ASEAN harus mampu menyelesaikan sejumlah persoalan internalnya agar menjadi organisasi kawasan yang disegani di Indo-Pasifik.
Kesuksesan menjadi Presidensi G20 tahun 2022, memberi banyak keuntungan bagi Indonesia.
Sebagai satu-satunya negara Asia Tenggara di dalam forum kerja sama ekonomi dan pembangunan 19 negara dan satu kawasan pemilik 75 persen kekuatan ekonomi global dan 60 persen populasi dunia, Indonesia memiliki beberapa keunggulan. Terutama, dalam penguasaan isu strategis pada beberapa sektor yang dibahas selama Presidensi G20, seperti ekonomi digital, kesehatan berkelanjutan, dan transisi energi.
Terlebih lagi pada 2023 ini Indonesia untuk keempat kalinya menjadi Ketua ASEAN, sebuah organisasi kawasan berkekuatan total 661,826 juta penduduk dan pendapatan domestik bruto mencapai USD3.343,36 miliar berdasarkan ASEAN Statistical Yearbook 2021. Sebelumnya Indonesia pernah menjadi Ketua ASEAN pada 1976, 2003, dan 2011.
Pengalaman sebagai Presidensi G20 tentu akan diterapkan oleh Indonesia dalam posisi sebagai Ketua ASEAN, melanjutkan estafet kepemimpinan sebelumnya dari Kamboja. Ketua ASEAN sebenarnya tidak memiliki posisi dominan di atas negara-negara anggota lainnya. Tetapi lebih berfungsi sebagai koordinator dalam membentuk pendekatan ASEAN mengenai isu-isu regional.
Isu utama tentu terkait mengembalikan posisi sentralitas organisasi kawasan yang didirikan oleh Indonesia, Malaysia, Filipina, Singapura, dan Thailand di Bangkok, pada 8 Agustus 1967 silam itu menjadi fokus utama kali ini. Dalam berbagai kesempatan, Presiden Joko Widodo pun telah menyatakan bahwa Indonesia dalam posisi Ketua ASEAN 2023 akan memainkan peran penting untuk membawa kemajuan kawasan di masa mendatang.
Terbaru adalah ketika menerima kunjungan Perdana Menteri Anwar Ibrahim di Istana Kepresidenan Bogor, Jawa Barat, Senin (9/1/2023). "Kita sepakat terus memperkuat ASEAN. Kita sepakat bahwa ASEAN harus dapat memainkan peran sentral dalam menjadikan kawasan Indo-Pasifik yang damai, sejahtera, dan stabil," ucap Presiden Joko Widodo.
Penegasan serupa telah lebih dulu disampaikan Presiden ketika menghadiri Konferensi Tingkat Tinggi ASEAN 2022 di Phnom Penh, 14 November 2022 lalu. Kala itu, Presiden tegas menyatakan bahwa ASEAN jangan menjadi ajang rivalitas negara-negara besar, justru sebaliknya harus menjadi pusat kegiatan diplomasi negara-negara di Indo-Pasifik.
PM Anwar pun berkeyakinan, Indonesia akan dapat menyelesaikan masalah internal dan global yang terkait organisasi beranggotakan 10 negara Asia Tenggara ini menjadi lebih baik dan lebih cepat. Pernyataannya dikeluarkan usai dilantik sebagai Perdana Menteri ke-10 Negara Jiran, 24 November 2022, seperti diwartakan Bernama. Wakil PM periode 1993--1998 itu beralasan, Indonesia memiliki pengaruh besar dan kerja sama ekonomi yang baik bersama negara-negara ASEAN lainnya dan banyak negara di dunia. PM Anwar pun mengingatkan bahwa Indonesia turut berperan dalam mencari solusi di beberapa masalah internal ASEAN seperti urusan pengungsi Rohingya, konflik Myanmar, dan Laut Natuna Utara.
"Indonesia sudah membangun aliansi ekonomi dengan banyak negara di dunia dan dibuktikan lewat derasnya investasi masuk kepada mereka. Malaysia berharap konflik-konflik internal ASEAN pun bisa dapat dipecahkan dalam kepemimpinan Indonesia di ASEAN pada 2023. Saya yakin Indonesia dapat menyelesaikannya asalkan ada sokongan dari seluruh negara anggota ASEAN," ujar PM Anwar.
Menjalin kembali kekuatan ASEAN serta posisinya dalam memainkan peran sentralitas di kawasan dan global tentu bukan tanpa dasar. Pengamat politik Asia dari Universitas Freiburg, Abuja, Nigeria, Lukas Maximilian Mueller menilai, ASEAN masih belum mampu menyelesaikan persoalan yang muncul di kawasan. Profesor riset asal Jerman itu dalam telaah berjudul ASEAN Centrality Under Threat-The Case of RCEP and Connectivity pada Journal of Contemporary East Asia Studies terbitan 2019 itu menyebut, ASEAN hanya unggul di sektor ekonomi.
Sayangnya, lanjut Mueller, ASEAN masih harus menguras banyak perhatian lebih pada isu-isu politik dan keamanan, mengingat yang dihadapi sangat beragam. Mulai dari perkembangan rivalitas politik dan ekonomi antara Amerika Serikat dan Tiongkok, pembentukan kerja sama keamanan The Quadrilateral Security Dialogue (QUAD) antara AS, Australia, India, dan Jepang. Kemudian, pembentukan aliansi pertahanan AUKUS antara Australia, Inggris dan AS dan ketegangan di Laut Tiongkok Selatan.
"Belum lagi persoalan krisis kekuasaan oleh militer di Myanmar dan yang tidak kalah pentingnya adalah pemulihan ekonomi pascapandemi," tulis Mueller.
Menurutnya, pada kasus di Myanmar, sejak terbitnya Lima Poin Konsensus (5 Point Concensus/5PC) hasil kesepakatan pertemuan para pemimpin negara ASEAN di Jakarta, April 2021 lalu, justru konflik masih tetap ada. Ini akibat dari berlarutnya penyelesaian kudeta militer di dalam negeri Myanmar.
Pernyataan Mueller itu tentu harus disikapi secara positif dan dikelola dengan baik oleh ASEAN untuk mendorong dan meningkatkan kerja sama dan perdamaian di kawasan. ASEAN lewat kepemimpinan Indonesia saat ini, bagaimanapun harus terus berkembang sebagai sebuah organisasi yang efektif dan berperan lebih besar untuk stabilitas kawasan.
Sentralitas ASEAN
Peneliti politik dari Pusat Riset Politik Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) Humphry Wangke mengungkapkan, Indonesia sebagai Ketua ASEAN 2023 harus menjadikan organisasi kawasan ini sebagai bagian dari solusi dalam menciptakan perdamaian di Asia Tenggara. Ia merujuk kepada hasil penelitian Elizabeth P Buensuceso dari Yusof Ishak Intitute, Singapura pada 2021 soal sentralitas ASEAN bahwa perlu mengefektifkan dan optimalisasi forum-forum dialog. Misalnya, ASEAN+3, ASEAN Regional Forum, atau East Asia Summit.
Humphry menilai, mulai memudarnya sentralitas ASEAN lebih banyak disebabkan oleh sulitnya mencapai kesepakatan bulat ketika menyelesaikan berbagai dampak disrupsi permasalahan di kawasan. Sebagai organisasi regional satu-satunya di kawasan Asia Tenggara, ASEAN seharusnya mampu menjadi poros semua bentuk kerja sama di kawasan. Sayangnya, ASEAN belum memperlihatkan persatuan internal yang kuat, satu suara, dan mekanisme pengambilan keputusan yang sesuai dengan Piagam ASEAN.
"Berlarut-larutnya penyelesaian kudeta militer di Myanmar menjadi salah satu contoh sulitnya ASEAN untuk menemukan konsensus bulat. Sebenarnya pada April 2021 pemimpin ASEAN berhasil mencapai Lima Poin Konsensus untuk penyelesaian Myanmar. Namun sayangnya, hingga saat ini implementasi konsensus tersebut masih menghadapi kendala," urai Humphry.
Oleh sebab itu, ia mengusulkan dalam keketuaan Indonesia kali ini agar terdapat ide-ide untuk meyakinkan negara-negara anggota lainnya bahwa ASEAN merupakan pilihan terbaik untuk memenuhi kebutuhan primer di dalam negeri atau untuk menciptakan lingkungan yang damai dan aman. Negara-negara anggota juga sudah saatnya menyadari ASEAN harus diperkuat dan lebih bersatu agar tidak tertinggal dalam lingkungan global yang semakin kompleks dan kompetitif.
Indonesia perlu berinisiatif menciptakan terobosan baru dalam posisi keketuaan di 2023 seperti yang dilakukan pada tiga kepemimpinan sebelumnya. Pada 1976, Indonesia menginisiasi lahirnya Bali Concord I tentang Treaty of Amity and Cooperation yaitu keinginan menjadikan kawasan Asia Tenggara sebagai tempat setiap orang berperilaku baik dan mengedepankan kerja sama. Demikian halnya saat 2003 lewat Bali Concord II yang ingin membangun ASEAN sebagai pilar ekonomi, politik dan keamanan, sosial, serta budaya.
Saat keketuaan di 2011, Indonesia menelurkan Bali Concord III lewat Bali Declaration on ASEAN Community in a Global Community of Nations. Ini untuk memastikan kontribusi dan partisipasi aktif ASEAN mengatasi berbagai permasalahan fundamental kala itu.
Sebab itulah, isu memperkuat sentralitas ASEAN dapat dimunculkan lagi oleh Indonesia dalam Keketuaan ASEAN 2023. ASEAN harus dapat berkolaborasi dengan negara-negara yang sedang bersaing di kawasan, bahkan dengan semua kekuatan di Indo-Pasifik.
Semua negara harus dianggap sebagai mitra ASEAN sepanjang mereka bersedia mematuhi prinsip sentralitas tadi. Dengan persatuan ASEAN yang kuat, satu suara bulat, dan mekanisme pengambilan keputusan lewat musyawarah mufakat, maka ASEAN akan menjadi pusat kerja sama yang disegani di kawasan Indo-Pasifik.
Penulis: Anton Setiawan
Redaktur: Ratna Nuraini/Elvira Inda Sari