WANDA masih mengenakan seragam Linmas atau Perlindungan Masyarakat ketika sejumlah warga berkumpul di pos penjagaan untuk ronda. Rasa penasaran menyeruak. Ia pun mendekat ke arah pos penjagaan untuk mengetahui apa gerangan yang dilakukan warga di sana.
Sayup-sayup terdengar ucapan ini. “Sebentar lagi Lebaran. Kita pasti butuh dana untuk bikin ketupat,” ujar Susi (63), ketua rukun tetangga yang turut berkumpul di pos penjagaan.
Mendengar perkataan Susi, Wanda yang sehari-hari berjualan ayam goreng langsung menanggapi. “Kalau begitu, kita mengadakan jimpitan saja,” ujarnya.
Menurut Ahli Budaya Jawa Prapto Yuwono, jimpitan adalah salah satu bentuk menabung di desa yang tujuannya sekadar mengganti jasa ronda. Jimpit berasal dari bahasa Jawa yang artinya mengambil sedikit dengan tiga ujung jari. “Jempol, telunjuk dan jari tengah,” papar Prapto kepada Indonesia.go.id.
Dahulu tradisi ini kerap dilakukan saat ronda malam. Warga biasanya menaruh beras dalam jumlah sedikit wadah dan meletakkannya di depan rumah. Di malam hari, petugas ronda mengambil beras-beras tersebut sebagai pengganti jasa ronda.
Tahun kelahiran jimpitan masih berselubung misteri. Banyak versi mengenai tahun kelahirannya. Namun yang pasti tradisi ini lahir sejak warga desa di Jawa memiliki kesadaran untuk tinggal berkelompok dengan warga lain yang sama-sama memiliki kesulitan ekonomi pada masa penjajahan Belanda. Berdasarkan hasil penelitian Prapto, jimpitan sering dilakukan di berbagai pelosok desa di Jawa Tengah. “Hasil penelitian saya di desa Mojolaban dan Lawean membuktikan ini,” tegas Prapto.
Selain sebagai pengganti jasa ronda, beras yang telah dikumpulkan juga ada yang dibagikan kepada warga kurang mampu.
Penghapus Kesenjangan Sosial
Jurang antara warga sejahtera dan prasejahtera nyata adanya. Tingginya inflasi kerap membuat jurang pemisah semakin lebar. Menilik era 1960-1965 kala inflasi berkisar dari 20 hingga 694 persen, periode tersebut merupakan “bencana” bagi masyarakat.
Harga barang kebutuhan pokok naik. Rakyat prasejahtera kesulitan membeli barang-barang kebutuhan pokok. Akan tetapi, jimpitan menjadi penyelamat. Jimpitan beras membuat rakyat prasejahtera bisa mendapatkan beras secara cuma-cuma. Dengan tradisi ini, rakyat prasejahtera jelas terbantu.
Tak Melulu Beras
Penghimpunan “dana” ala jimpitan telah lama berganti dari beras ke uang. Di Desa Kauman, Jepara, warga setiap malam jimpitan receh sebesar Rp500. Dana jimpitan dikumpulkan lantas dikelola sendiri untuk membangun desa.
Uang yang telah terkumpul dijadikan modal usaha berupa warung kopi, toko kecil yang menjual beras organik dan rokok, serta pembangunan fasilitas internet bagi warga. Jimpitan ala warga Desa Kauman ini juga berhasil membuka lapangan pekerjaan bagi 4-7 warga.
Dalam hitungan bulan, dana hasil swakelola jimpitan berkembang dan rencananya akan digunakan pula untuk menyubsidi kegiatan Posyandu dan kelas belajar warga.
Jimpitan juga terbukti mampu menyelamatkan warga yang tidak dapat mengakses layanan keuangan. Itu sebabnya banyak orang menyebut jimpitan sebagai kearifan lokal yang mesti dipertahankan. Apalagi tradisi ini juga sejalan dengan konsep gotong royong di Tanah Air. (K-RG)