Di kala malam, suasana Simpang Jodoh, Tembung, daerah pinggiran Medan, Sumatra Utara, begitu ramai dan semarak. Orang-orang berdatangan untuk menikmati panganan sehat berupa rujak sembari duduk menikmati malam. Para anak muda nongkrong demi mencari tambatan hati.
Simpang Jodoh merupakan, kawasan persimpangan tempat bertemunya Jl Besar Tembung dengan Jl Pasar 7. Daerah ini punya historis panjang. Dinamakan "Simpang Jodoh" bersangkut-paut dengan kultur masyarakat pada era perkebunan yang doyan nongkrong dan mencari pacar.
Di masa lalu, Tembung merupakan salah satu daerah yang menjadi bagian kejayaan perusahaan perkebunan raksasa di Sumatra Timur. Didaulat sebagai 'Tembung' (bahasa Melayu), karena di kawasan tersebut orang-orang pada masa itu kerap bertemu tanpa ada perencanaan. Pada dekade 1800-an, daerah Tembung ini masih berupa hutan seluas 2.000 bidang dan pemukiman puak Melayu di bawah kekuasaan Percut. Kondisi Tembung mulai berubah sejak perusahaan Deli Maatschappij membuka perkebunan di sana pada 18 Mei 1875. Kala itu, JB Droste sebagai administrator pertama perusahaan perkebunan tersebut. Sekitar 14 tahun kemudian, jabatan JB Droste digantikan oleh HCM Brouwer Ancker.
Di awal-awal perusahaan dibuka, perkebunan ini mempekerjakan 344 orang kuli kontrak. Sejak Brouwer menjabat, luas lahan pun membengkak menjadi 3.000 bidang dan laba yang diperoleh pada masa itu tiga kali lipat dari sebelumnya, dengan jumlah kuli kontrak 724 orang dan 200 orang pekerja tempatan.
Pada 1905, Deli Maatschappij menyatukan perkebunan Timbang Deli dan Perkebunan Bandar Klippa dengan luas tanah konsesi sebesar 5.000 bidang tanah. Sejak perkebunan itu dibuka, aktivitas masyarakat semakin berkembang. Pada musim panen, orang-orang kampung setempat mengirik padi di tempat satu tempat.
Di tempat pengirikan padi itu, para pekerja perkebunan juga datang untuk mencari hiburan, demi melepaskan kesumukan dari rutinitas di perkebunan. Apalagi, saat gajian besar, malam harinya, pekerja kebun nongkrong di tempat pengirikan padi itu. Tak dinyana, banyak dari pekerja kebun dan warga setempat menemukan jodohnya. Dari pertemuan di tempat pengirikan itu, tumbuh cinta hingga berlanjut ke pelaminan. Karena jamaknya orang menemukan pasangan hidupnya di tempat pengirikan itu, lama-lama kawasan tersebut dinamai Simpang Jodoh.
Seiring waktu, aktivitas di lokasi pengirikan padi itu pun berkembang. Orang tidak lagi sekadar datang untuk nongkrong dan mencari jodoh. Pada dekade 1950-an penduduk puak Melayu mulai berdagang rujak di kawasan pengirikan padi itu. Di malam hari, mereka memakai lampu petromaks untuk penerangan. Sejak itu kebiasaan jualan rujak terus berlanjut hingga sekarang. Bahkan, kini rujak telah menjelma menjadi salah satu kuliner khas daerah Tembung.
Daud, seorang pedagang rujak menuturkan, mertuanya sendiri, Jumihah yang turut menggagas usaha rujak di kawasan sekitar Jalan Pasar VII Tembung, Kecamatan Percut Seituan pada awal dekade 1950. Jumihah generasi pertama penjual rujak di sana. "Dulu anak-anak muda kalau sore kumpul di sini sambil nengok kereta api lewat. Waktu itu mertua saya memanfaatkan situasi itu untuk berjualan rujak," ungkapnya.
Ika, penjual rujak lainnya menjelaskan, bisnis rujak Simpang Jodoh merupakan usaha turun temurun yang seluruhnya dilakoni oleh kaum perempuan. Dan saat ini, penjual rujak di sana kebanyakan sudah generasi kedua dan ketiga. “Dulu di sini gelap. Enggak ada lampu jalan, Bang. Jadi kalau malam-malam kami jualan ya, pakai lampu petromaks,” timpalnya.
Sebagai persimpangan tiga simpul jalan, Simpang Jodoh menjadi lokasi yang mudah diakses calon pembeli. Sebab, lokasi pedagang rujak ini dilalui oleh banyak alat transportasi umum. Posisi strategis ini berpengaruh kuat terhadap hasil penjualan pedagang rujak di Simpang Jodoh. Historisnya yang unik dan panjang telah menjadikan Simpang Jodoh akrab bagi telinga orang, baik warga Tembung maupun pendatang.
Banyaknya pedagang rujak, yang saat ini sekitar 40 pedagang sama sekali tidak menciptakan kompetisi. Jumlah itu justru memberi banyak pilihan bagi para penikmat rujak sekaligus memotivasi para pedagang rujak untuk memberi layanan yang terbaik kepada pembeli.
Sayangnya, lokasi pedagang rujak di Simpang Jodoh ini belum ditata dengan rapi dan tidak memiliki lahan parkir. Sehingga, setiap kali pembeli yang memiliki kendaraan berhenti tepat di depan lapak pedagang rujak mengakibatkan kemacetan lalu lintas. Namun, kondisi ini tidak menghalangi pembeli untuk tetap datang membeli rujak.
Mei Hotma Mariati Munte, mahasiswa Universitas HKBP Nommensen pernah meneliti tentang faktor yang mempengaruhi besarnya pendapatan pedagang rujak Simpang Jodoh. Penelitiannya dilakukan pada 2016, dengan sampel 30 pedagang dan masa riset 30 hari. Hasil risetnya menunjukkan, para pedagang rujak lebih memilih berjualan malam hari karena pembeli lebih banyak datang di malam hari.
Mariati Munte menulis, rata-rata penjualan tertinggi yang diperoleh pedagang rujak selama satu bulan yakni 101 bungkus per hari atau sekitar Rp40 juta per bulan. Rata-rata penjualan terendah adalah 68 bungkus dengan total pendapatan satu bulan Rp27 juta. Jika dikurangi uang sewa lapak, air, listrik dan bumbu, modal buah dengan total Rp18 juta, maka laba tertinggi yang diperoleh pedagang rujak adalah Rp32 juta dan laba terendah Rp9 juta. Jika angka ini dibandingkan dengan upah minimum kota Medan pada 2016 yang hanya sebesar Rp2.271.255 dan jam kerja normal 8 jam maka pendapatan pedagang rujak Simpang Jodoh Pasar Tujuh Tembung ini termasuk tinggi.
Rujak Simpang Jodoh sendiri menawarkan dua kategori, yaitu rujak ulek dan rujak tumbuk. Untuk satu porsi dipasang tarif Rp13.000. Nah jika berminat, datanglah ke Tembung dan nikmati sedapnya rujak di sana. Anda bebas memilih, rujak mana yang Anda sukai. Siapa tahu, setelah mencicipi rujak di sini, Anda bertemu jodoh. (K-DH)