Indonesia.go.id - Ada Cinta dalam Kelezatan Pa’piong

Ada Cinta dalam Kelezatan Pa’piong

  • Administrator
  • Minggu, 29 September 2019 | 22:00 WIB
KULINER
  Papiong Makanan Bangsawan Khas Toraja. Foto: Pesona Indonesia

Banyak orang tak mengenal masakan dari Indonesia timur. Sebaliknya, masakan dari Jawa dan Sumatera sangat mendominasi menu di resto dan hotel. Padahal Indonesia timur punya beragam kuliner dan kaya dengan rempah-rempah.

Sejarah mencatat, rempah-rempah seperti pala, lada, ketumbar, jintan, kayu manis, juga cengkeh yang berasal dari Maluku dan Sulawesi, menjadi komoditi penting dunia dan dimonopoli oleh Vereenigde Oostindische Compagnie (VOC) selama nyaris dua abad. Seluruh hasil bumi itu harus dijual kepada VOC. Jika ada yang melanggar dan ketahuan, akan diberi sanksi berat.

Karena dilarang memakai rempah-rempah hasil kebun sendiri, penduduk lokal tidak terbiasa mengolah kuliner dengan bahan-bahan itu. Akibatnya, olahan kuliner mereka sederhana dan jarang memakai bumbu yang kompleks seperti bumbu masakan Jawa atau Sumatera.

Menurut pakar kuliner William Wongso, bumbu yang dipakai untuk meracik masakan di wilayah ini sederhana dan tidak rumit. Semisal ikan segar hanya dibumbui garam dan air jeruk limau, lalu dibakar. Kadang garam pun jarang dipakai.

Karena ikan masih segar dipadu dengan rasa asam dari jeruk, rasa ikan  bakar itu sangat lezat. Tak heran jika seseorang yang berasal dari Maluku atau Makassar dan sedang makan di Jakarta, dapat dengan mudah mengenali ikan itu segar atau tidak, karena mereka terbiasa mengkonsumsi ikan segar dengan bumbu sederhana di tanah kelahirannya.

Hal ini agak berbeda dengan masakan olahan dari Sumatera dan Jawa. Ikan atau daging biasa diolah dengan bumbu yang cukup banyak dan kompleks, sehingga menghasilkan bermacam-macam rasa. Kekayaan rasa itu kadang bisa menutupi rasa asli bahan utama. Seperti rendang yang merupakan olahan daging, dominan dengan rasa legit dari berbagai bumbu dan santan. Dengan olahan tertentu bisa tahan beberapa minggu dan tetap lezat. Begitu juga gudeg yang merupakan masakan Jawa dengan santan, masih saja layak santap meski sudah beberapa hari, karena tersamar bumbu yang kompleks.

Pendapat William Wongso sejalan dengan apa yang ditulis Prof Murdjati Gardjito, Guru Besar Nutrisi Universitas Gajah Mada (UGM) dalam buku Profil Struktur Bumbu dan Bahan dalam Kuliner Indonesia. Prof Murdjati mengungkapkan masakan Sulawesi (termasuk Toraja) memang sedikit memakai bahan bumbu.

Bahan terbanyak dalam masakan Sulawesi adalah 14 jenis bahan bumbu, dipakai pada masakan sate daging rica-rica dan 12 bumbu pada masakan sop konro, ayam pammarasan, asem-asem tempe dan langga roko. Jenis bumbu yang paling sering dipakai adalah bawang merah, bawang putih, jahe dan lengkuas (selain gula dan garam).

Sedangkan masakan asal Sumatera Utara (Sumut) memakai bahan bumbu sangat banyak. Terbanyak 17 bahan bumbu pada masakan gulai ikan sale dan 15 bahan bumbu pada masakan mie gomak, saksang ayam, cipera dan kari kambing. Bahan bumbu yang sering dipakai adalah bawang merah, jahe, cabai merah, bawang putih dan kunyit, selain andaliman, kecombrang dan takokak. Rekor itu juga dipegang oleh masakan dari Padang. Selain bahan-bahan pada masakan Sumut, masakan Padang juga tak lepas dari serai, daun jeruk, daun kunyit, serta santan. Begitu juga bumbu pada masakan Jawa terkesan banyak dan kompleks.

Dengan gambaran itu, wilayah Indonesia Timur sebenarnya menyimpan kekayaan kuliner yang belum digali dengan maksimal. Terbukti beberapa olahan masakan dengan bumbu sederhana dari wilayah ini ternyata sangat lezat. Salah satu diantaranya adalah masakan Toraja, yaitu Pa’piong (baca: pakpiong).

Masakan dengan nama unik ini bernama dasar Pong yang artinya tabung (bambu) sebagai alat masak. Bambu yang tumbuh di Tana Toraja umumnya berdiameter lebar yaitu sekitar delapan sampai 12 cm. Sehingga memang efektif untuk alat masak sebuah pesta besar. Bahan utamanya adalah daging kerbau, daging babi, atau ayam, atau ikan mas.

Potongan daging atau ikan dicampur dengan daun miana (mirip daun pohpohan di Sunda, tapi lebih tebal dan berwarna ungu), parutan kelapa, ditambah irisan cabai, irisan bawang merah, irisan bawang putih, garam, potongan jahe dan potongan serai. Pengolahannya sederhana karena hanya diiris dan memakai sedikit bumbu.

Semua bahan kemudian dimasukkan dalam buluh bambu yang sebelumnya dilapisi daun pisang lalu dibakar. Ketika memasak, posisi bambu dibuat berdiri berjajar dengan kemiringan 30- 40 derajat diatas api. Selama memasak, sisi bambu yang terkena api diputar beberapa kali agar seluruh bambu terkena panas sehingga masak dengan rata.

Matang atau tidaknya masakan, bisa kita cek dengan mengiris bambu. Jika ada tetesan lemak, artinya masakan sudah matang dan kita siap menyantapnya dengan nasi hangat. Semua yang pernah makan Pa’piong akan mengakui kelezatan olahan ini meski berbumbu sederhana.

Di Toraja, Pa’piong banyak tersedia dengan bahan dasar daging babi karena sebagian besar masyarakat di wilayah itu memelihara babi. Pa’piong babi disajikan saat Rambu Solo’ yaitu upacara kematian Toraja yang sangat terkenal itu. Upacara ini dimulai pada sore hari atau setelah tengah hari (pukul 12.00) sampai menjelang malam.

Sedangkan Pa’piong berbahan ayam atau ikan mas (kadang diganti kakap) disajikan pada upacara adat kategori Rambu Tuka’ yaitu upacara atau pesta syukur seperti pernikahan, kelahiran, upacara panen raya, peresmian rumah Tongkonan dan lainnya. Berbalikan dengan Rambu Solo’, upacara adat Rambu Tuka’ dimulai pada pagi hari dan dilakukan dengan gembira, tak ada kesedihan dan air mata.

Belakangan, masyakarat juga memakai tedong (daging kerbau) sebagai bahan dasar masakan Pa’piong. Tedong berlimpah dan dijual murah di pasar terutama setelah upacara adat kematian selesai dan hanya diolah menjadi dendeng atau empal kering. Kini masyarakat mulai mengolah tedong jadi Pa’piong.

Kadang daun miana (yang hanya tumbuh di Tana Toraja dan sebagian Sulawesi Selatan) diganti dengan jantung pisang yang masih muda. Miana punya cita rasa agak sepat dan pahit, nyaris sama dengan jantung pisang.

Ada romansa di balik kelezatan Pa’Piong. Ada kisah leluhur suku Toraja bernama Pong Gaunti Kembong yang ketika terbang di atas awan, melihat ke darat dan merasa jatuh cinta pada seorang wanita yang sangat cantik. Ketika Gaunti mendekat, sang wanita bersembunyi dan masuk dalam batu. 

Dia mau menikah jika Gaunti memasak masakan di ruas bambu; Pa’piong Sanglampa. Karena dimasak dengan cinta, Pa’piong buatan Gaunti jadi istimewa dan sangat lezat. Sang wanita keluar dari batu, makan dan akhirnya mereka menikah. Dari perkawinan ini lahirlah Puang Matua yang merupakan leluhur suku Toraja.

Sekarang Pa’piong tidak hanya tersedia saat Rambu Tuka’ dan Rambu Solo’ saja. Masyarakat bisa memasaknya setiap waktu, kapan saja mereka mau. Beberapa restoran di Rantepao dan Makale (Tana Toraja) atau di Makassar juga menyajikan menu ini. Pa’piong juga ada di beberapa resto di kawasan Kelapa Gading, Jakarta. Penikmat non Toraja biasanya lebih memilih Pa’piong ayam atau ikan. (K-CD)