinterklas yang berasal dari istilah Belanda Sinterklaas, punya gambaran yang berbeda. Kalau dibilang jenaka, Sinterklas gaya Belanda sepertinya tidak juga. Tampilannya lebih mirip seorang pemimpin agama yang terlihat teduh dan tidak gemuk.
Bukan topi salju yang dia kenakan, melainkan topi bishop atau "pendeta agung" lengkap dengan salib putih penanda kekristenan. Bajunya jubah panjang dengan memegang tongkat lambang kependetaan. Kalau di Belanda dia digambarkan sebagai orang suci yang berkendara kuda bernama Amerigo. Tak lupa dia ditemani seorang pengiring atau pelayan yang berjuluk Zwarte Piet atau Piet Si Hitam.
Fatmawati, ibu negara Republik Indonesia yang pertama, pernah diabadikan dalam sebuah foto hitam putih duduk bersama sosok Sinterklas yang diapit Piet Hitam. Tampak, dalam foto yang diunggah harian Suara Merdeka, Rachma dan Mega, dua putrinya duduk di pangkuan Sinterklas. Sementara itu, pemeran Piet Hitam, dengan kostum pelayan Belanda abad pertengahan lengkap dengan wajah yang dicat hitam, tampak canggung di sebelah ibu negara yang memegang kipas. Pada saat foto itu diambil, sekitar 1954, perayaan Natal di Istana Negara masih kental dengan warna Belanda.
https://indonesia.go.id/assets/img/assets/1577696536_pit_itam_fatmawati.jpg" style="height:479px; width:564px" />
Peninggalan Zaman Budak
Bagi generasi zaman kini yang sudah banyak membaca berbagai literatur sejarah dan perkembangan sosial, sosok berwajah hitam, berambut keriting, berbibir tebal kadang dilengkapi dengan anting-anting yang terlihat dalam kostum Piet Hitam memantik keprihatinan. Sebagai sebuah produk budaya, penggambaran manusia dengan warna kulit hitam dan ciri-ciri fisik lain serta simbol-simbol seperti rantai dan anting-anting mengingatkan orang pada memori yang belum begitu lama berlalu, yakni perbudakan.
Joost de Vries, jurnalis Belanda, pernah menulis di situs The Guardian tentang kontroversi yang menyelimuti sosok Piet Hitam ini. Tulisannya dimuat pada 14 November 2018. Joost melihat bahwa sebagai warisan budaya, sosok Piet Hitam ini harus disikapi dengan serius. Jika dalam simbol-simbol itu ada sisa-sisa atau bekas-bekas peninggalan masa lalu yang kental dengan aroma rasisme dan perbudakan maka hal itu harus mampu dijawab dengan semestinya, tidak hanya dibiarkan.
Bagi kelompok yang menentang bentuk-bentuk rasisme yang tecermin dari budaya populer, mereka keberatan dengan penampilan Piet Hitam, karena menilai hal itu sebagai bentuk budaya yang melestarikan rasisme dan perbudakan. Saat ini negeri Belanda adalah tempat bagi bermacam-macam suku bangsa dengan karakter yang berbeda.
Sosok Piet Hitam, seringkali dijadikan simbol penghinaan, walaupun hanya sekadar bercanda. Sedangkan bagi yang tidak ada masalah dengan warisan budaya Piet Hitam menilai, mengubah apa yang sudah lama menjadi tradisi akan mengikis budaya Belanda yang menjadi bagian dari kekayaan bangsa.
Kontroversi antara dua belah pihak tentang sosok Piet Hitam ini sampai memunculkan berbagai demonstrasi. Bahkan dalam beberapa waktu muncul bentrokan kecil seperti penghadangan rombongan kelompok yang berseteru. Pendeknya praktik-praktik "fandomisme" bahkan bisa muncul hanya dari perdebatan tentang sosok dongeng yang sudah berumur lama.
Fenomena Banal
Joost de Vries, melihat bahwa kontroversi yang muncul sebenarnya hanyalah buah dari cepatnya revolusi informasi yang berkembang sekarang ini. Mudahnya orang mendapatkan informasi yang belum tentu bisa diterima banyak orang melahirkan kontroversi bahkan bentrokan-bentrokan sosial yang sebenarnya sangat tidak penting.
Bagi orang Belanda atau Eropa yang cukup banyak mengenyam pendidikan, kontroversi apakah suatu bentuk kostum budaya dinilai tidak menyenangkan bagi kelompok lain, terus menjadi bahan pertentangan antarkelompok masyarakat, sesungguhnya cukup konyol. Joos memahami bahwa jika dipikirkan benar-benar munculnya keributan tentang Piet Hitam benar-benar sudah di luar akal sehat.
Tetapi fenomena kedangkalan atau banalitas ini ternyata terjadi di seluruh Eropa bahkan mungkin dunia. Setiap negara pasti mempunyai warisan-warisan kekayaan budaya yang berasal dari masa lampu, yang jika ditampilkan pada saat ini bisa menyinggung suatu kelompok.
Joost de Vries melihat itu sebagai fenomena zaman media sosial. Orang-orang yang berkepentingan dengan politik jangka pendek seringkali menggunakan hal-hal (kultural) yang ada di bawah permukaan sosial, kemudian mengeksploitasi hal-hal itu untuk memunculkan kontroversi dan keseruan yang berujung pada polarisasi kepentingan politik. Sebenarnya hal itu sudah lama terjadi tetapi dengan perkembangan teknologi hal itu menjadi semakin lebih cepat membesar.
Tuan dan Pelayan (Budak)
Sejarah tentang karakter Piet Hitam yang mendampingi Sinterklaas dalam tradisi Belanda bisa dilacak sejak zaman Abad Tengah. Kurun waktunya antara abad 16 hingga abad 19 masehi. Awalnya Piet Hitam dan yang sejenisnya adalah sosok pelayan yang melayani sang tuan. Mereka menjadi pelayan karena ditangkap oleh sang tuan. Awalnya bukan sosok manusia berkulit hitam melainkan sosok iblis yang dirantai oleh ksatria atau orang suci. Munculnya variasi dalam bentuk budak berkulit hitam ditengarai baru muncul di awal abad 19 dalam bentuk sosok budak orang Moors (Maroko zaman sekarang) yang menjadi pelayan Santo Nicholas, sang Sinterklas.
Sebenarnya pelayan Sinterklas tidak hanya satu. Dalam tradisi Austria, Jerman, Hungaria, hingga Polandia mempunyai berbagai karakter yang menjadi 'anak buah' Sinterklas. Mereka adalah Krampus, Pere Foiettard, Schmutzli, Perchta, dan lain-lain. Dalam bentuk yang modern karakter itu muncul dalam sosok Grinch dari Hollywood.
Pada intinya, dalam tradisi folklore Eropa, sosok-sosok pendamping Sinterklaas merupakan perkembangan lebih lanjut dari mitologi perjalanan Odin saat berburu dengan didampingi oleh Huginn dan Muninn. Dalam bentuk yang lebih modern lagi adalah Novel Miguel Cervantes tentang kisah perjalanan Don Quixote yang ditemani oleh Sancho sang pelayan yang setia menemani.
Bagi orang Indonesia, sosok tuan dan pelayan bukanlah hal yang buruk. Sosok 'panakawan' dalam tradisi pewayangan orang Indonesia adalah bentuk dari hubungan antara tuan dan pelayan yang seringkali bahkan bersifat anekdotal. Tidak selalu bersifat antagonistik. Masyarakat Indonesia punya kearifan sendiri untuk menyikapi masa lalu.
Kontroversi yang muncul di Eropa tentang apakah suatu bentuk budaya oleh perkembangan zaman ternyata dinilai ofensif atau mengganggu, sebenarnya lambat laun akan mampu teratasi jika pembacaan-pembacaan lebih jauh tentang fenomena itu lebih diperbanyak. Yang menjadi masalah sebenarnya adalah persoalan penyebarluasan konten-konten yang bermutu. Ternyata batas-batas dunia ini sudah semakin tipis sehingga, negara-negara Eropa sepertinya harus belajar dari bekas koloninya. (Y-1)