Oleh masyarakat, pohon minyak kayu putih dimanfaatkan dengan membuat penyulingan tradisional. Mereka mengambil bahan baku dari hutan. Biasanya, para penyuling terdiri dari beberapa keluarga. Dalam sehari, bisa didapat dua atau tiga jeriken ukuran lima liter minyak kayu putih.
Sebelum menghasilkan, para pengepul sudah membayar produk mereka. Harganya sekitar Rp1,2 juta per lima liter. Wajar saja para pengepul langsung membayar, sebab meskipun bahan bakunya tumbuh bebas dan subur, kebutuhan minyak kayu putih terus memingkat sementara pasokannya minim.
Menurut sebuah hitungan, industri farmasi nasional membutuhkan 3500 ton per tahun. Sementara itu, produksi nasional hanya mampu memenuhi 400 ton saja. Artinya, di dalam negeri kebutuhan minyak kayu putih masih sangat besar.
Untuk menutupi kekurangan, industri farmasi akhirnya mengimpor bahan substitusi dari Cina berupa minyak ekaliptus. Minyak yang diproduksi Cina memang mengandung zat yang mirip dengan minyak kayu putih. Tetapi aromanya jauh berbeda. Aroma minyak kayu putih khas Indonesia jauh lebih akrab dan menyegarkan.
Persoalannya harga minyak akaliptus dari Cina jauh lebih murah dari minyak kayu putih Indonesia. Ini menyangkut dengan kemampuan produksi. Indonesia hanya memproduksi minyak kayu putih 400 ton setahun. Sedangkan Cina memproduksi 4.000 ton per tahun. Apalagi 90% produk minyak astiri Indonesia ditujukan untuk ekspor.
Artinya, secara umum permintaan minyak kayu putih di dalam negeri masih sangat besar. Diperlukan sebuah upaya untuk mengembangkan industri ini di tanah air.
Tumbuhan yang menghasilkan minyak kayu putih adalah Melaleuca Cajuputi subsp. Cajuputi. Tumbuhan itu secara alami subur di Maluku. Perum Perhutani telah mengembangkan tanaman ini di Pulau Jawa, pada 1926.
Secara keseluruhan Indonesia termasuk negara penghasil minyak atsiri di dunia. Ini adalah jenis minyak esensial yang diolah dari bahan tanaman seperti minyak nilam, kayumanis, cengkih, atau minyak sereh.
Kini Indonesia menempati peringkat ke enam dan tujuh produsen atsiri di dunia. Data menjelaskan, 40 persen jenis atsiri diproduksi di Indonesia. Lebih dari 150 jenis minyak atsiri yang ada di dunia, setidaknya terdapat 50 jenis yang bisa diproduksi di Indonesia.
Hingga kini, minyak atsiri dari alam masih sangat dibutuhkan, meskipun beberapa senyawanya mulai dibuat secara sintetis. Eksportir memperkirakan, nilai ekspor atsiri Indonesia 2011 adalah 230-250 juga dolar AS dengan tujuan utama yakni AS, Uni Eropa, India, Cina, dan negara di Asia Pasifik lainnya.
Tiga produk utama yakni nilam, cengkih, dan pala mengambil bagian 75 persen dari nilai total ekspor. Sementara itu, produk lainnya banyak digunakan untuk keperluan domestik.
Sebagai peringkat keenam dan ketujuh produsen minyak atsiri dunia, Indonesia memproduksi 6.500 ton per tahun dari berbagai jenis atsiri. Itu baru mencapai 5% dari total perdagangan dunia. Nilainya hanya Rp2 triliun per tahun. Sedangkan, potensinya masih terbuka sangat lebar.