Balai Penelitian Tanaman Industri dan Penyegar, Kementerian Pertanian, belum lama ini melakukan uji coba perdana produk biodiesel 100 (B100). Adanya uji coba ini tentu menjadi kabar gembira bagi bangsa ini.
Pasalnya, Indonesia sudah berkomitmen untuk terus mendorong penggunaan energi bersih dan terjangkau. Itu semua tertuang dalam amanat Kebijakan Energi Nasional. Itu berupa komitmen negara ini untuk mengurangi konsumsi minyak dan memperluas penggunaan energi terbarukan.
Bahkan, di cetak biru Kebijakan Energi Nasional, cukup jelas menyebutkan jadwal dan besaran persentase yang harus dicapai. Pada 2025, Indonesia telah menetapkan peran energi baru dan terbarukan bisa mencapai 25%. Porsi itu naik menjadi 36% pada 2050.
Upaya Balai Penelitian Tanaman Industri dan Penyegar Kementan melakukan uji coba produk biodiesel 100 (B100) tentu patut diapresiasi dan didukung. Butuh kerja sama semua pemangku kepentingan bangsa ini untuk mewujudkan komitmen untuk memperluas penggunaan energi terbarukan.
Wajar saja, Badan Penelitian dan Pengembangan Energi dan Sumber Daya Mineral, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), sangat mendukung penggunaan B100 untuk kendaraan bermotor oleh Kementerian Pertanian. Ini bukti bangsa ini bangsa yang hebat.
Apa kelebihan B100 yang dikembangkan Balai Penelitian Tanaman Industri dan Penyegar (Balittri) Kementan bersama Kementerian ESDM ketika digunakan diuji coba di satu kendaraan bermotor itu? Ternyata reaktor kendaraan bermotor itu mengolah minyak nabati menjadi B100. Bahkan sesuai dengan standar SNI.
Menariknya, seperti disampaikan Kepala Balitri Deden Syafaruddin, B100 itu merupakan biodiesel dengan kandungan 100% bahan bakar nabati. B100 yang telah mulai digunakan untuk mobil dinas dan alat pertanian di lingkup Kementerian Pertanian ini merupakan B100 yang berasal dari Crude Palm Oil (CPO).
Tidak itu saja, B100 berbahan CPO itu telah dianalisa di Laboratorium Lemigas Kementerian ESDM dengan hasil telah memenuhi spesifikasi Biodiesel SNI 7182-2015.
Keberhasilan penciptaan B100 berbahan baku CPO tentu patut disyukuri bangsa ini. Bangsa ini ternyata cukup kaya dengan bahan baku untuk energi terbarukan. Bahkan, Balittri sebenarnya tidak hanya telah berhasil menghasilkan B100 berbahan baku CPO, tetapi telah menghasilkan B100 dari berbagai macam tanaman penghasil biodiesel seperti kemiri sunan, jarak pagar, biji karet, bintaro, nyamplung, pongamia, kepuh, dan kesambi.
Bahan Baku Biodiesel
Dan, di antara tanaman tersebut, kemiri sunan merupakan tanaman penghasil biodiesel paling potensial. Selain menghasilkan bahan bakar nabati, tanaman kemiri sunan juga dapat ditanam di aeral suboptimal, reklamasi lahan bekas tambang, penyerap karbon dan penahan air tanah yang baik.
Terlepas dari semua itu, Pemerintah Indonesia sudah memberikan komitmennya untuk mengurangi ketergantungan terhadap energi dari bahan bakar fosil. Bentuk komitmen terhadap pengembangan energi terbarukan, termasuk biofuel tertuang ke dalam sejumlah regulasi, antara lain, Perpres No. 5/2006 tentang Kebijaksanaan Energi Nasional, Inpres nomor 1 tentang Pengadaan dan Penggunaan Biofuel sebagai Energi Altarnatif, Dekrit Presiden nomor 10/2006 tentang Pembentukan Team Nasonal untuk Pengembangan Biofuel.
Begitu juga dengan Peraturan Presiden (Perpres) nomor 66/2018 mengenai kewajiban penyediaan minyak solar dalam negeri dengan ketentuan campuran biodiesel dengan solar berupa blending 20:100 atau dikenal dengan istilah B20. Pemerintah juga telah melakukan uji coba B30 hingga B100 seperti cerita di atas.
Seperti disampaikan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Ignasius Jonan dalam pelbagai kesempatan, Indonesia cukup fokus untuk mengembangkan energi baru terbarukan.
Salah satunya seperti kewajiban penggunaan biodiesel sebesar 20% pada bahan bakar minyak jenis solar dan menetapkan peraturan mengenai solar PV pada rooftop.
“Kami mencoba untuk mencapai setidaknya 25% bauran energi pada 2025. Banyak orang yang bertanya, apakah target itu dapat dicapai? Tentu kami akan berusaha untuk mencapai target itu,” ujar Jonan optimistis.
Sebagai informasi, berdasarkan data Asosiasi Produsen Biofuel Indonesia (Aprobi), kapasitas produksi biodiesel secara nasional saat ini mencapai 12 juta kiloliter. Bahkan, adanya pengembangan B30 juga telah merangsang produsen biodiesel untuk meningkatkan produksinya.
Meskipun dari sisi kapasitas produksi sudah cukup besar, ternyata realisasi produksi sebenarnya masih tidak sesuai dengan yang diharapkan. Selama periode Januari 2019 hingga 22 April 2019, ternyata serapan biodiesel baru pada kisaran 1,74 juta kiloliter (kl).
"Itu sekitar 28% dari target yang sebesar 6,2 juta kl," sebut laporan Ditjen Energi Baru, Terbarukan, dan Konservasi Energi (EBTKE) Kementerian ESDM.
Adapun, Ketua Harian Asosiasi Produsen Biofuel Indonesia (Aprobi) Paulus Tjakrawan menuturkan, setelah delapan bulan sejak penerapan perluasannya penggunaan biodiesel, dalam kuartal I 2019, asosiasi itu tidak menemukan kendala yang signifikan.
"Sampai saat ini masih tetap berjalan dengan baik, hal ini terlaksana karena dukungan pihak pemerintah dan pemangku kepentingan lainnya.”
Sementara, biodiesel untuk ekspor, selama kuartal I 2019 tercatat sebesar 173.543 kl, terutama ke negara Uni Eropa (EU) dan Cina. Jumlah ini meningkat jika dibanding dengan periode yang sama tahun lalu yang sebesar 97.455 kl.
Terlepas dari semua itu, komitmen pemerintah terhadap implementasi penerapan biodiesel sudah di jalur yang benar. Boleh saja Uni Eropa mencekal komoditas CPO Indonesia ke benua biru. Namun, negara ini juga punya cara dan ada jalan keluar untuk menyelamatkan poduksinya komoditas itu, yakni percepatan menuju green energy. (F-1)